Kalau Anda cyclist, ada tiga "kesenangan" yang bisa didapatkan kalau datang ke Adelaide, Australia Selatan, pada bulan Januari. Satu, menyaksikan lomba level WorldTour dan gampang bertemu bintangnya. Dua, menikmati atmosfer dan pameran sepeda yang sulit ditandingi. Dan ketiga, pengalaman gowes yang efektif luar biasa.
Yang ketiga dulu. Ada alasan mengapa sudah 22 tahun ini Adelaide menjadi tuan rumah Tour Down Under (TDU), lomba pembuka WorldTour setiap tahunnya. Kawasan ini memang tempat yang sangat efektif untuk event balap sepeda.
Memang tidak ada gunung tinggi di sekitar Adelaide, tapi ada kawasan perbukitan yang memiliki jalan-jalan indah dan menantang. Memang tidak ada tanjakan panjang, tapi cukup panjang untuk jadi pembeda dalam sebuah lomba. Ada juga kawasan pantai. Ada pula kota-kota sekitar yang memiliki jalanan rolling naik-turun. Tentu saja, ada kawasan perkebunan anggur yang memberi pemandangan unik.
Karena lokasi ini, Adelaide menjadi contoh penyelenggaraan ajang balap sepeda modern. Yaitu menggunakan format "hub and spoke." Seperti roda, semua kegiatan lomba berpusat di satu titik tengah (hub), lalu rute lombanya mengelilingi pusat tersebut.
Sepanjang event, semua pembalap dan tim tidak perlu pindah-pindah tempat kerja. Selalu di hotel yang sama, Hilton di pusat kota. Lalu, kawasan paddock (kawasan kerja tim) disiapkan di taman kota, di depan hotel tersebut.
Suasana jadi meriah karena di taman itu pula ada festival sepeda besar, yang bisa memuaskan penggemar sepeda.
Mike Turtur, penggagas TDU yang akan pensiun usai lomba 2020 ini, menegaskan bahwa event ini adalah "tourism event." Dan lokasi serta format ini memang membuat ribuan orang turis sepeda datang dari berbagai penjuru dunia. (Baca juga: Sudah Sukses 20 Tahun Lebih, Berharap Sukses 100 Tahun Lagi).
Selama berlangsungnya TDU, rasanya sepeda memang ada di mana-mana. Sangat mudah bagi turis/cyclist untuk merasakan rute yang dilewati para pembalap.
Bagi penulis, ini adalah kali ketiga ke Adelaide, jadi hampir semua rute TDU sudah pernah dilewati. Bagi John Boemihardjo, ini adalah kali kedua, jadi pengalaman ini adalah pengingat serunya kunjungan pertama dulu. Bagi rekan kami Bagus Ramadhani, ini adalah kali pertama, dan dia bisa langsung merasakan betapa efektifnya gowes di sekitar Adelaide.
Tahun ini, karena berbagai kesibukan di Indonesia, kami tidak bisa lama di Adelaide. Rencana awal, kami ingin meluangkan dua hari gowes. Membagi beberapa tanjakan terkenal itu dalam dua rute. Sejak awal, kami sudah merasa tidak mungkin mencapai kawasan yang radiusnya agak jauh. Misalnya tanjakan Willunga Hill, yang kalau digowes PP dari Adelaide jaraknya 140-an km.
Pada akhirnya, kami hanya bisa gowes sehari. Cuaca aneh sedang melanda kawasan ini. Selain ada bekas kebakaran yang juga mencapai kawasan di sekitar Adelaide, suhu dingin, dan hujan mewarnai musim "panas" ini. Pada 2015 dan 2017 lalu, ketika ke sini, suhu hampir selalu di atas 32 derajat Celcius. Bahkan beberapa kali menembus 40 derajat Celcius.
Tahun ini, pada hari-hari awal TDU, suhu terus di bawah 20 derajat Celcius. Dan hujan. Kriterium pembuka lomba bahkan diselenggarakan saat suhu sekitar 18 derajat Celcius dan di atas aspal basah karena hujan gerimis yang tak kunjung berhenti. Anginnya juga kencang.
Kami pun mengubah rencana. Memaksimalkan hari dingin di kota, menikmati tuntas festival/pameran sepeda. Lalu, pada Selasa (21 Januari), saat cuaca hangat (26-32 Celcius), kami pun gowes.
Kami membuka situs ridewithgps, mencari rute paling efektif tapi melewati tanjakan-tanjakan penting. Target kami adalah tiga tanjakan. Pertama Norton Summit, tanjakan paling populer di pinggir kota. Lalu Paracombe, tanjakan pendek curam yang jadi lokasi finis Etape 3 TDU 2020. Plus Corkscrew, salah satu tanjakan paling ditakuti pembalap di TDU, namun tahun ini tidak dilewati lomba.
Voila! Ada rute melingkar 90 km yang melewati ketiganya. Rute itu pun kami jalani.
Sebelum berangkat, kami mampir dulu ke Rapha Pop Up Store, hanya dua blok dari hotel tempat kami menginap. Bukan untuk belanja baju, melainkan beli croissant dan ngopi. Di dalamnya memang ada kafe dadakan. Tempat itu jadi titik start, baru kemudian ke arah pinggir kota menuju Norton Summit.
Dasar nasib beruntung, ada peloton tim perempuan Trek-Segafredo sedang latihan santai. Bagi tim-tim perempuan, Women's TDU memang sudah berakhir pada Minggu, 19 Januari. Jadi, beberapa tim memilih tetap bertahan di Adelaide untuk latihan tambahan sebelum ke lomba berikutnya atau balik ke Eropa.
Kami pun "nunut" peloton itu. Lumayan speed santai, 25-30 km/jam di jalanan agak miring (1-2 persen) menuju pinggir kota.
Kami mengira mereka bakal menanjak Norton Summit. Tapi rupanya mereka benar-benar gowes recovery, memutar balik di kaki tanjakan. Kami pun melanjutkan gowes bertiga.
Ikut peloton tim perempuan Trek-Segafredo.
Norton Summit panjangnya "hanya" 5,5 km. Benar-benar mengantarkan kita dari bibir kota ke kawasan perbukitan. Kemiringannya level "Easy" sering di 4-5 persen dan sesekali 7 persen.
Masalahnya, setelah itu sepertinya tanjakan tak pernah berhenti. Tidak ada jalan datar. Selalu menanjak pendek, lalu turunan pendek. Begitu terus. Cukup melelahkan.
Tanjakan Norton Summit.
Sekitar km 40, kami memutuskan untuk makan siang ringan di kota kecil bernama Lobethal. Kami sadar, setelah ini praktis tidak melewati kota/desa apa pun, dan tidak ada toko akan dilewati. Kami pun berhenti di sebuah kafe. Makan salad ringan dan donut, ngopi lagi, mengisi botol minum.
Dari Lobethal, ada 20 km lagi jalanan rolling yang kami lewati sebelum ke tanjakan penting berikutnya, Paracombe. Dalam jalanan naik turun sebelum dan sesudah Lobethal itu, kami terus melewati kawasan yang baru saja dilanda kebakaran hebat.
Warna hitam gosong mewarnai kanan dan kiri jalan. Bau asap sangit masih mengganggu hidung. Alangkah mengerikannya suasana saat kebakaran itu sedang terjadi!
Melintasi kawasan bekas kebakaran hutan di Adelaide Hills.
Sekitar km 60, kami memasuki jalanan wisata indah bernama Gorge Road. Banyak cyclist gowes di sana. Banyak motor besar berseliweran. Ada pula mobil-mobil sport menikmati serunya kelokan-kelokan jalan. Semua saling menjaga jarak aman.
Lalu ada tikungan tajam ke kanan, yang langsung menukik ke atas.
Itulah Torrens Hill Road, menuju "puncak" Paracombe, lokasi finis Etape 3 TDU 2020. Ada penanda jalan di awal tanjakan itu. Lengkap dengan keterangan jarak, kemiringan rata-rata, dan nomor segmen Strava-nya!
Panjang tanjakan itu hanya 1,2 km. Kemiringan rata-rata yang tertulis "hanya" 9 persen. Tapi kalau digowes, ini tanjakan kejam. Praktis angkanya terus di antara 9 dan 13 persen pada satu kilometer pertama. Baru melandai pada 200 meter terakhir.
Dengan melewatinya, kita bisa membayangkan betapa ngerinya balapan di situ nanti. Para pembalap menukik tajam dengan kecepatan tinggi, lalu langsung tancap gas dan tahan-tahanan selama 1 km. Dia yang bertahan paling lama, dia yang menang.
Pada 2015, Rohan Dennis melarikan diri di sini dan menjadi juara overall lomba. Pada Kamis, 23 Januari 2020, dia yang menang di sini juga mungkin akan jadi juara overall lomba!
Sampai di puncak, kami berfoto di depan Paracombe Hall. Finis lomba nanti memang persis di depannya.
Setelah itu kami langsung kembali turun, kembali ke Gorge Road, tapi belok ke kanan ke arah Adelaide. Namun sebelum "pulang," harus belok lagi sekali melewati tanjakan paling kejam dalam sejarah TDU.
Seperti sebelum Paracombe, ada penanda jalan di kaki tanjakan Corkscrew Road. Tertulis panjangnya "hanya" 2,35 km. Dengan kemiringan rata-rata "hanya" 8 persen. Tertulis pula nomor segmen Strava-nya.
Tapi mereka yang kenal tanjakan ini tidak boleh senang dengan penanda itu. Karena 8 persen itu termasuk bagian awal tanjakan yang relatif datar. Kilometer terakhirnya luar biasa kejam.
Jalanannya berkelok-kelok (makanya dinamai Corkscrew), kemiringannya terus di atas 14 persen. Bahkan menyentuh angka 18 persen!
Jalan berkelok-kelok di Corkscrew Road.
Bisa menuntaskan Corkscrew, apalagi di penghujung rute panjang, memberi perasaan lega tiada kira. Di puncaknya, ada sebuah gereja dan penanda nama jalan. Beberapa cyclist terlihat berfoto di sana. Kami pun melakukan hal yang sama.
Ujung finis Corkscrew Road
Dari ujung tanjakan itu ada pertigaan. Kami belok ke kanan, karena itulah jalanan turun menuju Adelaide. Lega rasanya, karena sekitar 15 km lagi kami sudah balik di hotel. Dan 15 km itu isinya turunan dan jalan datar!
Ban bocor saat balik ke Adelaide.
Hari itu, tercatat kami gowes 93 km. Total menanjak lebih dari 1.500 meter. Waktu gowesnya sekitar 4,5 jam. Benar-benar efektif untuk mengejar total kilometer, latihan menanjak, dan menikmati pemandangan! (Azrul Ananda - bersambung)
Ikuti terus update dari Tour Down Under 2020 di sini.