Tour de France (TdF) bukan sekadar tontonan bagi saya dan sejumlah sahabat gowes. Even ini juga memberi banyak kenangan. Mengenang masa-masa masih "belum pintar," khususnya dalam menanjak. Dan Col de Marie-Blanque, tanjakan yang dilewati Etape 9 Minggu ini (6 September), adalah sebuah tanjakan penuh kenangan bagi kami.
Pada dasarnya, tanjakan itulah yang membuka mata kami tentang apa itu "tanjakan." Gara-gara Marie-Blanque, kami belajar bagaimana memandang dan menilai sebuah tanjakan, serta bagaimana strategi untuk menghadapinya. Ilmu yang superpenting bagi penghobi sepeda kalau ingin improve dan bisa menikmati tanjakan.
Flashback dulu ke 2012. Saya dan 15 teman sepeda lain dari berbagai kota memutuskan ikut trip seru. Ke Prancis ikut program tur menonton TdF sekaligus menjajal beberapa rutenya.
Waktu itu cycling belum ramai seperti sekarang, dan banyak teman sepeda lain mencoba mengikuti perjalanan kami secara serius. Memberi semangat dan lain sebagainya. Ingat, waktu itu, penghobi mungkin belum bisa membedakan apa itu turing dan gowes biasa dengan balapan!
"Orang-orang semua mengira kita ini mau balapan. Padahal, ini partai komedi," celetuk Sony Hendarto, penghobi senior asal Madiun yang terkenal dengan koleksi sepeda custom-nya.
Ketika pergi, kami tentu hepi-hepi saja. Tidak pernah membayangkan kalau akan terus menanjak, atau menanjak terus menerus itu rasanya bagaimana. Di Indonesia, event menanjak belum ada. Kebanyakan komunitas masih lebih banyak nongkrongnya daripada gowesnya. Itu pun hampir selalu rute datar dan pendek.
Waktu itu kami terbang ke Prancis ke Kota Toulouse. Lalu naik mobil ke Pau, menginap di sana selama beberapa hari. Karena jadwal pekan itu, TdF akan melintasi kawasan pegunungan Pyrenees. Dan pusatnya ada di Pau.
Penuh semangat, kami merakit sepeda kami masing-masing. Saya dan Prajna Murdaya waktu itu bawa Polygon Helios 900x, yang sudah kami custom paint. Impian kami memang untuk bawa sepeda Indonesia ke sana.
Rute hari pertama? Di jadwal tertulis, serta tertulis lagi di papan di ruang breakfast hotel, adalah menanjak ke Col de Marie-Blanque. Jarak totalnya dari Pau ke puncaknya adalah 60 km. Lalu sampai di puncak semua sepeda diangkut mobil kembali ke Pau.
Para guide memutuskan lebih baik sepeda diangkut. Pertama, karena kami kelihatan pemula banget, dan mereka tidak mau kami mengambil risiko di turunan. Kedua, kami pasti butuh waktu terlalu lama untuk naik ke atas, sehingga akan butuh waktu terlalu lama lagi untuk kembali ke Pau!
Wkwkwkwk... Intinya kami dianggap terlalu lelet...
Karena masih "polos," kami nurut saja. Pokoknya gowes.
Col de Marie-Blanque termasuk tanjakan paling kondang di kawasan Pyrenees. Sering sekali dilalui oleh peloton TdF. Dan tahun 2020 ini akan kembali dilalui. Pemandangannya disebut sebagai salah satu yang terbaik.
Tanjakan itu bisa diambil dari dua sisi. Dua-duanya pernah dilewati TdF. Pada 2012 itu, kami mengambil sisi yang lebih panjang tapi lebih "mudah." Yaitu dari sisi timur, dari Louvie-Juzon. Tanjakan secara resmi dimulai di Bielle, total ke puncaknya 11,5 km dengan kemiringan rata-rata "hanya" 5,1 persen. Maksimumnya pun hanya 8,5 persen.
Tour de France 2020 akan mengambil sisi baliknya yang lebih kejam. Dari Escot. Panjangnya 9,3 km dengan kemiringan rata-rata 7,7 persen. Jadi, untuk nostalgia, tahun ini kami akan melihat peloton TdF menuruni tanjakan yang kami tanjaki pada 2012 dulu.
Walau sisi yang kami lewati termasuk lebih mudah, karena kami masih belajar nanjak, jadinya ya terasa berat. Apalagi panas kering sangat terasa (suhu mendekati 40 derajat Celcius). Dalam hati, saya sempat bernyanyi-nyanyi menghibur diri: "Aduh, aduh, ke puncak gunung. Sudah terlanjur bayaaaar..."
Ketika bersama rekan senior, Djoko Andono (Koo Ping An), kami berupaya bercanda menghibur diri. Misalnya pas melintasi sungai kecil, dengan air bening mengalir. Beliau nyeletuk: "Nyemplung yuk Zrul. Kayaknya enak."
Berkali-kali kami berhenti. Alasannya foto-foto menikmati pemandangan. Tapi sebenarnya untuk istirahatkan kaki.
Untungnya lagi, tanjakan-tanjakan di Pyrenees punya penanda lengkap. Pada setiap kilometer selalu ada tonggak penanda di sisi jalan. Menjelaskan sudah km berapa (berapa km dari finis), dan dalam 1 km ke depan kemiringan rata-ratanya berapa.
Jadi, kami bisa menata diri. Sekaligus belajar banyak. Membedakan seperti apa rasanya 5 persen, seperti apa rasanya 8 persen. Benar-benar panduan yang berguna! Seharusnya tanjakan-tanjakan di Indonesia ada seperti itu.
Pada akhirnya, kami semua sampai finis. Mobil guide kami sudah menunggu dengan meja tertata rapi, di atasnya ada banyak makanan dan cemilan. Banyak turis sepeda dari berbagai negara asyik foto-foto di atas sana juga.
"Juara" hari itu adalah Prajna. Walau dijemput oleh mobil, dia tetap tidak mau turun dari sepeda. Dia ingin benar-benar finis di atas sepeda. "Saya tidak jauh-jauh ke sini dan membayar mahal untuk finis jalan kaki atau naik mobil. Ini high value suffering," ucapnya.
Begitu sampai kembali di hotel, kami bersih-bersih dan bersiap untuk makan malam. Guide menyarankan kami untuk banyak jalan kaki, dan jalan kaki juga ke restoran untuk makan. Alasannya, itu salah satu cara recovery yang baik setelah terus gowes menanjak.
Di tempat makan itu, seperti kebanyakan kelompok gowes, kami saling cerita penderitaan dan keasyikan masing-masing.
Di situ pula, kami semua baru sadar kalau "Col" itu artinya tanjakan. Dan masih ada "col-col" lain yang harus kami lewati dalam beberapa hari ke depan.
Di restoran itu pula, kami browsing. Col de Marie-Blanque itu masuk kategori tanjakan apa. Ternyata, itu masuk kategori 1, termasuk yang paling berat. Hanya hors categorie (HC, beyond category) yang lebih berat dari itu.
Bermodal ilmu baru, kami pun buka jadwal rute hari-hari berikutnya. Dan keesokan harinya, kami dijadwalkan melahap yang namanya Col de Aubisque, satu lagi tanjakan kondang di Pyrenees.
Aduuuh!!! Ternyata Col de Aubisque itu masuk kategori HC. Jadi sengsara kami di Marie-Blanque siang itu tidak ada apa-apanya dengan menu keesokan harinya. Malam itu, perut kami memang kenyang. Tapi tidur kami jadi tidak tenang... (azrul ananda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 12
Audionya bisa didengarkan di sini