Prosedur new normal di beberapa kota sudah dibuka. Aktifitas kembali dilakukan oleh masyarakat, walau tidak sepenuhnya kembali ke sedia kala. Mereka yang bersepeda tentu sudah ke sana-ke mari menikmati alam. Beberapa prosedur yang harus ditaati saat bersepeda juga sudah disosialisasikan.
Sayangnya, beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan berita bahwa kumpulan cyclist menjadi penyebab menyebarnya virus hingga membuat sebuah rumah sakit ditutup. Kembali menempeleng kita semua, mengingatkan selalu bahwa kalau berkumpul sebelum dan sesudah bersepeda harus selalu menjaga jarak.
Hal ini lah yang sekarang digalakkan oleh teman-teman saya ketika bersepeda. Kira-kira begini ceritanya. Pada akhir minggu lalu, saya diajak teman -teman yang biasa bersepeda bersama. Tempat kumpulnya 15 kilometer dari tempat tinggal saya. Lumayan jauh, plus kantuk masih memberatkan mata dan matahari belum terbit. Masih gelap dan dingin. Saya harus agak memaksakan diri agar tidak terlalu terlambat.
Begitu sampai di tempat pertemuan, ternyata ada update bahwa sebagian tidak jadi ikut rute orisinal yang panjang. Yaitu dari Surabaya ke tanjakan Nongkojajar, yang kalau PP sekitar 160 km. Ini sudah biasa di kalangan kami, kadang kesibukan menjadi kendala, sehingga rencana yang diatur jauh bisa berubah seiring dengan datangnya tugas secara tiba-tiba.
Meski demikian, sekitar 20 orang tetap stick to the plan. Gowes menuju Nongkojajar ke arah selatan. Cukup banyak ternyata. Walau angin cukup kencang saya tidak perlu khawatir, ada banyak teman siap melindungi saya dari angin, rela terus menarik peloton di depan.
Di pertengahan jalan, di kawasan Pandaan, saya harus berhenti dulu. Membenarkan handlebar saya yang "turun" karena hantaman lubang jalan cukup dalam. Setelah selesai, saya mencari rekan-rekan lain. Lah, pada ke mana mereka semua? Ternyata, mereka tidak menunggu. Ya ampuuun, bagaimana cara mengejarnya?
Untung ada satu anggota lain, Om Hary, yang tertinggal. Jadi kami berdua terus menuju arah Nongkojajar.
Dari Pandaan ke awal tanjakan Nongkojajar jalannya naik-turun halus. Walau cenderung naik gradiennya tidak curam, membuat saya merasa percaya diri. Namun percaya diri itu hanya bertahan sebentar. Teman saya si Om Hary ternyata sangat rindu sama teman-teman seperguruan cicaknya di depan. Dengan sekuat tenaga dia mengayuh sepeda, tak peduli sedang menanjak atau pas turunan. Alhasil, sekitar 3 km dari kaki gunung, kami bertemu dengan yang lain. Dengan catatan saya sudah susah payah ikut mereka.
Tanjakan pun dimulai. Hors categorie. Panjang tanjakan ke finisnya hampir 20 km. Ketika mulai naik ke arah finis di Pasar Nongkojajar, para "cicak" yang puasa itu dengan cepat meninggalkan saya.
Seperti biasa, waktunya bersepeda sendiri sambil menikmati gunung. Singkat cerita, saya sampai di atas. Grup yang tidak pakai makan itu sudah menunggu saya. Istirahat secukupnya sambil minum jus yang dijual di sebuah warung di sana.
Kami pun turun. Belok lagi ke jalan utama menuju Surabaya. Perjalanan dari arah Purwosari ke Surabaya memang sedikit rolling, tetapi tetap cenderung turun. Kebalikan dari arah berangkat tadi.
Wah, enak ini, pikir saya. Jalan turun, perut penuh jus, dan dan bobot saya tergolong paling berat di antara teman-teman. Amannnn, ini berarti tinggal "menggelinding" saja ke bawah.
Tapi lagi-lagi, itu hanyalah bayangan. Ternyata teman-teman saya itu benar-benar wani (berani) jaga jarak. Segerombolan orang-orang kurus itu menekan pedal dengan kuat ketika jalan sedikit menanjak, dan sangat menekan pedal ketika jalan menurun. Tidak ada kata istirahat. Hanya keramaian jalan yang membuat mereka melambat, membuat saya bisa sedikit bernapas. Sikap "jaga jarak" itu terus mereka terapkan sampai Surabaya. Saya ngos-ngosan, tapi jarak mereka aman dari saya.
Berbahagialah kalian jika masih dalam kondisi sehat dan punya teman-teman yang sadar akan kesehatan. Bersepedalah, tapi ingat jaga diri. Badai virus itu belum berlalu.(Johnny Ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 7: Gowes di Luar Negeri Belum Tentu Lebih Mahal
Audionya bisa didengarkan di sini