Rezeki itu Tuhan yang atur. Kalimat ini banyak diucapkan orang bila membahas soal pekerjaan. Berapa yang kita dapat, lepas dari seberapa keras usaha kita, semua itu ada peran Tuhan Yang Maha Esa.

Tiap individu punya sumber pendapatan masing-masing. Ada yang dicukup-cukupkan, ada yang sudah cukup, ada yang jauh dari cukup. Tentu bagi para pesepeda, besaran pendapatan ini bisa tercermin pada tunggangan (sepeda) mereka.

Demam sepeda yang menggila di era pandemi ini juga diikuti dengan harga yang fantastis. Ada harga yang sebanding dengan fungsinya, ada harga yang tidak jelas tercipta karena apa.


Belakangan, timbul juga sebuah pemikiran bahwa bersepeda bukan sekadar salah satu jenis olahraga. Tapi sudah menjadi sebuah lifestyle. Itu bisa berarti, sepeda yang dimiliki harus memiliki pamor yang sepadan dengan pemiliknya. Bagi sebagian orang, agar tidak dilihat sebelah mata, mereka pun harus menguras tabungan dan memaksa sedikit (atau banyak) agar sepeda mereka terlihat pantas, representatif dengan image yang diharapkan.

Akhir-akhir ini, nilai sebuah road bike dengan mudah bisa menyentuh angka ratusan juta rupiah. Dan itu masih "standar" menurut sebagian orang yang mampu. Itu pun jika tersedia stoknya. Banyak sepeda "lama" yang menyaru jadi sepeda baru, agar harganya juga ikut melambung di tengah shortage sepeda saat ini.

Desakan teman dan media sosial seakan memaksa pesepeda habis-habisan untuk "bandani" (memodali banyak) sepedanya.

Apakah ini salah? Tentu tidak. Memang rezeki Tuhan yang mengatur, tapi sepeda yang beli kan kita, manusianya. Jadi, ya sah-sah saja mau jadi seperti apa sepedanya. Di sisi lain, kita juga makhluk yang berakal budi. Meski bila kita diberi rezeki lebih dari cukup, toh kita masih bisa menentukan sepeda yang kita punya.


Sepeda seperti fungsi awalnya adalah alat transportasi aktif. Jadi bila sepeda tersebut bisa kita gunakan untuk berpindah tempat, sebenarnya fungsinya sudah tercukupi. Segala pernak-pernik yang menyertainya hanyalah fitur tambahan. Yang mungkin sebagian besar tidak kita perlukan.

Kadang, kita malah membeli komponen mahal yang tidak diperlukan. Sedangkan yang sebenarnya kita perlukan malah tidak kita beli. Contohnya helm. Iya, masih ada saja orang yang sepedanya berharga lebih dari Rp 30 juta, tapi dia tetap tidak memakai helm di jalanan. Kalau jatuh dan terjadi apa-apa, bisakah kita menyalahkan yang memberi rezeki?

Hidup ini penuh dengan pilihan. Anda membeli sepeda dengan mindset seperti apa juga menjadi pilihan masing-msing. Apa pun pilihan Anda, tidak ada yang benar atau salah selama semua itu sudah dipikirkan dengan matang. Mendengar dari sumber tepercaya, atau mencari referensi dari jagad maya, adalah usaha agar kita bijak dan peka dalam membeli sepeda.

Selamat berburu sepeda baru. Baik yang pertama, kedua, atau yang kesekian. Dan tetaplah bersepeda! (johnny ray)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 23

Foto: SUB Jersey, @shotsby_jong

Populer

Pendaftaran Mulai Besok, EJJ 2025 Menawarkan Spot Baru 
Kolom Sehat: Anti Social-Social Ride
Alur Pendaftaran Cyclist Internasional Mainsepeda EJJ 2025
Cyclist Favorit: Habibie Jebolan EJJ Gowes Sampai ke Mekkah
Kolom Sehat: MTB
Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
Barang Bawaan Peserta Journey To TGX 2024 Dikirim ke Trenggalek Gratis
Tips Merakit Gravel Bike dengan Harga Terjangkau
Inilah Rute Journey To TGX 2024, Jarak Sama COT Bertambah
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan