Pada Juli 2017, kami baru saja menuntaskan Maratona dles Dolomites, salah satu event climbing terbesar di dunia. Tidak lama kemudian, Om Azrul Ananda langsung bilang: "Maratona checked, Dirty Kanza next."
Dirty Kanza, di Kansas, Amerika, adalah event sepeda gravel terbesar di dunia. Untuk mendaftar saja tidak mudah, harus mengikuti sistem lotere. Bisa dapat, bisa tidak. Pada 2018, kami mendaftar untuk 2019, tapi tidak diterima. Pantang menyerah, kami mendaftar lagi pada 2019 untuk 2020. Kali ini dapat!
Walau sudah aman terdaftar, nasib masih memaksa kami untuk menunggu. Pandemi membatalkan event 2020. Kemudian, satu per satu kabar muncul. Nama event berubah jadi Unbound Gravel. Jadwal baru sempat geser ke September 2020, kemudian mundur ke 5 Juni 2021. Semua yang sudah terdaftar boleh membatalkan dan dapat full refund, atau ikut pada jadwal baru tanpa tambahan biaya.
Kami sudah bertekad untuk join. Saya dan Om Azrul ikut rute 200 mil, Om Johnny Ray 100 mil (dia kami rayu untuk ikut 200 juga, tapi dia bersikukuh di 100 mil).
Bulan Maret 2021 lalu, kepastian event akan berlangsung muncul. Senjata andalan dan program latihan dipersiapkan sesuai dengan keyakinan masing-masing, dan waktu perang pun tiba.
Sabtu pagi itu, 5 Juni, saya bangun pukul 3:50 dini hari. Cukup waktu untuk sarapan, "setor" ke belakang untuk mengurangi berat yang tidak diinginkan, dan membawa semua barang bawaan di list ke mobil untuk berangkat ke tempat start.
Walau secara mental saya siap, tapi dalam hati kecil saya ada sedikit keraguan apakah hari itu saya mampu finish. Bagaimana tidak? Ini event pertama saya yang dalam dua minggu terakhir sebelum acara, semua training plan dan pola makan kacau. Saya pergi bersama dua teman tukang gelonggong.
Yang satu tukang gelonggong schedule, tiap hari acara dari pagi sampai malam, sehingga waktu istirahat berasa kurang. Sementara yang satu lagi tukang gelonggong makan, tiap tiga jam perutnya selalu berteriak dan protes bila tidak dikasi asupan. IHOP, Panda Express, Taco, Pho, Texas BBQ, Burger, Repeat. Mengingat waktu dan kesempatan yang langka untuk bisa di USA diwaktu seperti ini, saya ikutan saja hajar terus pantang mundur.
Dan itu menyenangkan. We had fun. Berat badan rasanya bertambah banyak. Saya tidak berani timbang badan.
Untuk team support, mekanik, dan semua barang bawaan kita hanya bisa diakses di pit stop 1 dan 2. Seperti layaknya bermain Final Fantasy yang ada checkpoint-checkpoint-nya, target saya adalah bagaimana mencapai titik-titik itu seefisien mungkin.
Dari titik start ke checkpoint 1 terasa cukup mudah. Badan masih fresh, peloton masih berupa grup-grup kecil yang bisa "digandoli" sehingga bisa lebih hemat energi. Matahari masih belum terik, angin masi belum terlalu kencang. Pada 25 mil pertama tanjakan rolling-nya masih bersahabat, batu-batu gravelnya juga masih kecil dan banyak jalan yang terbuat dari tanah. Cocok buat pemanasan walau sudah ada banyak peserta yang bocor bannya.
Dari mil 25 ke 69, kami mulai disuguhi dengan tanjakan-tanjakan yang lebih technical, selain derajat yang lebih curam, batu gravelnya besar-besar, turunan-turunan yang cukup curam dan banyak lubang, jalanan banyak menyempit. Saya lupa pastinya di mil berapa, tapi ada peserta terjatuh di depan dan saya terpaksa berhenti sebentar.
Makin lama, makin banyak peserta mengalami trouble sepeda atau ban bocor.
Lalu ada dua lajur terbentuk di tengah jalan. Yaitu jalur yang terbentuk setelah dilewati mobil (bila tidak acara) atau dilewati peloton sepeda. Batu gravelnya lebih tertata dan terbentuk. Ini bagian yang kita incar, bagian paling aman.
Bagian tengah jalan seperti iseng berhadiah. Kadang bisa dilewati kadang tidak. Karena berbeda-beda terus. Kadang rumput, kadang tanah, kadang batu gravel besar tidak beraturan, kadang gundukan, kadang juga lubang besar. Tidak semudah itu untuk pindah lajur. Pilihan jalan dan kemampuan handling adalah salah satu kunci keberhasilan (dan keselamatan) di event ini.
Menuju pit stop 1 ini, disiplin makan satu baru setiap jam berhasil saya lakukan. Jumlah minum juga aman (dua bidon besar dan satu Camelbak 1,5 liter). Dengan total waktu 4 jam dan 10 menit, saya sempat berhitung soal target waktu. Bakal menantang.
Kenapa? Karena di tempat-tempat technical, untuk bisa speed 15 mil/jam (24 km/jam) tidaklah mudah. Apalagi waktu turunan tidak semua bisa dimaksimalkan untuk full speed. Saat itu, saya sudah sadar kalau Om Johnny Ray bakal screwed. Om Azrul belum sampai di Alma dan saya tidak tahu berapa jauh selisih waktu kami. Bryce Gordon, support crew kami, harus melayani Azrul dulu sebelum berlanjut ke arah Council Grove dan melayani Ray yang ikut rute dan jadwal stop berbeda.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati untuk Om Ray. Semoga ditabahkan hatinya...
Mil 69 menuju mil 156 memang jauh berbeda.
Matahari mulai terik. Angin mulai berdansa. Kalau di Indonesia, angin biasanya hanya satu arah. Di Kansas ini, di kawasan Flint Hills, anginnya bisa dari berbagai arah. "Nggandol" orang depan pun masih berasa anginnya.
Rutenya semakin banyak tanjakan technical-nya. Kemiringan 6 sampai 16 persen di-combo dengan batu gravel besar-besar. Jalan tidak rata sangat menguras energi. Peserta mulai banyak yang mendorong di tanjakan, menambah halangan saat menanjak. Power dan handling sangat diperlukan.
Di tengah rute yang semakin berat ini, saya baru sadar di mil 90 (km144) kalau Camelbak saya bocor. Saya mencoba menghisap air tapi tidak ada yang keluar. Saya berhenti sebentar, ternyata kosong!
Sebelumnya, saya memang berasa ada air membasahi jersey saya. Saya pikir itu karena Bryce menumpahkan sedikit air saat mengisinya.
Jadi, sejak itu, saya haya punya 1,5 bidon air yang isinya elektrolit. Suhu mencapai 37 derajat Celcius, dan badan saya benar-benar meminta air putih biasa. Minum elektrolit malah membuat semakin haus dan bibir kering. Makan bar pun saya jadi tidak berani.
Dengan menghitung jarak sisa 36 mil (58 km) menuju water station, saya ganti strategi ke defensive mode. Benar-benar menghemat energi. Tidak push sambil berharap bisa melewati rumah tinggal yang bisa dipinjam selang tamannya untuk mengisi air (di Amerika kita bisa minum air kran).
Tetapi, sampai mil 100, tidak ada rumah tinggal yang dilewati sama sekali. Yang ada hanyalah perbukitan dengan rumput hijau dan sapi-sapi hitam.
Kemudian saya beruntung. Dari jauh, saya lihat ada kerumunan peserta berhenti. Ternyata ada kereta api lewat. Dan di sisi seberang rel, saya melihat ada satu rumah. Harapan saya timbul, semoga ada kran air.
Setelah kereta lewat dan menyeberang rel, ternyata di parkiran rumah itu panitia menyediakan water station "kejutan" alias tambahan. Saat itu sekitar mil 106, dan saya minum air dua bidon sambil tiduran sejenak dan makan bar sebisa mungkin.
Saya buang isi elektrolit pada salah satu bidon saya, dan saya penuhi dengan air. Camelbak pun saya penuhi lagi dengan air. Walau masih bocor sedikit.
Jarak water station berikutnya, yang resmi, adalah 20 mil atau 32 km. Saya yakin bisa dicapai dengan dua bidon saja. Apalagi saya barusan istirahat dan puas minum. Kembali ke offensive mode.
Lagi-lagi jalan naik-turun-naik-turun layaknya grafik pasar saham. Tidak ada flat (datar) sama sekali. Sesekali melewati sungai kecil, di mana saya memilih mendorong sepeda. Selain membantu mendinginkan kaki (airnya dingin), juga mengurangi risiko ban bocor atau jatuh saat melintasinya.
Saya banyak menyalip peserta lain, rata-rata saat menanjak. Banyak peserta memilih mendorong di tanjakan. Kadang saya juga disalip oleh peserta yang lebih cepat, sambil mengingatkan saya kalau Camelbak saya bocor.
Tak terasa, mil 126 (km 202) tiba. Waktu menunjukkan pukul 15.15. Panas sangat menyengat dan udara sangat kering. Badan saya penuh dengan debu jalan.
Badan mulai terasa lelah, fokus mulai berkurang, pinggang mulai sakit. Sayang tidak ada caffe latte, yang ada hanyalah gentong air untuk mengisi air dan satu kaleng Cola yang dibagikan gratis. Saya tidak berani minum Cola itu. Menjaga maag dan takut malah menjadi lemas.
Setelah mengisi air, saya mencoba membenarkan tas minum saya. Ada peserta yang menggunakan Camelbak model yang sama dan saya pun bertanya untuk pemasangan yang benar. Setelah mencoba beberapa saat, tas saya pun aman terpasang, tidak bocor lagi.
Perjalanan kembali di lanjutkan. 30 mil (48 km) lagi menuju pit stop 2 untuk makan sandwich tuna yang sudah saya siapkan di mobil Bryce. Enteng! Kayak menanjak tipis ke Pandaan saja. Itu angan-angan yang ada di kepala saya. Walaupun realitanya, 48 km nya jauh lebih berat dari Surabaya menanjak ke Tretes Surya.
Lagi-lagi, rutenya naik turun bukit yang tidak ada habisnya. Angin semakin sore tidak semakin reda. Tanduk (aerobar) makin sering digunakan dan sangat menolong. Kali ini, untuk menjaga fokus dan semangat, saya melakukan permainan di kepala saya. Permainan "Schadenfreude."
Bagi yang tidak tahu apa itu Schadenfreude, Om Azrul pernah membahas ini di kolomnya di Happywednesday.id. Cari saja di sana. Permainannya adalah: Untuk setiap orang yang saya lewati atau yang ada trouble di jalan, saya ejek-ejek dan kapok-kapokkan. Tapi ini hanya di otak saja ya... Di dalam hati. Bukan disampaikan langsung ke orangnya. Untuk menjaga semangat saja.
Dan permainan ini memang top. Kadang saya tertawa-tertawa sendiri. Apalagi saat ketemu peserta yang menggunakan strategi turun dari sepeda dan mendorong di tanjakan curam, lantas gas habis-habisan di turunan. Jadi, di saat menanjak saya dahului dia dan saat turunan dan tanjakan ringan saya ganti didahului oleh dia. Ini berlangsung sekitar 15 mil, sampai akhirnya dia berhenti di pinggir dan istirahat kecapaian.
Dalam hati, saya tertawa sendiri. Buat apa nuntun di tanjakan kalau kemudian segala energi dihabiskan di turunan? Itu malah tidak efisien. Justru sebaiknya dioptimalkan di tanjakan, lalu istirahat dan tenang saat turunan atau datar. Setelah itu, saya tidak bertemu lagi dengannya. Entah gimana nasibnya.
Kemudian, saya bertemu peserta yang tidak suka ditemani. Setiap kali saya tempel, dia ngegas. Saya tangkap, ngegas lagi. Sampai akhirnya ban dia bocor. Saya pun kembali terpingkal-pingkal dan mengkapok-kapokkannya. Orang jahat pahalanya juga nggak baik...
Tidak terasa, pit stop 2 di depan mata. Mencapai mil 156 alias km 251. Bryce bilang, saya lebih cepat dari yang dia bayangkan. Hidup schadenfreude!
Jam menunjukkan pukul 18 sore. Bryce bilang pace saya adalah finish 15-16 jam. Sambil meng-update kalau Om Azrul menunggu kabar di water station di mil 126, meminta Bryce melayani saya dulu sebelum membantu dia.
Saya langsung meminta sandwich tuna, minta Bryce untuk bikin kopi, mengisi air dan elektrolit. Sisa 50 mil (80 km) hanyalah seperti Surabaya-Pandaan PP dalam hati saya. Panas sudah berkurang, walaupun angin masih kencang. Tetapi saya sudah yakin kalau saya pasti finish, selama tidak ada mechanical problem. Semoga tidak ada trouble. Bryce menawarkan untuk memasak Ramen, tapi saya menolak. Tuna sandwich sudah cukup.
Dengan modal bekal tiga gel dan satu chewy gum, saya lanjutkan perjalanan.
Dari pit stop 2 ke finish lebih bersahabat walaupun masih naik turun tanpa henti. Banyak medan batu gravel kecil dan tanah. Tidak seteknikal sebelumnya. Ini membuat pace saya semakin cepat.
Angin yang masih kencang tidak menjadi kendala karena saya memasang tanduk yang membuat posisi lebih aero. Kontur jalan yang lebih rata membuat saya semakin mudah untuk menahan posisi di tanduk itu.
Schadenfreude tetap dilakukan, sampai saya bertemu dengan sepasang cyclist. Yang laki-laki di depan menjaga pace dan melindungi yang perempuan di belakangnya. Pace-nya tidak terlalu cepat, menguntungkan buat saya yang bisa istirahat sejenak dari angin dan sekali-sekali menjadi obat nyamuk.
Untung mereka baik. Mereka membiarkan saya jadi obat nyamuk. Juga sering memberi peringatan di saat ada lubang besar atau halangan yang berbahaya.
Matahari mulai terbenam. Pemandangan sangat fantastis, perbukitan yang di siang hari begitu garing, sorenya tampak begitu indah. Tidak sedikit peserta yang berhenti di pinggir untuk foto-foto. Saya sendiri sudah malas untuk berhenti. Ingin segera menyelesaikan event ini.
Kurang 15 mil dari finish (24 km) yang perempuan meminta berhenti untuk istirahat, katanya badannya sudah luluh lantak. Saya pun mengucapkan terima kasih boleh "nunut" dan semoga lancar kepada mereka berdua.
Lampu depan mulai saya nyalakan. Jalan mulai gelap. Kaki terasa fresh efek dari "magic hour." Badan mulai enak, fokus sudah aman lagi. Kecepatan pun ditambah lagi sebelum hari benar-benar gelap. Binatang-binatang kecil mulai keluar, tapi untung saya pake buff (orang Indonesia memang isinya untung terus). Bisa dibuat menutup hidung dan mulut biar binatang-binatang itu tidak masuk.
Gelapnya cukup mencekam, saya hanya berpikir semoga tidak ada mechanical trouble disaat gelap ini. Saya juga harus menemukan teman secepat mungkin. Tidak lama setelah itu, saya merasa ada sinar dari belakang, saya toleh ke belakang dan saya liat ternyata sinarnya tidak cuman satu. Ada tiga!
Oh Tuhan, terima kasih saya dikasih teman! Saya pun mengurangi kecepatan menunggu grup tersebut untuk mendekat. Setelah mereka menangkap saya, saya pun mengikuti pace di belakang mereka. Konon ada teman baik saya yang berkata “posisi menentukan prestasi." Saya memilih di urutan nomor tiga untuk berlindung dari angin. Kalau ada trouble masih ada orang di belakang saya yang bisa menolong...
Sengsara membawa nikmat, kepuasan tiada tara menyelesaikan event ini! (john boemihardjo)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 45
Audionya bisa didengarkan di sini
Foto: Emka Satya (DBL Indonesia), John Boemihardjo, Velonews