Giro d’Italia 2018 menawarkan dua etape yang menuntut setelan sepeda “ekstrem.” Di satu sisi, ada Etape 14 dengan tanjakan superkejam bernama Monte Zoncolan, dengan kemiringan mencapai 22 persen. Di sisi lain, ada Etape 16 berupa time trial (TT) panjang dan datar, membutuhkan speed maksimal selama mungkin.
Mengamati dua etape itu, kita bisa belajar banyak tentang bagaimana para bintang dunia menerapkan setelan sepeda. Sekaligus menunjukkan betapa bedanya kaki mereka dengan kaki kita kebanyakan! Berikut ulasan setelan sepeda di kedua etape tersebut.
Zoncolan: Jangan Malu Sproket 32
Belakangan, grupset yang dijual di pasaran menawarkan kombinasi gir yang makin “nyaman.” Kombinasi 50-35 di depan dengan sproket 11-32 sudah umum, bahkan sekarang banyak dengan sproket 11-34. Walau sebenarnya tren itu didorong oleh pemakaian gravel bike di Amerika dan Eropa, yang memang menuntut gir lebih mirip MTB.
Menghadapi etape ke Monte Zoncolan pada Sabtu, 19 Mei lalu, para pembalap pun membuat para mekanik sibuk. Setelan standar 53-39 dengan belakang 11-28 banyak dibongkar. Dalam satu tim, pembalapnya bisa butuh beda-beda. Ada yang minta 52-34 plus 11-28, ada yang minta 52-36 belakang 11-30, juga ada yang minta 50-34 belakang 11-32.
Sebagai acuan utama mungkin kita bisa melihat Pinarello Dogma F10 (versi extra light) yang dipakai Chris Froome meraih kemenangan di Zoncolan. Sebagai pembalap yang dikenal dengan putaran kaki cepat, tak heran bila dia memilih kombinasi depan 34 dengan belakang 32.
Chris Froome (Team SKY) memilih kombinasi 34 depan dan 32 belakang di Pinarello Dogma F10 X-Light. Dan berhasil meraih kemenangan di Monte Zoncolan, 19 Mei lalu.
“Kami telah menjajal tanjakan ini (sebelum lomba). Tergantung lombanya, dia (Froome) biasanya memakai 38 depan 30 belakang kalau miring maksimalnya 15 persen. Untuk Zoncolan, dia memilih 34 dan 32 supaya lebih bisa memutar kaki,” jelas Gary Blem, mekanik Team Sky.
Pembalap lain, seperti Davide Formolo (Bora-Hansgrohe), memilih kombinasi 36-30.
Khusus EF Education First-Drapac, yang menunggangi Cannondale, tim punya kebijakan tegas: Semua pembalap harus memakai kombinasi yang sama. “Kami memakai 52-34 di depan dengan 11-32 di belakang. Kami suka semua pembalap memakai gir yang sama untuk memudahkan pergantian ban antara satu dan yang lain,” jelas Geoff Brown, mekanik tim itu.
Bagi tim yang memakai grupset Campagnolo, seperti Lotto-Fix All (Lotto-Soudal) pilihan di belakangnya antara 11-29 atau 11-32. Depannya juga antara 36 atau 34.
Time Trial: Jangan Kaget Pakai Chainring 56
Etape 16 Giro d’Italia Selasa, 22 Mei, benar-benar jadi ajang unjuk kekuatan. Tak heran, urutan tiga besarnya pun direbut tiga pembalap dengan power time trial paling tangguh saat ini. Yaitu Rohan Dennis (BMC), Tony Martin (Katusha-Alpecin), dan sang juara dunia TT Tom Dumoulin (Team Sunweb).
Di etape TT sejauh 34,2 km itu, semua tentu memakai sepeda TT masing-masing, dengan roda disc di bagian belakang. Memaksimalkan kecepatan, memudahkan upaya menahan kecepatan di jalanan lurus yang panjang.
Tentu saja, setelan girnya beda ekstrem dengan naik ke Zoncolan. Di bagian belakang hampir semua memakai 11-28. Di bagian depan, mereka memaksimalkan ukuran. Baik Dennis maupun Dumoulin memakai chainring Shimano Dura-Ace 9100 dengan ukuran 56-44!
BMC Timemachine01 milik Rohan Dennis (BMC Racing) ini menggunakan chainring Shimano Dura Ace 9100 ukuran 56-44 dikombinasi sproket ukuran 11-28.
Dengan ring sebesar itu, mereka bisa konstan melaju di atas 55 km/jam. Tak heran Dennis meraih kemenangan dengan kecepatan rata-rata 51,3 km/jam!
Setelan gir ini tentu membuat cyclist kebanyakan geleng-geleng kepala. Kita saja memakai depan 53 belum tentu bisa konstan memakai 11 di belakang! Kalau kita disuruh pakai ring 56, jangan-jangan kaki tidak kuat berputar!
Dan ring 56 itu sebenarnya bukan yang paling ekstrem. Tony Martin dalam sejarahnya sering memakai ring 58… Gileee… (mainsepeda)
Canyon Speedmax CF milik Tony Martin (Katusha-Alpecin).