Saya termasuk kolektor Trek. Sampai hari ini masih menyimpan rentetan evolusi sepeda merek Amerika itu. Mulai Madone 6 dan Madone 7, saat model itu masih tergolong satu sepeda untuk semua. Hingga kini evolusinya terpecah tiga: Domane (endurance), Madone (aero), dan Emonda (ringan climber).

Berhubung lingkungan gowes saya suka tantangan menanjak, maka saya langsung tertarik Emonda ketika versi pertama dirilis akhir 2014. Langsung ambil yang "SLR 10," dengan komponen-komponen paling ringan buatan Tune. Frame-nya diklaim tak sampai 700 gram, full bike-nya tak sampai 6 kg.

Ya, sepeda itu ringan luar biasa. Ketika pedal "dikasari" langsung melejit. Khususnya di tanjakan. Tapi, karena terlalu ringan, saya harus mengganti wheelset-nya dengan yang lebih berat. Supaya terasa lebih stabil dan lebih bisa "dikasari" lagi.

Pada 2017, hadir Emonda SLR versi kedua. Koleksi saya bertambah. Saya mengambil versi tim Trek-Segafredo. Dengan komponen ala tim. Belajar dari versi pertama, saya mengambil versi yang memang dipakai balapan para pembalapnya. Ada versi rim dan disc, saya masih memilih versi rim.

Masih sangat ringan. Masih berkarakter sama di tanjakan. Melejit responsif ketika pedal diputar keras/kasar. Sisi positif lain, lebih nyaman dan stabil khususnya di jalanan kita yang kasar dan bumpy.

Lalu sekarang hadir varian ketiga Emonda SLR. Hanya disc brake, dengan racikan karbon terbaru OCLV 800 untuk menjaga bobot frame tetap di bawah 700 gram. Secara siluet mirip, tapi dengan bagian-bagian lebih aero. Menjawab tegas tantangan pasar, di mana aero menjadi fitur andalan sepeda-sepeda super.

Ketika Frans Suryadi, general manager Trek Indonesia, menawari kesempatan menjajal Emonda SLR baru ini, tentu saya menyambut dengan sangat bahagia. Apalagi menjajalnya sebelum peluncuran resmi. Ini sebuah kehormatan. Tapi saya harus menuruti syarat embargo. Tidak boleh ada foto atau postingan apa pun hingga 18 Juni 2020, saat sepeda ini resmi diluncurkan secara global.

Sepeda itu pun diterbangkan ke Surabaya, lalu secara tersembunyi dirakit oleh dealer Trek, Rukun Makmur, yang dikelola sahabat saya, Ng Martanto.

Saya request ukuran 52. Idealnya memakai stem 120 mm. Namun karena ini test bike, dan barstem-nya integrated, yang tersedia hanya 100 mm. Ini sepeda belum dirilis, komponen variasinya masih belum tersedia. Tapi ini tidak masalah. Yang penting ukuran frame benar, posisi agak menyesuaikan saja.

Apalagi, sejak sepeda aero Madone terakhir, Trek menggunakan ukuran head tube H1.5. Tidak lagi ukuran pembalap H1 atau ukuran "nyaman" H2. Buat saya ini perfect. Dulu sepeda H1 saya spacer-nya bertambah, kelihatan kurang keren. Sedangkan sepeda H2 saya ketinggian, sehingga harus tanpa spacer plus pakai stem "negatif" yang menunduk. Jadi, H1.5 paling ideal.

Sepeda yang saya jajal adalah Emonda SLR 7. Warnanya merah metalik candy tone, dengan kombinasi hitam dan tulisan "Trek" besar berwarna krom keemasan. Mewah, gagah, Amerika banget.

Angka "7" menunjukkan urutan hierarki kelengkapan komponen. Semakin tinggi semakin mewah. Emonda SLR 7 ini mungkin yang paling sweet spot, sudah sangat mewah bagi kebanyakan pemakai (yang belum tentu paham pemakaian/membutuhkan varian lebih mahal lagi).

Emonda SLR 7 saya dilengkapi grupset Shimano Ultegra Di2 11-speed, dengan junction box di ujung handlebar. Crank depan 52-36, sproket belakang 11-30. Handlebar dan stem-nya integrated terbaru, yang berbentuk sederhana tapi optimal fungsi aero dan kenyamanannya.

Wheelset-nya karbon Bontrager Aeolus Pro 37. Level kedua setelah Aeolus SLR 37, tapi tetap menggunakan internal DT Swiss dan lebih dari cukup untuk kebanyakan orang. Secara aero, rim 37 baru ini disebut 17 persen lebih cepat dari versi sebelumnya. Bannya Bontrager R3 terbaru.

Ketika ditimbang, berat full bike-nya hanya 7,1 kg. Ringan sekali untuk sebuah sepeda disc brake. Akan sangat mudah mencapai angka di bawah itu kalau menggunakan spek komponen lebih tinggi. Ingat, regulasi balap dunia menyatakan bobot minimal untuk lomba adalah 6,8 kg. Jadi, sepeda ini dengan mudah bisa dirakit jauh di bawah bobot minimal UCI.

Untuk gowes perdana itu, saya hanya mengajak satu dua teman, plus fotografer. Saya juga menghindari weekend, supaya tidak dilihat banyak orang. Pilihan tanjakannya sebuah kawasan di dekat Taman Safari di Prigen, Pasuruan.

Emonda itu dilahirkan sebagai climber. Jadi harus cari tanjakan yang "lengkap." Ada bagian panjang merambat dari 3-7 persen, lalu ada bagian yang "khas Indonesia," dengan bagian-bagian 15 persen atau lebih.

Rute itu juga harus ditempuh melewati dulu jalan datar 30 km lebih. Di bulan Juni, saat angin lumayan kencang karena perubahan musim. Nah, saat lewat rute datar ini ada yang terasa "baru" dari Emonda SLR 2021 ini. Jujur, karena super ringan, Emonda-Emonda lama saya kadang terasa melayang ketika datar panjang. Supaya lebih stabil, saya sering memasangi wheelset lebih berat.

Walau kami tidak kebut-kebutan (tapi tetap relatif ngebut), Emonda SLR baru ini terasa lebih tenang. Mengingatkan pada Madone 7 lama saya, saat satu sepeda itu masih untuk segala medan.

Di tanjakan, Emonda ini menunjukkan lagi ke-Emonda-annya. Ketika jalan miring, pedal diputar keras, dengan senang hati sepeda melejit ke depan. Terasa begitu familiar. Dasar sepeda keturunan kambing gunung!

Saya tidak memaksakan diri, lebih mencari feeling, mencoba merasakan setiap sensasi menaiki Emonda 2021 ini. Tanjakan 4 persen panjang, 15 persen, semua sangat bisa dinikmati.

Saya sangat suka sistem bottom bracket (BB) baru Trek, yang kini memakai sistem T47. Perawatannya pasti lebih mudah, dan saya yakin semakin membantu power transfer. Apalagi kalau dipasangi crank yang lebih lebih kaku lagi.

Ingat, sepeda yang saya naiki ini memang spek tinggi, tapi bukan spek tertinggi. Sepeda ini bakal lebih dahsyat kemampuan nanjaknya bila dibuat sedikit lebih ringan lagi (dengan komponen lebih ringan).

Kalau Anda naik sepeda ini, tapi tetap tidak bisa menanjak, obatnya sudah tidak ada lagi. Yang salah pasti kemampuan Anda sendiri! (azrul ananda)

Baca juga: Trek Emonda SLR 2021: Perfect untuk Pasar Asia 

 

Foto-foto: Muhamad Shochiful Arifin for Mainsepeda.com

Populer

Pendaftaran Mulai Besok, EJJ 2025 Menawarkan Spot Baru 
Kolom Sehat: Anti Social-Social Ride
Alur Pendaftaran Cyclist Internasional Mainsepeda EJJ 2025
Cyclist Favorit: Habibie Jebolan EJJ Gowes Sampai ke Mekkah
Kolom Sehat: MTB
Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
Barang Bawaan Peserta Journey To TGX 2024 Dikirim ke Trenggalek Gratis
Inilah Rute Journey To TGX 2024, Jarak Sama COT Bertambah
Tips Merakit Gravel Bike dengan Harga Terjangkau
Cervelo P5x Lamborghini, Hanya Ada 25 Biji