Semua mungkin sudah tahu, belakangan ini ada banyak cyclist baru. Ada yang mengistilahkan "cyclist baru produk pandemi corona." Ada yang sekadar ikut-ikutan, ada yang ingin sekadar berolahraga, tapi ada juga yang ingin belajar serius.
Pekan ketiga Agustus lalu adalah pekannya para cyclist. Ada beberapa tanggal merah, memberi peluang mereka untuk gowes ekstra. Pada Kamis, 20 Agustus, saya dan teman-teman komunitas Free Bike Indonesia punya rencana melahap rute endurance panjang. Yaitu rute Audax East Java 2013 yang dibalik, menempuh jarak lebih dari 230 km dari Surabaya ke Pujon via Kandangan, lalu turun lewat Batu, Lawang, sebelum melaju lagi ke Surabaya. Bakal seharian, dari pagi sampai sore, dan menanjak total lebih dari 1.500 meter.
Beberapa hari sebelum itu, saya dikontak seseorang melalui dm di medsos. Dia bilang ingin gabung bersepeda.
Saya sempat ragu mengajaknya ikut rute jauh ini. Saya cyclist yang berpengalaman. Maksudnya berpengalaman "bambung" (tercecer) sendiri, menanjak sendiri, dan terpaksa pulang sendiri. Jadi, saya tidak ingin menjerumuskan cyclist baru, seperti teman-teman saya menjerumuskan saya dulu.
Tibalah Hari H. Pagi-pagi itu, tidak ada kabar. Aman, pikir saya. Sudah biasa cyclist berhalangan mendadak. Eh, tidak lama David bilang kalau dia justru sudah siap di tempat berkumpul. Justru saya yang belum!
Setelah mulai gowes, jarak dari Surabaya menuju Kandangan (pit stop pertama) itu hampir 90 km. Jalanan memang datar, tapi banyak tempat yang permukaannya jelek.
Sampai di sana, saya dan teman-teman baru sadar kalau David ini memang nekat. Pemuda 23 tahun ini pokoknya berani ikut dengan segala risiko, naik sepeda aluminium, dan tidak memakai pengukur kecepatan apa pun pada sepedanya! Tidak ada speedometer, apalagi bike computer.
Tapi ya sudah, tidak mungkin menyuruh dia kembali. Maka, bersiaplah kami semua melahap menu utama. Rolling menanjak dari Kandangan ke Pujon, menempuh jarak hampir 45 km.
Hmmm, di mana ya si cyclist nekat itu?
Karena perut saya lapar, akhirnya saya menunggu dia di daerah Kota Batu. Setelah beberapa saat, akhirnya David muncul. Dia langsung pesan Nasi Rawon dan menyantap makanan itu lebih cepat dari saya.
Ingat, perjalanan belum selesai, masih ada 90-an km lagi untuk sampai lagi di Surabaya. Teorinya memang tinggal turun saja. Tapi itu teorinya. Karena yang bikin teori itu naik kendaraan bermotor saat mencoba rute ini. Jadi dia tidak merasakan jalan-jalan miring ke atas sedikit, atau angin kencang yang menghempas.
Tentu saya menganggap ini wajar. Bahkan dia seharusnya sudah menyerah sejak masih di Pujon. Tapi saya salut dan terkesan. Tidak banyak cyclist pemula seberani dia. Dengan peralatan dan persiapan paspasan mau mengikuti rute panjang dan berat ini. Benar-benar wani tok kalau ikut cara ngomong orang Surabaya.
Dalam hati, saya berharap semoga para cyclist baru seperti ini semua. Wani dan pantang menyerah sampai titik lelah terakhir. Tanpa takut yang berlebihan, tanpa banyak mengomel, yang penting dipancal (digowes) saja. Dan semoga yang bersangkutan tidak kapok, kemudian kelak bisa jadi panutan di komunitasnya. (johnny ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 11
Audionya bisa didengarkan di sini