Tiga hari sudah berlalu. Total lebih dari 500 km telah dikayuh. Dari Singaraja, Bali, kelompok cepat Kamis, 1 Februari, sudah tiba dan menginap di Praya, Lombok. Walau harus menggunakan “Plan B” untuk mencapainya.
Velominati, semacam “pengatur etika” bersepeda yang jadi acuan di dunia, punya puluhan aturan seru. Aturan nomor 9 berbunyi: “If you are out riding in bad weather, it means you are a badass. Period.”
Hari ketiga bike packing tour menuju Labuan Bajo Kamis, 1 Februari, harus kami awali sepagi mungkin. Pukul 05.30 WITA, kami berangkat dari penginapan di Singaraja, Bali.
Masih gelap, dan hujan lebat!
Tapi kami tidak bisa menunggu. Harus jalan! Karena kami harus mengayuh sejauh 115 km menuju pelabuhan di Padang Bai. Dan di tengah-tengahnya ada tanjakan menantang.
Kami harus disiplin, sampai Padang Bai sebelum pukul 12.00 WITA. Supaya bisa segera naik fast boat atau feri menuju Pulau Lombok. Kalau naik kapal terlalu sore, maka kami akan tiba di penginapan di Lombok terlalu malam. Dan itu berarti istirahat kurang, besok-besoknya bisa semakin kendur.
Jalan di Bali untung mulus. Jadi walau hujan, kami bisa melaju dengan pace aman tapi cukup cepat. Kami sempat deg-degan saat kilometer 51 di Desa Kubu. Tiba-tiba macet total. Setelah menyelinap-menyelinap, ternyata ada banjir longsor di depan!
Tidak panjang, tak sampai 100 meter. Tapi aliran air lumpur menyeberangi jalan begitu deras. Batu-batuan berceceran di tengah jalan.
Tidak ada pilihan. Harus tetap go. Kami kayuh melewatinya dengan hati-hati. Go Suhartono (Ko Hay) menuntun karena roda sepedanya memang paling kecil.
Sekitar dua kilometer kemudian, kami berhenti di sebuah toko kelontong. Pinjam selang air, membersihkan sepatu dan sepeda dari lumpur. Sekaligus mengisi bidon (botol minum) dan ngopi sebentar.
Tidak lama, kami jalan lagi. Karena hanya sekitar 10 km kemudian, tanjakan sudah menanti.
Jalan mulai menukik ke atas di kawasan Tulamben. Lalu ketika tiba di Desa Culik, jalan benar-benar naik terus sejauh sekitar 4,5 km, menuju ketinggian 500 meter. Sebenarnya tidak curam. Meliuk-liuk dengan kemiringan antara 5-9 persen.
Tapi mengingat sepeda kita berat, total 25-30 kg dengan muatan, tanjakan itu terasa begitu berat. Kalau biasanya dengan road bike saya bisa melaju 15-20 km/jam, kali ini hanya 5-12 km/jam! Untung sepeda Trek 520 saya memakai crank depan triple. Jadi bisa main cadence (putaran kaki) menuju puncak di Desa Ababi.
“Naik sepeda ini, bukit jadi terasa seperti gunung”, kata Cecco.
Di sana kami berhenti lagi di sebuah mini market. Minum dan nyemil. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 WITA, jarak sekitar 30 km menuju Padang Bai. Secara teori, karena banyak turun, harusnya satu jam sampai.
Harusnya.
Karena ternyata masih ada jalanan rolling. Saat lewat Candi Dasa, jalanan juga padat. Beruntung, kami masih bisa sampai Padang Bai pukul 11.50. Sebelum pukul 12.00!
Lagi-lagi, teman-teman dari PT Dharma Lautan Utama, dipimpin Agus Hermanto, menyambut kami di pintu pelabuhan.
Kami bertanya, apakah ada fast boat masih bisa menyeberang. Karena paginya Francesco Bruno (Cecco) bilang cuaca buruk dan tidak ada fast boat ke Lombok.
Ternyata tidak ada lagi kapal cepat karena cuaca buruk. Tapi ada feri pukul 13.00 WITA. Jadi kami diajak makan ikan bakar dulu (luar biasa enaknya!), baru kemudian naik feri.
Kalau naik fast boat, tak sampai dua jam sampai Pelabuhan Bangsal di Lombok. Kalau naik feri, butuh waktu 4-5 jam menuju Pelabuhan Lembar.
Kami pun beralih ke Plan B. Pakai feri, lalu geser penginapan dari Mataram ke Praya, dekat Bandara Internasional Lombok (BIL).
Di feri, kami diberi tempat di ruang istirahat/meeting awak kapal. Kami pun tidur-tiduran, makan (lagi!), dan ngobrol asyik. Sebelum feri sampai pelabuhan, kami ke luar untuk foto-foto.
Sesampainya di Lembar, kami langsung tancap gas lagi. Sekitar 30 km menuju hotel, melewati jalan bypass BIL yang mulus dan panjang dan seru cepat!
Seandainya pakai fast boat, kami sebenarnya juga hanya gowes sekitar 30 km. Tapi melewati tanjakan Pusuk Pass. Sampai sebelum matahari terbenam.
Karena naik feri, kami sempat khawatir baru sampai penginapan pukul 20.00 dan sudah gelap. Ternyata kami sudah sampai beberapa menit sebelum pukul 19.00.
Bisa makan dan rest cukup untuk keesokan harinya!
Hujan atau tidak, harus terus disiplin tancap gas. Semoga tidak ada masalah di tiga hari yang tersisa!
Bagi pembaca yang kelak berminat melakukan touring serupa, ketangguhan dan disiplin merupakan kunci penting. Kalau memang masih takut bersepeda jauh dan hujan-hujan, maka harus menerapkan aturan Velominati nomor 5: Harden the f**k up!
Tangguhkanlah dirimu! (bersambung)
PS: Mulai hari keempat menuju Sumbawa, kelompok cepat ketambahan anggota baru. Cipto Suwarno Kurniawan, yang seharusnya ikut dari awal tapi batal karena kesibukan, bergabung dengan kami di Lombok. Melihat tantangannya, May The Force Be with Him!
Foto: Azrul Ananda School of Suffering (follow IG @aasos_indonesia)