Salah saya sendiri. Seratus persen. Tidak berhasil menuntaskan Unbound Gravel (Dirty Kanza) 2021, ajang gravel grinder terbesar dan terberat di dunia. Di kelas 200 mil, dari total jarak resmi 206 mil (331 km), saya hanya mampu bertahan sampai mil 126 alias km 202. Hanya sekitar dua pertiganya.

Salah saya sendiri. Seratus persen.

Walau merasa sudah melakukan persiapan cukup, saya membuat serangkaian keputusan salah saat lomba yang berlangsung di Emporia, Kansas, 5 Juni itu. Keputusan-keputusan yang masuk kategori meremehkan, bahkan terlalu percaya diri.

Menjelang lomba ini, saya bersama John Boemihardjo dan Johnny Raya rasanya sudah membuat keputusan tepat dalam hal equipment. Kami cenderung konservatif, mengingat kami minim pengalaman balapan gravel.

Pilihan frame titanium (Wdsndy Journey Ti), walau ada opsi Journey karbon, tetap oke demi meminimalisasi potensi problem kalau terjadi insiden. Saya kira, sekitar separo dari 1.067 peserta tidak memakai karbon. Ada begitu banyak titanium, steel, bahkan aluminium di Emporia hari itu.

Yuri Hauswald, juara Dirty Kanza 2015 yang sempat kami jumpai saat ride pemanasan, bahkan bilang "Titanium is my favorite bike material."

Pilihan wheelset kami aman. John dan saya pakai Enve G23, Ray pakai Campagnolo Shamal karbon (karena hanya ini yang sekarang bisa untuk groupset Ekar).

Soal setelan groupset, kami banyak belajar di Unbound. John memakai Shimano GRX 1x, saya memakai GRX 2x. Sama-sama tidak masalah untuk kami berdua. Hanya kami sama-sama berpikir mungkin pilihan giginya yang next time harus dipertimbangkan ulang. Tidak perlu ganti banyak. Sedikit saja.

Soal kokpit, itu selera masing-masing. Saya tanpa "tanduk" TT, John pakai. Kami berdua sama-sama tidak pusing. Bahkan para profesional juara di depan pun macam-macam. Juara pria tidak pakai, juara perempuan pakai (tapi runner-up-nya tidak pakai).

Yang paling utama, dan yang paling kami takutkan, adalah pilihan ban. Karena tidak ada medan setara di Indonesia (kami sulit menjelaskan, tapi percayalah, tidak ada medan setara!), kami setengah yakin saat memilih Maxxis Rambler 40 mm. Apalagi kami memilih clincher, dengan pelindung tambahan di dalam.

                                                John Boemihardjo, Azrul Ananda, dan Bryce Gordon

Sebelum lomba, Bryce Gordon, support crew dan mekanik kami di Kansas, menyebut ini pilihan aman. Sesuai dengan tema kami sejak awal, konservatif dan aman. Saat kami pakai latihan gravel di Bentonville, Arkansas, kombinasi ini aman.  Dan saat dua hari shakedown ride di Emporia, kami merasa makin aman.

Syukur Alhamdulillah, John Boemihardjo finis 200 mil tanpa masalah ban. Johnny Ray finis 100 mil tanpa masalah ban. Saya pun sama sekali tidak mengalami masalah ban. Padahal, sejak jam pertama lomba, begitu banyak peserta sudah minggir di kanan dan di kiri menambal (tire plug tubeless) atau mengganti ban dalam!

Plus, Lauren De Creszenzo, juara perempuan 200 mil, ternyata juga pakai ban yang sama!

Kalau pun ada perubahan andai kelak ikut lagi, ada saran baik dari Bryce, yang mantan pembalap MTB profesional (pernah timnas junior Amerika). "Gunakan ban sedikit lebih lebar lagi. Mungkin 42 atau 43 mm. Supaya tekanan ban bisa lebih rendah lagi, lebih nyaman," ujarnya.

Pembandingnya adalah juara 1-2 kategori putra, yang sama-sama pakai ban 42 mm.

Medan di kawasan Flint Hills di sekitar Emporia memang menuntut semuanya serba tangguh. Dua shakedown ride yang kami lakukan sebelum lomba hanya melewati bagian yang "mulus" dan jinak. Sempat mengecoh kami, khususnya saya.

Sangat sulit bagi kami untuk menjelaskan seperti apa medannya. Netizen dengan mudah bisa bilang, kan bisa latihan jalan kampung atau jalan rusak di Indonesia, tapi sama sekali tidak seperti itu. Di mana bisa menemukan jalan berkerikil atau berbatu sepanjang ratusan kilometer tanpa putus? Lalu konstan naik turun hampir 95 persennya. Setelah keluar dari Emporia, praktis tidak ada jalan datar untuk mengatur irama.

Power, power, dan power. Terus menerus interval naik dan turun. Dan mata harus selalu melek, full konsentrasi, karena jalan yang berbatu besar-besar. Nanjak 6-12 persen (ada yang 16 persen). Turunan curam dengan banyak jebakan lubang atau batu besar.

Silakan google "Flint Hills," lumayan bisa belajar dua ilmu sekaligus: Geografi dan geologi. Kami sudah mempelajarinya sebelum berangkat. Tapi membaca dan gowes melewatinya tentu beda...

Kesalahan keputusan sudah saya buat sejak sepertiga awal lomba.

Unbound Gravel sudah menegaskan dari awal, di nomor pertama buku aturan: You are responsible for you. Tidak ada bantuan, harus urus diri sendiri. Dari total 331 km itu, hanya ada dua zona pit stop di mana kita bisa mendapat bantuan kru dan mengisi suplai makanan. Yaitu di Kota Alma, km 111. Lalu di Council Grove, km 256. Di tengah secara resmi hanya ada water stop di Alta Vista, km 202 (tempat saya akhirnya KO).

Di awal lomba, badan tentu masih fresh. Saya tidak banyak mengantongi makanan. Yang penting tas Camelbak saya penuh air 1,5 liter. Bidon besar depan isi minuman karbo, dan bidon kecil belakang minuman elektrolit.

Setelah lagu kebangsaan Amerika, start pas pukul 06.00 pagi. Total 1.100 peserta itu membagi diri secara mandiri. Ada kelompok 10 jam (para profesional), 12 jam (John Boemihardjo start di sini), lalu 14 jam (kelompok saya), dan 16 jam. Peserta rata-rata tahu diri harus di mana, tidak sok memaksa dan membahayakan yang lain.

Karena masih berpeloton, awal lomba terasa cepat. Rapi dua-dua-nya setengah terpaksa, karena peserta memilih jalur gravel yang mulus. Yaitu jalur yang "diinjak" ban mobil, dan itu hanya ada dua.

Saya merasa nyaman. Kereta saya di sebelah kiri begitu cepat. Melaju 30-35 km/jam terasa mudah. Kalau melihat data watt yang saya hasilkan di layar, itu sebanding 40-45 kalau di aspal. Saya tinggal "lane hopping," pindah jalur kiri atau kanan sesuai kecepatan. Semua peserta sopan, akan ngasih kode atau ngomong kalau akan pindah "kereta" di kanan atau di kiri.

Tidak terasa, sebelum km 15, saya "menangkap" kelompok John Boemihardjo. Kami berdua pun lane hopping pelan-pelan ke depan. Tapi, John sempat memberi warning. Dia berteriak kalau yang kami lakukan ini terlalu cepat. Dia tahu FTP saya berapa, dan dia mengingatkan kalau saya terlalu cepat.

Seharusnya saya disiplin di 180-220 watt. Tapi waktu itu kami konstan di atas 250 watt. Efeknya saya bayar seratus km kemudian...

Sekitar km 40, bagian paling seram pertama kami lewati. Naik turun curam. Dengan jalan yang makin menyempit mendekati rute singletrack MTB. Makin banyak peserta minggir ke kanan dan ke kiri, masalah mekanikal, ban, atau habis terjatuh.

Saya lihat ada pembalap Trek-Segafredo, Kiel Reijnen, di kiri mencoba membenarkan ban. Setelah lomba, baru saya baca kalau peleknya patah. Dia berlari belasan mil, menuju Alma, tapi akhirnya DNF dan tidak finis. Rekan setimnya, Quinn Simmons, lebih kasihan lagi. Kecelakaan parah tidak jauh dari situ dan harus dibawa ke RS untuk merawat luka-luka.

Masalahnya bukan sekadar jalanan yang kasar naik turun. Masalahnya adalah seringkali kita tidak bisa memilih lajur. Karena relatif masih berpeloton walau sudah berantakan. Kalau depan kita celaka, kita pun pasti celaka. Saya sempat menghantam batu besar, dan sempat takut ada masalah ban atau pelek. Syukur, hanya handlebar turun sedikit. Walau kemudian rem depan terus bunyi "ngik-ngik-ngik" (dasar disc brake!).

Tidak apa-apa, yang penting sampai ke Alma dulu. Nanti bisa dibetulin oleh Bryce Gordon di sana.

Saya masuk ke Alma dalam waktu 4 jam dan 32 menit. Seru sekali masuk kota kecil itu. Sepanjang jalan sudah terbagi tenda-tenda support peserta. Bryce menunggu di sebelah kiri di jalur utama, di tempat yang sudah kami sepakati sebelumnya.

Saya langsung tanya, John seberapa jauh di depan. "Kamu lebih cepat dari yang saya bayangkan. John hanya 15-20 menit di depan," jawab Bryce. Data resmi kemudian menunjukkan John sebenarnya sampai 22 menit lebih dulu. John tidak lama barusan jalan saat saya sampai.

Peringkat saya waktu itu: 637. Kelompok tengah.

Kata Bryce, John dan saya on pace untuk finis sesuai target. John bisa 12-13 jam. Saya bisa 14-15 jam.

Saya merasa percaya diri. Hanya minum setengah botol Coca-cola. Makan satu pisang dan setengah crispy rice cake. Tas saya diisi air penuh. Botol diisi penuh juga. Depan masih campur karbohidrat, belakang hanya ditambah air.

Bryce bilang dia lega John dan saya tidak terjatuh. Dia mengikuti update lomba bersama support crew lain, dan bilang kalau ada begitu banyak kecelakaan di bagian awal tersebut. Usut punya usut, lebih dari 200 orang sudah DNF sebelum mencapai Alma. Peserta tinggal 900-an.

Saat Bryce membetulkan rem depan, saya mengisi kantong dengan makanan. Tapi tidak terlalu banyak. Badan saya masih terasa enak. Rasanya aman bisa sampai Council Grove. Toh ada water station di tengahnya.

Hanya sekitar 10 menit saya di Alma. Lalu lanjut lagi

Ini kesalahan terbesar saya.

Saya membakar terlalu banyak energi di awal. Lalu tidak membawa cukup suplai untuk bagian tengah lomba.

Mulai tengah hari. Matahari makin terik. Panasnya makin terasa. Suhu resmi siang itu: 32-37 derajat Celcius. Panas bukan musuh utama kami dari Indonesia. Musuh utama yang paling saya rasakan: Angin!

Nyaris tidak ada pohon di Flint Hills. Angin menghantam dari samping dan depan. Apalagi peserta mulai berceceran. Sendiri-sendiri atau maksimal 2-5 orang. Saat datar, speed sulit bisa tinggi. Saat turunan pun tidak bisa tinggi.

Kami "direm" oleh dua elemen. Bebatuan dan angin.

Hanya sekitar 40 km dari Alma, tidak terasa air saya mulai habis. Cilaka, dalam hati saya. Jalanan terus naik turun curam. Banyak peserta berhenti di pinggir jalan.

Lalu saya mencapai mil 97, atau mendekati tengah lomba. Ada penanda besar bertuliskan "Little Egypt." Mati aku. Ini salah satu bagian paling berat. sejauh sekitar 5 km, bagian ini berisikan turunan dan tanjakan curam dengan bebatuan paling besar dan kasar. Jujur, menurut saya ini lebih mirip rute MTB.

Air saya habis di situ. Panas sekali. Di salah satu tanjakan curamnya, saya melihat ada satu pohon di sebelah kiri. Saya berhenti. Berbaring sejenak di bawah pohon kecil itu. Peserta lain yang menuntun lewat selalu menyapa. "Are you okay?"

Ada satu peserta yang tahu situasi saya. Lalu bilang, "Sekitar 7 mil ke depan ada tempat mengisi air." Tujuh mil itu masih lebih dari 10 km...

Setelah Little Egypt, ada timing check point. Peringkat saya masih 731 di situ. Masih ada ratusan di belakang saya.

Saya pun berlanjut pelan-pelan. Pada mil 103, km 160-an, pas titik tengah jarak lomba, ada "ghost town" (kota mati) bernama Volland. Di situ panitia menambah stasiun air ekstra. Juga handuk dingin. Ada juga Coca-cola. Tapi setiap peserta hanya dijatah setengah kaleng (serius!). Supaya semua bisa dapat katanya.

Alhamdulillah. Saya melihat banyak peserta berbaring di rerumputan. Ada peserta dari Houston. Kami ngobrol, kami sama-sama bercanda, kayaknya kami berdua baru akan finis menjelang tengah malam. Ada juga peserta dari Jepang. Kayaknya seperti atlet. Saya tanya kenapa. Dia bilang bannya bocor tiga kali.

Tidak ada sinyal hape di situ. Tetap saja saya mengetik pesan untuk Bryce dan grup kami di Kansas. Bahwa saya akan hancur lebur lebih lambat dari target. Namun saya akan terus lanjut. Nanti kalau menangkap sinyal pesan itu akan sampai. Toh nanti mil 126 alias km 202 ada water station lagi.

Saya merogoh kantong untuk makan. Ya ampun. Hanya sisa gel blocks (gummy energy). Strive bar sudah habis. Makanan lain habis. Makanan banyak lain tidak saya bawa dari Alma. Gel juga sisa satu.

Padahal itu masih panas-panasnya.

Jalan masih terus naik turun.

Baru 20 km dari Volland, makanan saya sudah habis. Hanya ada air. Bidon pun hanya isi air. Ada lagi pohon di kanan. Saya berhenti lagi. Ada peserta lain dari Virginia di situ. Sama-sama kehabisan. Dia jalan duluan, sambil ngomong: "See you at the end."

Saya jalan lagi. Sudah sangat lemas. Kaki sudah sulit memutar. Lalu ada beberapa sungai kecil yang harus kami lewati. Salah satunya setelah turunan pendek tapi curam dan berbatu. Beberapa di depan saya mengerem mendadak sebelum menyentuh air. Saya menghindar ke kiri dan mengerem. 

Ternyata ada peserta yang duduk di tengah sungai kecil itu.

Kami bertanya: "Are you okay?"

Dia menjawab: "Sorry, saya hanya ingin mendinginkan pantat saya."

Mohon maaf, kami sudah tidak bisa lagi tertawa...

Ada lagi sungai kecil disusul jalan tanah berlumpur. Sepeda sulit lewat. Jalur tengahnya makin dalam mungkin karena dilewati ratusan sepeda di depan. Kelompok kecil saya semua mengangkat sepeda dan menuntun lewat "dinding" kubangan lumpur itu.

Tidak lama kemudian, saya benar-benar kehabisan. Bonking total. 

Saya lihat Garmin, total menanjak saya sudah hampir 2.500 meter. Itu sudah lebih tinggi dari menanjak Wonokitri Bromo.

Harus saya tegaskan, di sepanjang rute itu tidak ada warung, apalagi minimarket. Pilihan saya hanyalah makan rumput seperti sapi-sapi yang saya lewati di sepanjang jalan. Kalau begini memang enak sapi. Tidak butuh warung.

Angin tetap kencang, menuntut tenaga kayuh. Jalan terus naik turun. Sambil terus konsentrasi memilih jalur jalan yang paling aman.

Saya melihat beberapa peserta berhenti tak sanggup lagi. Saya juga melihat peserta terjatuh di tikungan tajam setelah turunan, dan harus mendapatkan bantuan ambulans. Om Johnny Ray katanya melihat peserta sampai berdarah-darah di wajah.

Mobil panitia memang tampak seliweran mengecek peserta. Tidak boleh membantu, tentunya. Kecuali mengevakuasi yang menyerah. Rata-rata pakai mobil Jeep atau pickup truck, karena mobil normal tak mungkin bisa lewat!

Saya melihat Garmin saya. Total elevation gain-nya gila. Pada 100 mil pertama alias separo lomba (160 km), saya sudah menanjak lebih dari 2.000 meter. Itu sudah lebih banyak dari Wonokitri, Bromo.

Water station di Alta Vista

Akhirnya, saya sampai di checkpoint Alta Vista. Km 202. Saya benar-benar kelaparan. Saya tanya ke panitia di sana. Apakah ada lagi Coca-cola atau minuman lain. Jawabannya: "I am sorry. This is a water stop. Only water."

Saya pun mengirim pesan ke Bryce. Bilang saya baru sampai Alta Vista. Sulit dipercaya, peringkat saya membaik sedikit, jadi 713. Tapi saya sudah kehabisan makanan.

Saya menelepon dia, apakah John Boemihardjo sudah sampai di Council Grove. Ternyata belum. Saya bilang, kalau John sudah sampai dan sudah selesai di-support, tolong kontak saya.

Banyak peserta memilih berhenti di Alta Vista. Sudah pukul 17.30-an. Sulit dipercaya, 111 km pertama begitu cepat, lalu 100 selanjutnya begitu berat. Dan masih ada lebih dari 100 lagi menuju finish.

Seorang panitia memberi tahu kalau ada toko kelontong beberapa blok dari checkpoint itu. Saya pun ke sana. Ternyata ada beberapa peserta juga di sana. Beli makanan dan berbagai minuman.

Membeli suplai di toko kelontong di Alta Vista

Saya ingin asin-asin. Mulut saya sudah capek kena manis-manis. Perut saya sudah tidak karuan. Jadi saya beli chicken nugget, sebotol green tea manis, orange juice, dan minuman air kelapa.

Saya duduk dengan peserta asal Austin, Texas. Dia bilang, dua tahun lalu dia finis. Tapi tahun ini dia akan berhenti di Alta Vista. Dua tahun lalu lebih panas, katanya. Tapi tahun ini anginnya jauh lebih kencang.

Yap, anginnya memang edan. Berita resmi setelah lomba, angin hari itu 20 hingga 30 mil per jam. Alias sekitar 30-50 km/jam. Bahkan para pembalap profesional pun menyebut kondisi tahun ini sangat berat, sehingga waktu pemenang tidak bisa secepat 2019 lalu (2020 tidak ada lomba).

Bryce mengabari, John sudah sampai dan lewat. Saya menghitung, John akan sulit mengalahkan matahari. Tapi saya yakin dia akan fight terus sampai finis. Saya baca di grup WA, John ternyata juga sempat kehabisan air di tengah, sehingga sempat pelan-pelan untuk menghemat energi.

Saya sudah sangat lemas. Makanan itu seperti tidak bisa lagi saya cerna. Tak lama, datang "teman" berhenti saya yang dari Virginia itu. Lho, kok baru sampai? Tanya saya. Jawabannya seharusnya bisa membuat saya tertawa.

"Saya sempat tersasar," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.

Ya, di Unbound, nyaris tidak ada penanda arah di jalan. Kami men-download peta di Garmin (sponsor utama lomba), lalu mengikuti petunjuknya. Saya bisa membayangkan, kita bisa dengan mudah hilang konsentrasi dan tidak memperhatikan panduan belokan. Apalagi ada banyak tikungan aneh, mengingat ini rutenya bukan jalan normal.

Kemudian, Bryce mengabari. John sudah sampai. Sudah melanjutkan perjalanan. Dia bertanya, saya bagaimana.

Teman-teman semua. Saya pun membuat keputusan berat itu. Dan saya siap salah, siap malu, dengan keputusan itu. Saya memutuskan berhenti di Alta Vista. Pit stop resmi Council Grove masih hampir 50 km dari Alta Vista. Saya bilang ke Bryce, tolong jemput saya di Alta Vista. Lalu kita sama-sama menunggu John di finis. Juga menemui Johnny Ray, yang baru saja finis rute 100 mil di Emporia.

Saya benar-benar sudah tidak sanggup lagi. Badan saya yang penuh debu ini sudah tidak sanggup lagi. Saya tahu limit saya sendiri.

Saya lihat google map. Hanya 15 menitan naik mobil dari Council Grove ke Alta Vista kalau lewat jalan aspal normal. Tapi kemudian 45 menit naik mobil dari Alta Vista kembali ke Emporia lewat jalan normal. 

Tentu saya tidak bisa bercerita seperti apa sisa rute Unbound. John yang akan menyampaikannya. Saya hanya sampai km 202 dengan menanjak hampir 2.500 meter. John yang menuntaskan 331 km dan menanjak 3.600 meter.

Azrul Ananda menyambut John Boemihardjo di garis finis

Dia luar biasa. Walau akhirnya gagal mengalahkan matahari, baru finis pukul 22.14 malam, dia telah menjadi orang Indonesia pertama yang menaklukkan "Paris-Dakkar"-nya sepeda ini. Dia finis 16 jam 13 menit dan 12 detik. John finis peringkat 299 dari 616 yang finis. Yap, dari 1.067 yang ikut start, hanya 616 yang diklasifikasikan finis.

Percayalah, saya sangat kecewa dengan diri saya sendiri. Saya bertekad akan balas dendam tahun depan. Saya tahu harus menyiapkan apa. Bukan hanya sepeda dan jam terbang. Tapi juga tidak meremehkan masalah asupan. John dan saya sepakat, kami terlalu manja di Indonesia. Saat latihan 300 km-an, tetap ada motor mengawal mengisikan botol. Juga terlalu banyak warung dan minimarket. Latihannya harus beda.

Latihannya juga bukan gowesnya. Unbound ini juga lomba makan. Harus melatih perut kita untuk asupan-asupan tidak normal. "Para pembalap pro di depan terus menerus makan. Mereka memenuhi semua kantong dengan makanan," tutur Bryce Gordon. 

Pria asal Aspen, Colorado, itu menambahkan, beberapa temannya mengalami masalah serupa di lomba tahun ini. "Ada yang kehabisan makanan satu jam sebelum Council Grove. Ketika sudah sampai, walau sudah ada makanan, dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan. Dia seperti kamu, asupannya sudah terlambat," ceritanya.

Keesokan harinya, kami bertemu dengan beberapa peserta lain di hotel. Ada pria asal Seattle yang punya cerita lucu. Ada temannya juga kehabisan makanan. Tahu apa yang dia lakukan? "Dia mengambili makanan peserta lain yang jatuh di sepanjang rute. Termasuk yang sisa-sisa. Kalau bisa dimakan, itu yang dia makan," ungkapnya lantas tertawa.

Ya Tuhan, ini benar-benar event luar biasa. Segala perencanaan dan strategi tidak cukup. Harus punya insting survival juga. Selama ini saya tidak merasa manja di jalan. Tapi ternyata masih terlalu manja!

Kepada teman-teman semua di Indonesia, sekali lagi saya mohon maaf. Saya tidak berhasil finis di Unbound Gravel 2021. Yang kenal baik dengan saya pasti tahu, kalau saya mau sesuatu, akan saya kejar sampai dapat. Saya masih punya hutang di Emporia, Kansas. Akan saya tuntaskan... 

Toh saya juga suka ke Kansas. Saya dulu SMA di negara bagian ini, waktu dapat beasiswa pertukaran pelajar. Ayah dan ibu angkat saya, John dan Chris Mohn, ikut datang di Emporia melihat suasana lomba. Dan mereka tahu saya akan kembali lagi!

John Boemihardjo sendiri rasanya juga penasaran, ingin finis sebelum matahari terbenam. Lalu Johnny Ray sudah finis 100 mil, sekarang mau tak mau harus ikut yang 200 mil. Dan kalau ikut lagi, kami sudah tahu harus bersiap seperti apa.

Mohon maaf lagi saya baru menulis ini beberapa hari setelah event. Setelah badan recovery, setelah pikiran kembali lebih tenang mencerna segala hal yang sudah terjadi... (azrul ananda)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 45

Audionya bisa didengarkan di sini

 

Populer

Pendaftaran Mulai Besok, EJJ 2025 Menawarkan Spot Baru 
Kolom Sehat: Anti Social-Social Ride
Inilah Rute Journey To TGX 2024, Jarak Sama COT Bertambah
Cervelo P5x Lamborghini, Hanya Ada 25 Biji
Tips Merakit Gravel Bike dengan Harga Terjangkau
1500 EJJ 2024 Update – Hour 31: Semua Peserta Tersisa Diprediksi Capai CP 1 Under COT
Sepeda Aero Merek Java Ini Bisa Dilipat
SRAM Force eTap AXS: Sedikit Lebih Berat, Jauh Lebih Murah
Shimano GRX, Grupset Khusus untuk Gravel Bike
Kapolri Berharap Ayu Meraih Prestasi Lebih Tinggi