Selamat Tahun Baru! Kita telah memasuki 2020, dan itu berarti saatnya menatap harapan-harapan baru yang akan kita capai di tahun baru ini.
Dalam beberapa hari terakhir 2019, postingan medsos para cyclist dipenuhi dengan tema "Last Ride of 2019." Ada yang main sepeda dekat-dekat saja, ada yang keliling gunung dan naik-turun melewati tiga jalur berbeda.
Tahun ini, saya berkesempatan gowes di Kota Solo dan sekitarnya. Kota yang setahun belakangan ini ramai dikunjungi orang Jawa Timur karena akses jalan tol baru ke sana. Dari Surabaya ke Solo sekarang hanya butuh sekitar 2,5 jam. Sehingga banyak yang datang khusus untuk kulineran, lalu pulang lagi dalam hari yang sama.
Tepat akhir 2019, tanggal 31 Desember, seorang teman saya yang kebetulan punggawa komunitas Happy Monday bersedia jadi guide. Namanya tidak penting, tapi pelaku sepeda se-Indonesia akan bergetar begitu mendengar nama panggilannya: Yoyo.
Hari itu, kami gowes mulai jam 5.30 pagi. Saya yang minta agar tidak terlalu pagi, karena masih terlena suasana liburan. Tempat kumpulnya adalah sebuah SPBU ke arah luar kota. Dari situ, saya bersama beberapa teman lain diajak ke daerah "Musuk."
Kondisi jalannya nanjak kalem 2-4 persen. Di sepanjang jalan ada pepohonan, membuat suasana begitu teduh. Saya membiarkan peloton cepat itu bergerak ke depan. Selain karena napas saya mulai pendek, saya juga ingin menikmati pemandangan. Apalagi, di kanan dan kiri banyak pohon durian! Saya sempatkan juga berfoto dengan latar belakang Gunung Merapi.
Aromanya yang tajam semakin mengganggu konsentrasi bersepeda saya. Saya jadi terbayang-bayang betapa nikmatnya buah durian tersebut.
Waktu terus berjalan, dan guide saya tetap melaju sambil sesekali menoleh ke belakang. Mungkin dia takut saya "dimakan macan." Merasa tidak enak, saya mencoba memaksa kaki untuk mengayuh lebih cepat. Dan saya memang tidak punya pilihan, karena saya tidak tahu jalan pulang.
Setelah beberapa saat, saya sudah bertemu kembali dengan yang lain. Istirahat lima menit, kami berdua saja melanjutkan gowes ke daerah "Paras." Kata Yoyo: "Nanjak sedikit lagi biar nanti turunnya lewat jalan enak."
Seperti pernah saya tulis, omongan cyclist tidak boleh dipercaya 100 persen. Yang dimaksud Yoyo sedikit lagi itu adalah menanjak lagi sejauh 5 km! Dengan beberapa bagian yang kemiringannya mencapai belasan persen.
Tapi memang benar, dari Paras ini jalannya enak. Turunan panjang dengan jalan yang lebar, sepi, dan halus. Ternyata, kami sudah memasuki Kabupaten Boyolali.
Kita pun mampir di dua monuman yang ikonik di dekat kantor bupati. Yang pertama adalah menara jagung yang dibangun dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia.
Satunya lagi adalah patung sapi. Nah, seberapa besar patung sapi yang pernah Anda lihat? Yang ini tingginya 11 meter! Benar-benar besar. Tak heran ada begitu banyak orang berfoto di sana, sehingga tidak mungkin bisa berpose dengan latar belakang "bersih."
Dari Boyolali, kami melanjutkan gowes ke Solo melalui Kartosuro.
Kami tidak langsung mengakhiri rute. Yoyo tahu kalau saya paling takut jadi kurus. Dia mengajak saya makan "surgawi" di Solo. Jujugannya adalah Sate Kambing Muda Bu Pariyem.
Jujur, saya bukan fans daging kambing. Tapi yang di sini lain. Memang masaknya juara. Orang lokal menyebut tongseng ini dengan "masak." Awalnya saya juga heran. Memang ada yang mentah? Ternyata, "masak" adalah istilah yang umum di Solo.
Menikmati "masak" adalah penutup yang mengenyangkan. Karena selain jenis makanan itu, saya juga tidak lupa menyantap beberapa "temannya."
Akhir kata, Selamat Tahun Baru, dan bersiaplah memulai resolusi baru di awal 2020 ini! (johnny ray)