Azrul Ananda dan Simon Mottram saat gowes di Italia pada 2014
Satu dekade menekuni hobi sepeda, saya bersyukur bisa belajar banyak. Mengunjungi markas-markas merek terbesar, bertemu dengan orang-orang hebat di industri sepeda dunia. Salah satu yang paling saya kagumi adalah Simon Mottram, founder merek apparel sepeda Rapha yang akhir November ini mengakhiri masa jabatannya sebagai CEO (Baca juga: Pendiri Rapha Mundur dari Jabatan CEO).
Saya merasa beruntung bisa mengenalnya. Beberapa kali gowes bareng di berbagai benua, saling bertukar pikiran. Dia bahkan pernah memberi akses bagi tim manajemen perusahaan saya, DBL Indonesia, untuk mengunjungi markas Rapha di London, belajar di sana.
Mottram ini orang yang kreatif, visioner. Trendy-nya dunia hobi sepeda sekarang merupakan salah satu bentuk sentuhannya. Merek-merek apparel mahal lain hanyalah pengekor, dan menurut saya sama sekali tidak bisa mendekati filosofi komplet merek Rapha ini. Merek-merek lain hanya mahal tanpa "nyawa." Rapha benar-benar punya tujuan.
Sebelum bercerita bagaimana bertemu Mottram, mungkin saya perlu ceritakan dulu bagaimana saya kali pertama terekspose oleh merek Rapha. Tepatnya pada 2012. Waktu itu, salah satu sahabat gowes saya, Prajna Murdaya, membawa oleh-oleh jersey. Bahannya dari wool halus. Warnanya kuning terang kehijauan, dengan lingkar lebar putih di lengan kiri.
Mereknya Rapha. Itu adalah jersey jenis Classic, salah satu andalan Rapha sampai sekarang. "Azrul kamu harus coba ini. Enak sekali dipakainya. Ini merek punya visi. Punya filosofi," ucap Prajna waktu itu.
Saya rasa, Prajna mungkin termasuk yang pertama memakai Rapha di Indonesia. Cycling waktu itu belum terlalu booming di Indonesia, dan pilihan merek apparel bagus waktu itu masih sangat minim, didominasi merek Italia. Di Indonesia, masih lebih banyak jersey palsu yang beredar.
Kami jadi jatuh cinta dengan merek itu. Sementara merek-merek Eropa banyak yang main corak norak atau warna nabrak-nabrak, Rapha main elegan. Polos dengan ciri lingkar lebar di lengan kiri.
Rapha lantas melejit ketika pada 2013 mensponsori Team Sky (sekarang Ineos), tim terkaya di arena balap sepeda dunia.
Pada 2013 itu pula Prajna mengajak saya dan beberapa teman untuk ikut gowes bersama Rapha di Colorado, bertemu dengan Team Sky dan bintangnya waktu itu (Chris Froome).
Kami pun jadi kenal dengan sejumlah orang penting Rapha. Berlanjut pada 2014, saat kami meminta tim Rapha untuk memandu rombongan cyclist Indonesia gowes di Italia. Mengikuti rute Giro d'Italia, salah satu lomba bergengsi dunia, penantang utama Tour de France.
Mei 2014. Kami kenalan dengan Simon Mottram, sang founder dan CEO Rapha. Orangnya ramah, kalem. Badannya lean, khas cyclist. Tidak kami sangka, Mottram selalu bersama rombongan kami. Gowes bersama kami, makan bersama kami.
Gowesnya kuat! Hanya beberapa di antara kami yang bisa membuntutinya di tanjakan-tanjakan Italia yang panjang. Dan dia punya gaya menanjak yang mengagumkan. Sambil terus berdiri dan mengayun sepeda ke kanan dan ke kiri!
Saat itu, dia memakai sebuah sepatu tanpa merek. Saya sudah curiga, Rapha pasti mau rilis sepatu. "Coming soon," katanya waktu saya tanya. Ketika benar-benar dirilis, tidak satu pun yang beredar warnanya sama dengan yang dia pakai. Prototipe beneran.
Tentu saja kami jadi banyak ngobrol tentang dunia sepeda. Betapa dia begitu passionate terhadap cycling. Dulunya dia bekerja di dunia advertising, atau jadi konsultan brand. Hobinya tentu gowes. Dan dia sebal melihat betapa sulitnya menemukan desain jersey sepeda yang elegan. Semua masih terlalu "Eropa," terlalu norak.
Pada 2004, dia pun merintis Rapha. Perlahan tapi pasti berkembang. Nama "Rapha" terinspirasi dari St. Raphael, nama tim balap zaman baheula.
Pada 2015, saya bertemu Mottram lagi dua kali. Pertama pada Januari, saat ikut acara gowes di Adelaide, di tengah ajang Tour Down Under. Kami gowes bareng lagi ratusan km, menyusuri rute etape penentu menuju tanjakan kondang Willunga Hill. Di sana, bersama komunitas lokal, kami pun menunggu para pembalap dunia lewat.
Saat gowes di Adelaide itu, saya jadi semakin kenal dengan Mottram. Betapa dia selalu memikirkan segala detail, dan selalu menjajal sendiri produk-produk prototipe sebelum benar-benar dijual. Karena dia memang cyclist sejati, bisa merasakan segala kekurangan dari produk yang sedang dikembangkan.
Waktu gowes bersebelahan, saya tanya dia, kenapa kok memakai jam tangan di sebelah kanan. Alasannya benar-benar karena bersepeda. Setiap jam pasti punya "crown" (puteran untuk menyesuaikan jam). Letaknya selalu di sebelah kanan jam. Kalau dipakai di tangan kiri, maka crown itu bisa melukai pergelangan saat tangan kita menggenggam handlebar. Kalau di pakai di tangan kanan, maka tidak akan melukai...
Ketika acara makan malam, dia mengenakan sebuah jaket aneh. Tipis, semi transparan. Ingat soal sepatu, saya tanya dia lagi: "Ini prototipe baru lagi ya?" Mottram hanya tersenyum kecil. "Iya, ini jaket yang bisa dilipat-lipat sangat kecil dan masuk kantong jersey sepeda," jelasnya.
Voila! Tidak lama kemudian, packable jacket itu dijual di website Rapha.
Selama perkenalan awal ini, dua kali Mottram mengirimkan manajemennya ke Indonesia. Pertama untuk berpartisipasi di event sepeda yang diselenggarakan Prajna di Jakarta (kriterium dan festival). Kedua, mengirim direktur marketingnya untuk ikut event gowes ke Bromo yang rutin kami selenggarakan tiap tahun (kecuali pandemi ini). Dia pun mengizinkan saya mengirim manajemen DBL untuk belajar di kantornya di London.
Lanjut cerita, pertemuan kedua 2015 termasuk tidak disengaja. Persisnya pada Oktober 2015. Saya, John Boemihardjo (partner saya di sepeda Wdnsdy), dan beberapa teman lain gowes ke Richmond, Virginia, sambil melihat kejuaraan dunia balap sepeda di sana.
Azrul Ananda, Simon Mottram, dan John Boemihardjo di Richmond, Virginia, 2015
Ternyata, kami menginap satu hotel dengan Simon Mottram. Alhasil, kami pun gowes bareng lagi. Dan ternyata, momen di Amerika itu adalah momen penting bagi Mottram dan Rapha. Waktu itu, dia cerita sedang bertemu dengan sejumlah calon investor.
Beberapa bulan kemudian, muncul berita besar industri sepeda. Rapha resmi diakuisisi oleh investor besar. Perusahaan milik keluarga Walton, pendiri Walmart, jaringan hypermarket terbesar dunia yang berpusat di Amerika.
Saya, John, dan Prajna geleng-geleng kepala membaca kabar itu. "Wah jackpot dia," celetuk John. Kabarnya, nilai penjualan Rapha waktu itu mencapai USD 200 juta. Jackpot beneran!
Walau sudah menjual Rapha, Mottram tetap menjabat sebagai CEO. Mengawasi masa transisi, termasuk melewati masa pandemi ini. Baru pada November 2021 ini, dia mengundurkan diri sebagai CEO Rapha. Walau masih ada dalam barisan komisaris, dia tidak lagi memimpinnya day to day.
Di usia 55 tahun, Mottram berhenti di puncak. Rapha sedang mantap-mantapnya. Berkat pandemi, pada 2020 omzet perusahaan melonjak 30 persen. Pada 2021 ini, diprediksi kenaikannya juga 30 persen lagi.
"Cycling boom selama pandemi memberi kami dorongan besar. Kami termasuk brand yang beruntung, karena berada di tempat yang tepat dengan produk-produk yang tepat," ujarnya dalam interviu industri.
Bagi yang tidak familiar dengan Rapha, sekarang saya akan mencoba menjelaskan kenapa merek ini memang sangat pas positioning-nya. Sejak awal, Mottram selalu menekankan pentingnya fungsi produk. Walau alasan awal gerah dengan fashion sepeda yang norak, Mottram tetap mengutamakan produk-produk yang benar-benar sesuai dengan fungsi dan tujuan. Mahal? Ya. Tapi secara fungsi jelas. Bukan sekadar mahal dan gaya. Apalagi gaya-gayaan.
Classic jersey sangat nyaman untuk dipakai. Walau dari wool, tapi tidak berat, tidak bau, dan terasa sangat nyaman untuk casual riding. Kemudian Rapha mengklasifikasikan produk performance dalam berbagai kebutuhan: Ada yang Climber, tipis dan ringan untuk menanjak. Ada yang Aero, ketat dan "licin" untuk membantu membelah angin dalam kecepatan tinggi. Ada lagi Brevet untuk yang suka "mbolang" alias gowes ultra jauh.
Bagi saya, produk "juara" Rapha adalah bib short-nya. Celana sepeda yang nyaman, yang sekarang banyak sekali dicontek desain dasarnya.
Merek mahal lain kadang hanya menang mahalnya. Tidak ada filosofi fungsinya. Jadinya hanya musiman atau ikut-ikutan. Rapha terus eksis sebagai standarnya.
Nah, dengan mundurnya Mottram, inilah tantangan masa depan Rapha. Masih bisakah brand itu mempertahankan kekuatan filosofi yang pendiri. Penggantinya punya pengalaman kelas dunia memegang brand-brand termewah. Tapi belum teruji di dunia sepeda. Walau saya yakin dia juga bersepeda, saya tidak tahu apakah dia "segila dan sekuat Mottram" dalam hal bersepeda.
Mottram mampu mendorong Rapha mengisi kekosongan pasar, membuka jalan untuk dunia sepeda memperbesar pasar secara keseluruhan. Misalnya, fokus ke pasar adventure di saat yang lain tidak menoleh. Proyek terakhir Mottram yang masih harus diteruskan adalah mendorong semakin banyaknya cyclist perempuan di dunia. Juga mendorong semakin banyak "ras non-cyclist" untuk merasakan "hobi yang indah ini" (saya mengutip omongannya).
Sebagai penghobi berat sepeda, dan pengagum Mottram, saya tentu berharap semoga Rapha tidak memudar. Saya yakin brand-brand mahal lain akan datang dan pergi, musiman belaka. Mereka tidak punya filosofi fungsi produk sekuat Rapha...
Semoga juga pandemi ini segera berakhir, dan saya bersama teman-teman bisa gowes lagi ke tempat-tempat seru dunia. Saya yakin Mottram sekarang bisa semakin menikmati hobi gowesnya ini. Meluangkan lebih banyak waktu di pegunungan Pyrenees, di selatan Prancis, yang dia sebut sebagai tempat gowes favoritnya... (Azrul Ananda)