Cyclist Tangguh walau Kaki Kanan Lumpuh 80 Persen

Sepintas, tidak ada yang berbeda dari Chandra Taruna Sofyan, pria 40 tahun yang tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Begitu energik, bicaranya berapi-api, langkahnya cepat, dan kalau bersepeda kuat sekali!

Orang baru akan heran ketika Chandra hendak turun dari sepeda. Setiap kali akan berhenti, Chandra selalu menunduk ke sisi kanan. Dia melepaskan cleat dari pedal dengan tangan.

Dari situlah Chandra berkisah tentang perubahan hidupnya. Tentang kondisi kaki kanan yang dia anggap sebagai “Anugerah-Nya,” bukan kekurangan.

“Kaki kanan saya tidak bisa diajak ‘menoleh’ ke kiri-kanan. Jadi tidak bisa melepaskan cleat dari pedal,” ungkapnya.

 

 

Ketika masih kecil, kira-kira usia 5 tahun, Chandra sakit muntaber. Sang ibu membawanya ke sebuah puskesmas di Banjarmasin. Di sana, saat mantri hendak memasukkan jarum infus melalui kaki kanan, ternyata ada bagian saraf yang terpotong tanpa disadari. Sama sekali tidak ada yang menyangka dampaknya di kemudian hari!

Seiring berjalannya waktu, semakin Chandra tumbuh besar, dia sering terjatuh. Dan jatuhnya sering ke kanan. “Saya merasa kaki kanan tidak kuat. Tidak ada tenaga dan jauh lebih kecil dari yang kiri,” ceritanya.

Kembalilah sang ibu mengantarkan ke dokter. Tapi dokter angkat tangan. Semua sudah terlambat. Kaki kanan Chandra lumpuh 80 persen! Saraf yang sudah terpotong tidak mungkin disambung lagi. Ditambah lagi ada kelainan di tulang, akibat pertumbuhan kaki yang tidak sempurna.

“Tidak ada jalan lain. Saya harus pakai penopang dari besi yang diikatkan ke pinggang,” kenang anggota komunitas Patriot Banjarmasin tersebut.

Selama enam tahun sebagai siswa Sekolah Dasar (SD), Chandra menggunakannya dan jadi bahan bully teman-teman. Saat SMP dia pun tidak mau lagi menggunakannya. Malu!

Berbagai olahraga dicoba oleh Chandra, tetapi hanya berenang dan bersepeda yang bisa dia lakukan. “Pernah main bola, tapi lutut saya malah lepas dan sakitnya luar biasa!” tuturnya.

 

Saat Chandra masih berbobot 110 kg dan gowes dengan MTB

 

Akibat tidak berolahraga, akhirnya berat badan Chandra terus naik hingga 110 kilogram. Penyakit jantung mulai mengintai. Dokter mewanti-wanti agar dia rajin olahraga.

Akhirnya, pada 2012, Chandra mencoba serius bersepeda.

Pilihan pertama jatuh pada MTB. Selain mudah naik-turun, juga posisi badan tidak membungkuk. “Awalnya hanya beberapa kilometer saja dari rumah. Makin lama makin jauh,” ujarnya.

Tahun 2016, Chandra mulai beralih ke road bike. Iseng-iseng beli karena ada program sale akhir tahun. Tapi waktu itu belum pakai sepatu cleat. Dia baru memakai cleat saat ada teman yang menjual road bike lengkap dengan pedal cleat dan sepatunya.

Asal tahu saja, Chandra punya masalah khusus dalam membeli sepatu. “Kaki kiri saya size 43, sedangkan kaki kanan 40. Jadi harus beli sepatu dua pasang beda size. He he he…” katanya.

 

Chandra harus membeli dua sepatu dengan ukuran berbeda untuk setiap kakinya

 

Makin serius bersepeda, berat badan terus turun. Makin pede karena ada hasil, makin gila lagi bersepedanya. Rutin gowes 50-60 km, finis di sebuah club house, lanjut renang 1.000-1.500 meter. Baru kemudian pulang dan kerja buka toko berjualan alat tulis.

“Setiap hari saya seperti itu. Berat badan sempat menyusut hingga 68 kilogram. Latihan pun makin berani bersama para atlet, sehingga menjadi makin kuat di flat maupun tanjakan. Hingga hari ini, kaki kiri saja yang bekerja keras,” jelasnya. “Di mana ada kemauan pasti ada jalan dan hasil. Hanya kemauan yang membuat saya bisa seperti hari ini,” tandasnya.

Kekuatan sang “pendekar satu kaki” sempat mengundang cemoohan orang. “Kaki satu tapi kuat. Nggak mungkin kalau nggak pakai doping,” cerca orang suatu waktu.

Chandra tidak peduli. “Semua tidak saya hiraukan. Buat saya, bersepeda ini ada hasil nyata yang positif,” ucapnya.

 

Benteng Belanda, Gunung Tahura. Chandra naik turun 10x di tanjakan ini.

 

Perlahan, kaki kanan pun menjadi lebih kuat. Memang tidak mungkin kembali normal, tapi ternyata saraf-sarafnya terangsang untuk “hidup.” Sekarang, kalau jalan-jalan di mal, Chandra tidak lagi harus menyeret kaki kanannya. Masih agak pincang, tapi sudah jauh lebih baik!

Dengan kondisi ini, banyak hal gila yang mulai dia lakukan. Pernah nanjak ke Benteng Belanda, Gunung Tahura, sepuluh kali naik turun. Juga sudah lulus menanjak ke Gunung Bromo tanpa berhenti kecuali di pit stop resmi. Ikut berbagai even turing sepeda hingga ratusan kilometer. Saya finis peringkat 48 dari 1.000 peserta GFNY Bali beberapa bulan lalu. “Buat saya ini pencapaian pribadi dan sangat membanggakan,” katanya.

Chandra menegaskan, tidak ada latihan khusus untuk membuat kaki kiri maupun kanan kuat. Cukup bersepeda rutin. Hanya off hari Senin. Hari lainnya, gowes terus. Sesekali ke gym mengangkat beban dengan kaki.

 

Gowes Happy Wednesday ke Talunongko, 50 km dari Surabaya

 

Dulu, waktu belum bersepeda, Chandra tidak bisa mengangkat beban dengan kaki kanan meskipun tanpa barbel. Tetapi hari ini, kaki kanan sudah mampu mengangkat beban meskipun diberi barbel 2 level. “Itulah hasil nyata dari saya bersepeda,” tandasnya lagi.

Chandra mengaku, sesekali saat sedang sendirian dan merenung, pikirannya flashback ke masa lalu saat dia masih gemuk dan sering di-bully. Tapi dia kembali ke hari ini, di mana semuanya sudah berbeda. Dia ingin menginsipirasi banyak orang, bahwa kita bisa melakukan segalanya asal ada kemauan, komitmen, dan konsistensi.

“Pesan saya hanya satu: Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau!” pungkasnya. (mainsepeda)


COMMENTS