Secara umum, tahun 2020 bukan tahun yang normal. Bukan tahun yang sebenarnya ingin kita kenang. Tapi, sebagai penggemar sepeda, ini tahun yang penuh cerita. Bagaimana hobi kita "meledak" begitu dahsyat, membuat barang menjadi langka dan harga-harga terbang ke luar angkasa.
Pandemi ini juga membuat penghobi seperti saya waktu lebih untuk gowes. Khususnya di masa-masa PSBB di kota-kota besar. Di saat banyak kegiatan usaha berhenti. Memberi apresiasi baru terhadap indahnya hobi yang satu ini.
Nah, tahun lalu, saya menulis sepuluh barang favorit saya. Ternyata responsnya luar biasa. Tahun ini, saya ingin menulis lagi. Sebagai catatan, barang-barang yang saya tulis ini semua saya beli, bukan endorse-an, dan berdasarkan pengalaman pribadi murni.
Bisa cocok dengan orang lain, bisa berbeda --bahkan berseberangan-- dengan orang lain. Tapi, inilah yang saya rasakan dan nikmati pada 2020 ini:
1. Wheelset: Fulcrum Racing Zero (Biasa)
Wheelset karbon semakin merajalela. Semakin banyak merek beredar, serta semakin matang dan massalnya teknologi ini membuat harga makin terjangkau. Namun, saya selalu punya hati untuk rim brake dan wheelset alloy.
Kondisi jalan yang kasar dan bumpy, serta berbumbu lubang berbagai bentuk dan ukuran, membuat wheelset alloy jadi sangat populer bagi cyclist di Surabaya dan sekitar. Toh tidak menghalangi keinginan mereka dapat KOM dan hajar-hajaran. Malah lebih tenang, tidak takut roda rusak.
Dari semua wheelset alloy, saya paling suka Fulcrum Racing Zero. Khususnya yang "biasa." Bukan yang Nite (yang serba hitam), karena menurut saya itu lebih ribet dengan jenis rem yang berbeda. Serta, yang biasa dan Nite menurut saya sama saja, karena hub-nya sama (USB Ceramic). Saya heran, aslinya tidak beda kok harganya bisa selisih jauh.
Ya, ada pula Fulcrum Racing Zero Competizione. Selisih harganya juga melompat. Padahal, menurut saya aslinya sama. Hanya beda pada bearing. Yang versi Competizione memakai CULT Ceramic. Terus terang, saya tidak bisa merasakan apakah CULT dan USB itu benar-benar beda. Mungkin iya, tapi saya tidak merasakannya.
2. SRAM Red 11-Speed (Lama)
Dua tahun lalu, kalau ditanya grupset favorit saya, jawabannya adalah SRAM Red 22, alias SRAM Red 11-Speed. Yang mechanical ya, bukan yang wireless. Saya selalu suka sistem lever double tap-nya. Perpindahannya terasa begitu lantang dan gagah. Crank-nya juga karbon, terasa lebih kaku dan garang bila dibandingkan dengan merek Jepang yang dari alloy.
Plus, yang paling saya sukai, adalah cassette (sproket)-nya. Yang 11-28. Kenapa, karena sproket ini memiliki rasio agak beda dengan yang merek Jepang. Yaitu ada gir 16, cocok untuk melaju nyaman di kecepatan 40-an. Plus, gir ringannya terbagi lebih rata. Dari 28 turun ke 26, lalu ke 24. Tidak lompat jauh saat dipindah-pindah di medan menanjak yang bervariasi. Sebagai perbandingan, Shimano 11-28 girnya turun dari 28 langsung ke 25, dan tidak ada gir 16.
Kemudian hadir SRAM Red eTap 11-Speed. Keren, saya juga suka. Toh sproketnya sama. Lalu hadir SRAM eTap 12-Speed. Yang rasio girnya bikin kaki saya bingung di tanjakan. Kalau untuk datar mungkin enak, karena gir-gir bawahnya rapat-rapat. Tapi gir-gir atasnya... Ampun. Dari 33 turun langsung ke 28. Yang 11-28 juga langsung turun dari 28 ke 24. Kalau Anda suka rute ngawur seperti teman-teman saya di Surabaya, Anda akan merasakan anehnya rasio gir itu!
Saya yakin SRAM akan merilis gir-gir dengan rasio beda. Karena pembalap-pembalap profesionalnya saya tahu minta dan memakai rasio yang berbeda. Saya menunggu itu saja sebelum membeli lagi...
3. Sepatu Bontrager XXX
Sepatu sangatlah personal. Tiap orang ukuran dan bentuknya beda-beda. Yang cocok untuk satu, belum tentu cocok untuk yang lain. Saya sudah membeli, dan merusak, begitu banyak sepatu sepeda dalam sepuluh tahun terakhir. Harus saya akui, yang paling awet adalah Sidi, apa pun modelnya. Kebetulan saja, untuk 2020 ini, sepatu favorit saya adalah Bontrager XXX.
Kaki saya cukup panjang, ukuran 45 (US 11). Dan kaki saya tidak lebar seperti kebanyakan kaki orang Asia/Indonesia. Jadi, saya aman pakai semua merek. Biasanya, saya sangat suka sepatu yang solnya superkaku, seperti merek Bont dari Australia. Walau kadang kurang nyaman untuk jarak sangat jauh.
Namun, Bontrager XXX terbaru ini seperti pas dalam segala hal. Cukup kaku, tapi tidak terlalu kaku. Upper-nya juga nyaman. Terasa kokoh, tapi masih nyaman dan berventilasi cukup untuk cuaca kita yang panas. Model juga tidak aneh-aneh. Punya saya hitam polos.
Dan pada sepatu ini, saya tidak perlu memasang custom insole seperti pada sepatu lain. Entah mengapa, nyaman-nyaman saja dengan sol standarnya.
4. Helm Lazer Genesis
Tahun lalu, saya menulis helm POC sebagai favorit saya. Ini masih belum berubah. Kebetulan, ada satu helm lain yang mendapat tempat di hati dan kepala saya. Yaitu Lazer Genesis.
Lazer ini merek Belgia, tapi di bawah payung Shimano. Ringan sekali, serta ventilasinya relatif tradisional dengan banyak lubang. Helm aero memang keren, tapi bukan untuk gowes berjam-jam seperti yang rutin saya lakukan. Lagipula, modelnya Genesis juga "aman" dan netral. Cocok untuk aneka apparel dan sepeda.
Katanya, urusan safety-nya juga luar biasa. Ada tes independen yang menyatakan Genesis sebagai helm dengan nilai keselamatan tertinggi.
5. Sarung Tangan Decathlon
Entah sudah berapa banyak sarung tangan saya yang sobek atau rusak. Harga mahal bukan jaminan. Bahkan sarung tangan harga juta bukan jaminan awet. Gara-gara ini, urusan sarung tangan, saya jadi lebih praktis. Fungsi yang utama, bukan fashion.
Fungsi sarung tangan memang bukan sekadar untuk gaya. Selain bisa membantu grip dengan handlebar, juga bisa membantu meredam getaran yang dirasakan tangan. Di sisi lain, kalau kita sampai terjatuh, sarung tangan bisa mengurangi risiko luka pada kulit telapak tangan.
Untuk segala fungsi itu, saya belakangan jatuh hati dengan sarung tangan harga Rp 80 ribu hingga Rp 120 ribu per pasang. Beli di Decathlon, di bawah merek Triban atau Van Rysel. Model minimalis, fungsi serba tercukupi, tidak kalah nyaman dari yang harga jauh lebih mahal (bahkan jutaan).
6. Chainring AbsoluteBlack
Saya penggemar crankset yang kaku. Berat bukan yang utama. Kalau bisa ringan dan kaku, superbonus! Salah satu elemen penting untuk meraih kekakuan (stiffness) itu adalah chainring. Tahun ini, saya jatuh cinta pada AbsoluteBlack, produsen chainring Inggris, dengan pabrik di Polandia dan material aluminium dari Jerman.
Seperti merek Rotor (Spanyol), AbsoluteBlack mengedepankan teknologi oval chainring-nya. Walau banyak orang suka oval, terus terang saya lebih suka chainring bundar biasa.
Jadi, chainring AbsoluteBlack yang saya pakai ya yang bundar biasa. Dibandingkan dengan chainring aluminium bawaan grupset Jepang, yang dari AbsoluteBlack ini langsung memberi "rasa" lebih mantap. Modelnya juga eye catching. Tentu saja, ini bukan satu-satunya merek chainring yang menawarkan performa ekstra. Kebetulan saja tahun ini saya kesengsem dengannya...
7. Film Breaking Away
Pandemi sempat memaksa kita terus berdiam di rumah. Entah berapa banyak film saya tonton. Dari semua tontonan "berbau" sepeda, film tahun 1979 ini menjadi hiburan seru. Judulnya Breaking Away. Tentang sekelompok remaja "tersisih" yang meraih nama di arena sepeda.
Tokoh utamanya, Dave (Dennis Christopher), sangat terobsesi dengan balap sepeda. Baru lulus SMA di Bloomington, Indiana, dia terus naik sepeda dan ikut balapan-balapan lokal. Juga ikut balapan di mana bintang-bintang Eropa ikut berpartisipasi.
Puncaknya, Dave dan teman-teman ikut balapan kampus legendaris di Amerika. Namanya Little 500. Terinspirasi dari balap mobil Indy 500 (juga di Indiana), satu tim berisikan empat orang bergantian naik sepeda keliling lintasan oval di Indiana University Bloomington.
Ceritanya seru, lucu, dan menampilkan banyak aktor muda yang kemudian jadi bintang kondang. Seperti Dennis Quaid, Daniel Stern, dan Jackie Earle Haley.
Film ini menang Academy Award (Oscar) untuk skenario terbaik, juga masuk nominasi film terbaik. Di ajang Golden Globe, Breaking Away menang film terbaik (komedi atau musikal). Film ini juga dinyatakan masuk peringkat delapan di 100 film paling inspiratif oleh American Film Institute pada 2006.
8. Semua Titanium atau Steel Bike Saya
Penjualan sepeda begitu meledak di tahun 2020. Begitu banyak newbie rela mengeluarkan ratusan juta untuk sepeda-sepeda karbon terbaru. Di saat seperti itu, entah mengapa saya berubah jadi anti-mainstream. Tiba-tiba, saya jadi lebih menikmati sepeda-sepeda lama saya. Khususnya yang bukan karbon. Yaitu yang terbuat dari titanium atau steel.
Ya, sepeda karbon memang ringan. Bisa dibentuk hingga lebih aerodinamis. Namun, saya setuju dengan anggapan banyak traditionalists, bahwa "steel is real."
Tahun ini, saya banyak mengendarai sepeda-sepeda "sederhana" itu. Khususnya Moots Vamoots CR yang saya beli pada 2015, Ritchey Road Logic yang termasuk terjangkau, juga Condor Super Acciaio. Mau pakai Pegoretti banyak ragunya, sayang kalau frame-nya lecet wkwkwk...
Karbon memang cepat, lincah, responsif. Tapi sepeda titanium dan besi mampu meredam getaran begitu "indah." Membuat kita bisa sangat menikmati enaknya bersepeda. Bahkan, dalam enam bulan terakhir, CLBK ini menginspirasi saya untuk mengembangkan frame titanium merek Wdnsdy sendiri.
9. Event-Event di Zwift
Berbagai aplikasi indoor masuk daftar top ten saya tahun 2019 lalu. Tahun ini, saya sampai sempat eneg main indoor. Mau gowes sendirian di Zwift bosan, mau meetup sama teman-teman pada akhirnya tetap lebih asyik IRL (in real live alias di dunia nyata).
Untung, di Zwift ada banyak event. Setiap jam ada event-event seru. Mau social ride, workout bareng, mau balapan habis-habisan, atau balapan time trial, semua ada. Mau jarak pendek, mau yang sampai ratusan kilometer, juga ada.
Banyak event menghadirkan bintang tamu, jadi kita bisa gowes virtual dengan para juara dunia atau tokoh industri sepeda.
Setiap hari, saya rajin mengecek aplikasi Zwift Companion, melihat event apa yang ada hari itu atau keesokan harinya. Siapa tahu ada yang menarik. Dan saat musim hujan tiba, saya jadi makin sering melihat jadwal event-nya.
10. Udara Pegunungan
Nah, ini yang super spesial pada 2020. Gowes menanjak terasa semakin mahal. Keluar dari kota. Gowes di jalanan sepi menanjak. Tidak perlu pakai masker, menikmati udara pagi di dataran lebih tinggi. Dengan pemandangan yang menyenangkan.
Dengan situasi pandemi, gowes indoor tetap bisa membuat kita merasa tertekan. Gowes di dalam kota jadi terasa lebih sesak dengan begitu banyaknya newbie di jalanan. Jujur, kadang ngeri juga gowes di sekitar para cyclist produk pandemi. Banyak yang belum lancar naik sepeda, banyak yang belum sadar pentingnya berposisi di jalan raya, banyak yang tidak sadar sekeliling karena pakai earphone (saya paling tidak tahan lihat ini). Dan yang paling mengerikan, para pemula itu memaksakan diri ikut peloton yang cepat.
Ketika menanjak, kita jauh dari semua itu. Seperti meditasi. Bicara dengan diri kita sendiri. Kadang tak peduli teman/lawan lebih cepat di depan. Pure cycling! (azrul ananda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 26