Ketika Brompton Saya Ditolak Servis 

| Penulis : 

Brompton viral. Gara-gara ada yang masuk tanpa permisi pabean Indonesia. Sontak halaman fesbuk saya penuh dengan guyonan dan sindiran. Saya tidak akan bicara behind the scene alias aktor di balik layar. Saya hanya ingin ikut bergembira segembira hati ibu-ibu yang baru tahu dan merasa "tertipu" demi kesehatan suami.

Nasib kolektor Brompton mungkin tidak semujur penggemar road bike. Rumus warna hitam untuk mengelabui mata istri belum tentu mempan. Brompton punya seri yang membedakan bentuk stangnya. Dan orang mengoleksi mungkin karena pilihan-pilihan warnanya.

Menyusul kehebohan Brompton belakangan ini, saya pun latah. Ikut-ikutan meramaikan halaman fesbuk dengan beberapa guyonan:

1. Tahun 2011 saya beli Brompton. Alasannya, lipatannya paling rapi (Kalau sampai ketahuan pasti melipatnya tidak rapi).

2. Brompton viral ibu-ibu ramai. Maksudnya ramai pergi ke pasar beli kubis (bojone dikon turu bantalan kubis).

3. Tanya beli rugos tulisan "CHPT3" di mana (Brompton-ku gak onok tulisane, jare pabrike khilaf nulis).

Guyonan-guyonan itu cukup banyak mendapat respon. Tentu, ada yang tertawa manis. Namun banyak juga yang tertawa kecut. Istri saya termasuk yang paling gembira, karena koleksi saya Brompton lawas (lama) semua. "Jual aja pakkkkkk!" katanya. "Waduh, bisa jual gak bisa beli lagi bu," balas saya.

Benar, pada 2011 saya kali pertama punya Brompton. Waktu itu saya bertanya kepada Alexander Turah Gandrung (Alex Bike Berry), sepeda yang paling rapi dilipat. Saya disarankan mencari merek Brompton. Dasar mujur, tidak lama Alex ngabari kalau ada dokter gigi yang nitip dijualkan. Akhirnya saya punya Brompton seken tipe M dua speed dengan mahar Rp 8 juta.

Setelah beli, sampai rumah badan saya adem panas. Keringat keluar cukup deras. Saya dibuat bingung campur emosi bagaimana cara membukanya. Jujur sepeda ini mirip gadis akrobat dari Tiongkok. Badannya bisa ditekuk-tekuk. Mirip gymnastic. Beruntung teman saya mengirim video cara membuka dan menutupnya.

Saya merasakan karakter saya sama dengan sepeda lipat ini: Unik.

Jujur, sepeda ini memberikan aura komplit. Mau olahraga untuk kesehatan dapat. Untuk fashion juga dapat. Benar-benar menarik perhatian ketika parkir.

Saya sadar saya beli sepeda ini seken. Cara berpikir saya sama ketika membeli mobil seken. Untuk kenyamanan saya pun mencari bengkel untuk servis. Dapat informasi di sebuah pertokoan, di mal tempat nongkrong di Surabaya Barat.

Ketika sampai di toko yang juga merangkap bengkel. Saya sampaikan keinginan untuk servis sepeda saya. Sambil menunggu staf yang sedang melayani costumer, saya melihat-lihat koleksi Brompton dagangannya. Luar biasa pikir saya. Setelah itu, saya baru dilayani. Namun, saya mendapat jawaban dari staf yang sangat mencengangkan. Dengan ramah dan halus, staf tadi bilang  tidak bisa membantu servis karena Brompton saya tidak dibeli di jaringan tokonya.

Saya kaget dan mencoba berargumentasi. Saya pemula dan membeli tanpa surat-menyurat. Seandainya motor atau mobil mungkin saya bisa membawa bukti BPKB atau STNK. Namun, jawaban staf tadi tetap stabil. Saya pun pamit dengan rasa heran bercampur dongkol.

Namun saya juga senang dalam hati. Apa yang sebenarnya akan diservis? Karena keluhan saya tentang rem sudah mendapat pencerahan. Posisi rem Brompton memang tidak nyaman karena menghadap ke bawah. Sehingga posisi tangan kurang nyaman saat mengerem. Berbeda dengan sepeda MTB atau road bike. Kalau posisi rem Brompton diubah sejajar dengan posisi tangan saat pegang grip, sepeda tidak bisa dilipat dengan rapi. Hand grip bekas tadinya mau saya ganti juga batal. Kebetulan stok sedang kosong. Namun, walau sedikit sobek hand grip fungsinya sangat besar, yaitu meredam guncangan.

Jujur saya sempat lumayan gondok. Berbekal rajin menabung, akhirnya tahun 2012 saya punya duit untuk beli Brompton baru. Sedikit trauma dengan toko tadi, saya beli ke Jakarta. Berbekal informasi dari teman saya mengunjungi salah satu toko di sana.

Banyak pilihan baik seri, warna, maupun harga. Saya jatuh hati pada Brompton merah tipe S. Setelah mantap, saya menuju kasir yang dijaga om-om yang juga owner. Saya ditanya nama dan alamat. Dengan jujur saya sebutkan nama saya dan asal kota Surabaya.

Ternyata jujur itu ajur. Saya ditolak beli Brompton di tokonya. Saya diminta beli di toko jaringannya di Surabaya. Ha ha ha ha. Rugi tiket pesawatttttttt.

Karena kadung cinta dengan sepeda asal Inggris ini saya pun menerima. Bersyukur dulu saya hanya gondok. Coba kalau saya marah besar dan mencak-mencak, pasti malu ke toko di Surabaya Barat tadi. Alhamdulillah akhirnya saya punya Brompton baru dengan bandrol Rp 14 juta.

Alhamdulillah, Brompton merah itu membawa berkah. Tiga kali masuk koran. Pertama saat diajak nonton MotoGP ke Sepang Malaysia, helm saya dapat tanda tangan Valentino Rossi. Pernah mengitari sirkuit Sepang saat ikut ulang tahun SRBC. Dan, puncaknya saat liuputan F1 di Sepang. Sadel dapat tanda tangan Lewis Hamilton. Dan, pompanya ditandatangani Christian Horner bos Tim Red Bull.

Si putih juga tidak kalah seru. Saya mendapat kabar dari teman kalau dokter gigi yang menjual berkeinginan untuk buy back. Dengan halus saya tolak karena sudah kadung tresno. Si Putih pernah saya ajak jalan-jalan ketemu rombongan Brompton. Ada salah satu yang nyeletuk punya saya klasik. Kok tahu pikir saya, toh tidak ada yang berubah setiap tahunnya. Orang tadi bilang "Tutup crank-nya Om." Wkwkwkwk tahu saja!

Pernah Si Putih saya berikan ke adik saya agar mau berolahraga. Namun, karena passion-nya tidak ke sana maka Si Putih kurang kasih sayang. Terpaksa saya buy back dengan cara barter seli merek lokal.

Kembali ke cerita penolakan servis di atas, akhirnya memang berujung geli (ketawa). Waktu masih aktif mengawal teman-teman AA SoS (Azrul Ananda School of Suffering) bersepeda, saya ketemu anggota baru. Beliau selalu dikawal staf tokonya. Mulai dari dia sering didorong karena tidak kuat, sampai akhirnya dia jadi kuat dan ikut jadi "bandit."

Orangnya baik, ganteng, ramah, dan lucu. Ketika ikut dia gowes bareng di Malaysia dan Spanyol, saya sering ditraktir makan dan ngopi. Bahkan pernah dapat hadiah tas Brompton baru.

Namun, sampai hari ini saya tidak tega cerita penolakan stafnya terhadap Brompton putih saya... (dewo pratomo)

Foto-Foto: Dewa Pratomo

Populer

WHO Anjurkan Masyarakat Bersepeda Saat Coronavirus
Wakasad Menikmati Gowes Kemerdekaan Tasikmalaya-Pangandaran 100 Km
Slovenia, Negeri Balap Sepeda Tertua yang Terlupakan
Alur Pendaftaran Cyclist Internasional Mainsepeda EJJ 2025
Tips Posisi Tangan Ideal Saat Bersepeda
Tour de France Preview 7: Team Sky Turunkan Tim Paling Super
Wdnsdy AJ62: Performance Nyaman untuk Cyclist Indonesia
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan
Bill Walton Gowes Tiap Hari, Reggie Miller Juara Balap MTB
Cervelo S5 Disc: Pakai Stem Model “V” dan Fork Model “Jepit”