Ketika jersey polkadot terakhir dipasangkan kepada Queen of the Mountain (QOM) Master B, hati saya plooonggg rasanya. Berakhir sudah rangkaian even Antangin Bromo KOM Challenge 2018, di Wonokitri, Bromo, 21 April lalu.
Beban seberat Gunung Bromo yang menempel di pundak berasa hilang!
Lucu juga rasanya. Selama 14 tahun menggeluti bisnis event organizer, baru kali ini saya stres mendapat beban seberat ini. Padahal, kami sudah beberapa kali meng-handle even penting yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden negara kita tercinta. Bahkan, konser musik dengan massa pendukung besar seperti Slank, Iwan Fals, Ungu, Dewa 19, dan lain sebagainya.
Namun, tetap saja Antangin Bromo KOM Challenge begitu membebani. Masalahnya, karena saya tahu masalah-masalah yang selalu mengancam muncul. Sebab, berkali-kali saya jadi MC dan memotret even-even sepeda ke Bromo ini.
Misalnya jalan yang “bocor.” Seperti rayap muncul dari tanah, tahu-tahu di jalan ketemu mobil milik peserta. Padahal sudah ada larangan, mobil harus stop menunggu supaya tidak memberi aromateraphy CO2 saat mulut cyclist sedang ngap-ngap seperti ikan mujair.
Area finis juga sering jadi problem serius. Mobil-mobil milik panitia, peserta, penduduk, dan turis berbaur memenuhi jalan.
Azrul Ananda, yang saya panggil Aza, sebagai penggagas acara ini selalu menggaris bawahi perbedaan even tahun ini. Bahwa ini balapan, bukan turing biasa. Pesertanya pembalap top-top dengan berbagai medali emas di arena nasional maupun internasional. Jalan harus dipastikan aman dan lancar.
Alhamdulillah. Sosok Pak Kades Wonokitri hadir sebagai salah satu solusi. Beliau berkenan diskusi bersama kami dan mencari solusi. Luar biasa.
Penyakit velodrome alias kepala muter-muter terus mengganggu. Tiap hari ada info jalan yang rusak terus bergerak. Kebetulan Pasuruan sedang membangun jaringan air bersih dan tol.
Hoki, salah satu stakeholder Antangin Bromo KOM Challenge adalah putra asli Pasuruan. Wawan (Cipto Suwarno Kurniawan) bos Mie Kering Bola Mas, setiap hari memberi update. Bahkan, setelah kami capek mencari jalan alternatif dan cek rute menuju jalan ke tanjakan. Dia menjadi penentu rute utama. Dan dia berani membuat keputusan sulit: Bahwa rute final akan diputuskan dua hari sebelum acara diselenggarakan. Gila nggak?
Tidak mungkin even perdana tanpa cela. Bersyukur semua ada solusi dan hampir semua hepi. Nah, pertanyaannya: Bagaimana saya bisa jadi MC lucu? Hahahahahaha…
Sebelum even dimulai, pukul 01.00 pagi saya baru bisa masuk kamar. Memastikan semua peserta sudah selesai urusan registrasi.
Ini bukan hal mudah. Banyak peserta antusias ikut even tapi mendaftar secara mendadak. Sehingga muncul berbagai problem last minute, seperti penyediaan jersey, kesalahan administrasi pendaftaran, dan lain-lain. Apalagi tahun ini even dibagi dalam berbagai kategori.
Hebatnya, semua peserta paham. Hebatnya lagi, SUB, produsen jersey yang mendukung even ini, siap kerja lembur memastikan semua beres.
Kami semua yang terlibat sepakat untuk terus melayani dengan hati. Akibatnya, staf SUB melekan (begadang) hingga mata mereka benjol sebesar bakpau (niru di TV, bakpau kan ada yang kecil. Kapan-kapan saya tunjukkan ya).
Saat jadi MC sebelum start, namanya juga selebriti sepeda, adaaaa saja yang ikut naik ke panggung. “Mas Dewo, minta stiker mobil All Access ya?”. Tanya salah satunya.
Jawaban saya? “Maaf saya sedang ngemsi. Mohon cari mbak yang size-nya 52 itu,” kata saya sambil menunjuk.
Ketika sedang cuap-cuap di bawah panggung, biar sok akrab dengan peserta, datang seorang pemuda. “Mas Dewo, kenapa gak pakai mobil support saya. Kebetulan saya punya rental car,” ucapnya.
Glodak! Sekali lagi: “Maaf saya sedang ngemsi.”
“Mas Dewo, fotoin dong.” Begitu juga banyak.
Sekali lagi, semua saya anggap sebagai penghormatan. Inilah olahraga sepeda. Semua seperti keluarga. Azrul Ananda dalam speech-nya mengatakan bahwa mem-bully di sepeda adalah sah, sebagai bentuk peduli, demi lebih baik. Tidak boleh sakit hati. Sekali lagi, inilah dunia sepeda.
Nah, ketika saya merasa tidak lucu, tetap saja saya menemukan kelucuan-kelucuan di even ini.
Irawan Djakaria (alias Pak Kom) salah satu pentolan Ratjoen Malang sempat minta bantuan rompi fotografer. Karena mendadak, rompi jatah saya direlakan untuk beliau. Toh saya masih pakai kaus even. Lucunya, ketika minta bantuan motor atau joki, terpaksa saya tolak. Maaf, stok panitia sudah habis. Beruntung ada pinjaman dari Wawan Mie Bola Mas.
Problemnya, saat ke rumahnya, Wawan sudah tidak ada. Dia sudah di lokasi start. Berkali-kali dihubungi tidak mengangkat HP. Sialnya lagi, orang lain yang dikenal (istrinya) juga tidak ada.
Bermodal bukti WA-nan (chatting) beliau tunjukan kepada orang tua Wawan. Dasar muka baik dan tidak sombong, walau tidak kenal sebelumnya, ayahanda Wawan memberikan motor beserta STNK-nya. Luar biasa! Sehingga para peserta bisa menyaksikan dan memanen hasil jepretan Pak Kom di sosmed. Gratis lagi, hahahaha.
Saat di finis. Saya terpingkal-pingkal melihat wajah Gembox Neroko, salah satu selebritis sepeda kelas fesbuk. Dia seperti baru cuci muka pakai kuah Rawon. Wajahnya gelap gulita. Katanya, puanassssss puollll menjelang Tosari.
Padahal saat di zona netral, dia terlihat sangat antusias. Dengan bobot badan bak alloy ralat pipa ledeng (90 kg), dia sempat menyodok ke depan di grup Men Elite. Ya, dengan pede (atau salah klik) dia mendaftar di kelas Men Elite! Berkali-kali saya abadikan momen super langka ini.
Foto ini sempat saya unggah di fesbuk saya dengan caption Gembox Neroko narik peloton Men Elite, “Musibah atau Anugerah.” Alhamdulillah, hampir semua jawaban memberikan bully-an hahahaha…
Usai memotret peloton belakang, saya berusaha kembali maju ke depan. Eh, ketemu lagi dengan Gembox Neroko, kali ini dengan kondisi porak poranda. Dia sudah turun kelas, berbaur dengan kelompok non-kompetitif. Mulutnya mengunyah botol minuman kosong. Foto ini sempat saya unggah di fesbuk dengan caption: “Men Elite Mbambung Open.”
Ketika saya tanya, mana bidonmu? Rupanya hilang, dia lupa menaruh gara-gara saat hendak start dia baru sadar kalau kelas Men Elite itu dihuni pembalap kelas kakap. Atlet nasional. Katanya, dia sempat linglung. Tidak menyangka kalau even ini jauh berbeda dengan even-even sebelumnya. Dia pun bersumpah “malu tak gentar.”
Gembox Neroko, iya betul, dia yang sedang duduk hehehe.
Di fesbuk pula, ada yang mengunggah dia sedang makan di warung. Ada juga yang mengunggah dia sedang ndeprok (ndlosor) di pinggir jalan gara-gara mengejar Tatang Marthadinata.
Karena kelelahan, dia sempat buka jersey dan sempat tertidur. Beruntung kamu Mas Gembok, punyai nyali badak! Diunggah foto dengan caption mem-bully, dia tenang saja. Dia bilang: “Terima kasih Mas Dewo, emuachhhhhh.”
***
Capek dan tekanan sebagai event organizer semakin lunas terbalas. Beberapa hari setelah even, ada pesan di WA saya dari Edi Apriyadi, warga Indonesia yang tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Beliau bekerja sebagai senior estimator perusahaan minyak dan gas yang berpusat di Italia.
Begitu tahu data teknis Antangin Bromo KOM Challenge, dia memutuskan cuti tiga hari tidak masuk kerja. Waktu tersebut dia pakai latihan menanjak bersama teman-teman cyclist di Kuala Lumpur, yang kebetulan sedang bersiap ikut Taiwan KOM Challenge, Oktober mendatang.
Karena tidak menemukan rute setinggi Bromo, dia memutuskan latihan beban ke daerah sekitar Genting Highlands. Menggunakan sepeda tandem dan meminta Ade Samsiah, istri tercinta, untuk menemani.
Lucunya, sang istri tak bisa naik sepeda. Kata beliau, “Sejak start saye (saya) tidak dapat belens (balance).”
Dalam hati saya tertawa. Maaf ya, rasanya seperti bawa karung beras, hehehe…
Walau sempat grogi, latihan bawa karung beras, maaf, istri, itu berbuah hasil baik. Dia mampu mencapai Wonokitri di bawah batas cut off time untuk mendapatkan medali finisher.
Berkali-kali dia memuji kinerja panitia, dan tidak lupa memberikan masukan bagus untuk panitia. Kata dia, cerita seru Bromo sudah jadi buah bibir di komunitasnya. Tahun depan akan hadir lebih banyak lagi.
Alhamdulillah…
Sekali lagi, kami tidak alergi terhadap pujian. Hahaha…
Tapi kami juga tidak alergi terhadap kritikan.
Beberapa peserta minta tidak disebutkan namanya, dan mereka menyayangkan terjadinya degradasi moral. Mereka melihat masih ada cyclist-cyclist yang melakukan tindakan tidak terpuji dan melanggar zona hina. Yaitu masih ada yang ngojek, memakai bantuan tapak sakti (dorong), atau up and down dari mobil.
Benar juga yang disampaikan principal AA SoS, sepeda adalah olahraga yang menjunjung sportivitas, sehingga mengutamakan moralitas. Tuhan akan mencatat segalanya. Hahahaha, dalem banget!
Korps jersey kuning alias para road captain juga mendapat masukan dari sejumlah peserta. Katanya mereka masih ber-DNA balapan, sehingga tidak mempedulikan peserta yang butuh asupan motivasi dan kawalan.
Mewakili OtakOtak sebagai EO, kami mohon maaf karena soal kualitas makan siang yang tidak maksimal. Kami sadar belum saatnya berlebihan dipuji karena belum teruji. Semoga ke depan jauh lebih baik lagi dalam melayani.
Terima kasih tidak terhingga kami sampaikan mewakili para stakeholder kepada jajaran Polda Jawa Timur, jajaran Kodam V Brawijaya, Pemerintah Kota Pasuruan, Pemerintah Kabupaten Pasuruan, Polres Kota Pasuruan, Polres Kabupaten Pasuruan, Antangin, Citicon, Honda Surabaya Center, Parasol, O’Donuts, dan Hotel Horison Pasuruan.
Semoga tahun depan lebih seru lagi! (*)