Selamat Idulfitri 1442 H. Mohon maaf lahir batin. Mohon maaf apabila ada salah kata, tulisan, dan kelakuan selama setahun ini. Balik kosong-kosong (0-0) ya.
Bagi yang menjalankan ibadah puasa pasti tidak sabar untuk bisa gowes lagi di pagi hari. Selama menjalani ibadah puasa, apakah ada yang sempat gowes mempertahankan performanya? Rasanya ada yang bisa, tapi banyak juga yang nggak. Alasannya tentu puasa. Nah, setelah lebaran ini tidak ada alasan lagi loh.
By the way, beberapa hari lalu saya bersama beberapa teman bersepeda ke jalur favorit lagi: jalur Surya (Hotel Surya, Tretes). Dari Surabaya jaraknya sekitar 50 km. Rute datar 30 km. Lalu menanjak sopan ke Pandaan dengan elevasi 200 meter di atas permukaan laut. Dan, diteruskan ke Hotel Surya. Segment ini panjangnya 9 km. Rata-rata gradien enam persen. Total elevasinya 560 meter.
Sebenarnya ini bukan rute yang unik atau epik. Ini rute klasik yang sangat sering dibahas. Tapi kali ini ceritanya lain lagi. Ceritanya bersama beberapa teman saya menanjak dengan niat tidak terlalu mengejar waktu. Pikir kami, toh suasana liburan sudah kental. Jadi, kami dengan pace masing-masing menanjak tanpa memaksa diri. Tentu saja kecuali saya yang mau nggak mau kurang akur dengan tanjakan.
Segmen ke Hotel Surya ini berat di 3 km terakhirnya. Sebab tanjakannya berkisar 15 persen gradien maksimumnya. Walau hanya sepanjang 900 meter, rasanya cukup menyiksa.
Setelah selesai kami sempat melakukan foto bersama, lalu turun. Salah satu yang ikut rombongan kami adalah teman saya, dr Theri Effendi. Ia biasanya ikut dan turun bersama saya.
Setelah turun sampai di daerah Pandaan, kami regroup. Hal itu kami lakukan karena waktu turunan kami tak selalu turun bersama. Lalu lintas dan handling masing-masing pesepeda yang berbeda membuat kami tidak bersama-sama. Ada yang berani, ada yang kurang berani.
Nah, ketika itu kami sempat menunggu Pak Dokter. Ia tak kunjung tampak. Saya sempat khawatir ia ada masalah. Misal bannya gembos. Akhirnya saya menelepon Pak Dokter. Dan betapa terkejutnya saya, ternyata yang mengangkat suara ibu-ibu. Suaranya putus-putus. Kepala saya langsung sakit. Sebab, saya ingat betul ia pegang handphone. Tapi, kok yang angkat suara ibu-ibu.
Lantaran sambungan telepon putus-putus, saya coba telepon lagi. Dan diangkat ibu-ibu lagi. Suaranya masih tidak jelas. Saya dan teman-teman pun makin panik. Kami khawatir ada sesuatu yang tak diinginkan bersama.
Belum juga suara ibu-ibu terdengar jelas. Akhirnya saya coba telepon panggilan langsung, bukan panggilan WhatsApp. Dan tetap yang mengangkat telepon itu suara ibu-ibu. Kali ini suaranya lantang: "Hapenya ketinggalan di warung!"
Fiuhhhhh...rasanya lega. Meskipun sempat jengkel karena suara si ibu tadi yang melengking. Memekakkan telinga. Kami pun langsung berpikiran bahwa Pak Dokter lama karena ia balik lagi ke atas. Ke arah Hotel Surya untuk mengambil ponselnya. Dan ternyata benar.
Saya pun membayangkan betapa berat siksaan Pak Dokter pagi itu. Sebab, terakhir kali saya melihatnya di turunan adalah 4 km dari puncak (Hotel Surya). Dan ternyata benar, Pak Dokter harus naik lagi melewati tanjakan dengan gradien 15 persen itu lagi. Saya dalam hati kasihan tapi juga tertawa. Tak kuat menahan ketawa ketika melihatnya naik lagi di tanjakan itu, sedangkan kami asyik menikmati jalan turun untuk mengarah pulang.
Sesampai di rumah saya telepon Pak Dokter lagi. Ingin memastikan ia benar-benar aman. Di balik telepon itu ia bilang ingin nangis, sekaligus tertawa dengan nasib sial yang dialaminya tadi.
Mumpung tulisan ini dibuat di hari yang fitri, saya ingin meminta maaf ke Pak Dokter. Sebab saya sempat tak kuasa menahan tawa di atas deritanya. Balik kosong-kosong yang Pak Dokter. (johnny ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 42
Audionya bisa didengarkan di sini