Sewaktu kecil saya tidak pernah punya sepeda sendiri. Saya hanya bersepeda memakai sepeda mini yang biasa dipakai oleh pembantu keluarga kami untuk pergi ke pasar. Anda mungkin berpikir: “Sepeda mini dengan keranjang di depan?” Ya betul. Sepeda yang itu!
Itu pun keadaanya menyedihkan. Warnanya sudah pudar, banyak sekali karat menghiasi frame, groupset, dan wheelset-nya. Hanya itu satu-satunya sepeda yang ada di rumah kami dan setiap sore saya pasti akan membawanya keliling kompleks rumah. Sesekali saya bersama teman-teman sekolah berpetualang sampai jauh. Mengelilingi Kota Jakarta mengendarai sepeda mini itu.
Saya tidak akan pernah lupa angin yang bertiup kencang di antara rambut saya. Sembari menghirup udara sore yang bercampur dengan debu dan panasnya Kota Jakarta. Berdempetan dengan motor, angkot, bus umum, dan mobil yang berjejer macet di jalan, sepeda kami meliuk-liuk lincah mencari spot kosong untuk menyelip maju ke depan. Teriakan, tawa, dan canda tidak pernah lepas saat kami bersepeda. Capek tidak pernah terasa. Oh... Indahnya jatuh cinta kepada sepeda mini butut itu!
Tahun berganti tahun. Saya beranjak dewasa. Tak terasa, hampir 30 tahun saya tidak pernah lagi menyentuh sebuah sepeda, apalagi mengendarainya. Sampai suatu saat ada teman yang mengajak saya bersepeda. Setelah sekian lama, akhirnya saya kembali bisa mengendarai sepeda yang waktu itu dipinjamkan oleh teman.
Sudah hampir lupa saya betapa bahagianya bersepeda. Tapi hari itu cinta lama bersemi kembali! Udara segar yang saya hirup, angin kencang yang bertiup, tawa dan canda teman-teman kembali menghiasi hati dan menyegarkan jiwa!
Menurut riset, kalau bersepeda selama satu jam, maka pada menit ke-10 perasaan bebas langsung bisa kita rasakan. Senyum gembira melebar seiring gowesan pedal yang kian cepat.
Pada menit ke-20 tubuh membersihkan diri dari kortisol, hormone stres penyebab susah tidur nyenyak. Lalu pada menit ke-40 aliran darah dan oksigen ke otak melonjak sehingga membuat jarang sakit (kalau rutin bersepeda selama satu minggu).
Pada menit ke-45, giliran serotonin dan endorphin dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga mood meningkat, menghasilkan perasaan bahagia dan membuat diri benar-benar hidup. Dan di menit ke-60, setiap kilometer yang dilalui mengurangi risiko terkena penyakit jantung hingga kurang dari setengahnya, bila dibandingkan dengan mereka yang tidak berolahraga sama sekali.
Pantesan saya happy! Apalagi kalau bersepedanya hari Rabu... Jadi Happy Wednesday deh! Hehehe.
Akhirnya saya jadi rutin bersepeda. Kegiatan ini menjadi pelarian yang positif dalam hidup saya. Aneh ya? Waktu masih kecil kepengin sekali cepat jadi orang dewasa. Ternyata, setelah dewasa, hidup ini penuh tanggung jawab dan punya tantangan tersendiri, sehingga ingin kembali menjadi anak kecil.
Bersepeda membuat saya jadi waras sebagai orang dewasa dengan memunculkan "anak-anak: yang ada di dalam setiap laki-laki. Mungkin sesuai dengan kata ibu-ibu: “Boys will always be boys!”
Bersepeda membuat saya berhenti sejenak menjadi orang dewasa dan kembali menjadi anak-anak yang berpetualang ria. Tanpa khawatir dan takut, tanpa beban dan problema.
Yang ada hanya kegembiraan bercampur keringat, tawa dan canda berbaur dengan nikmatnya nasi pecel atau soto ayam di warung bawah pohon.
Setelah selesai semuanya itu, saya akan kembali ke dunia nyata orang dewasa dengan kekuatan dan kesegaran yang baru: Untuk menjadi bapak yang baik buat anak-anak saya, suami yang mencintai istri dengan maksimal, pemimpin perusahaan yang visioner dan tangguh!
Oooohh… Indahnya CLBK! (MiL Budiyanto)
TENTANG PENULIS:
MiL Budiyanto adalah seorang pesepeda yang berasal dari Jakarta dan terdampar di Surabaya. Akrab dipanggil MiL, dia bersepeda untuk sehat dan mencari sahabat. Selain bersepeda, dia juga seorang charity runner dan triathlete.
Foto-Foto: Dewo Pratomo - Koleksi Pribadi Mil Budiyanto