KAI Kediri Dholo KOM Challenge 2021 baru saja berlalu. Minggu lalu sudah saya menulis mengenai persiapannya. Bagaimana keseruan event ini bisa pembaca saksikan di kanal Main Sepeda di YouTube. Berdasarkan sudut pandang saya, rute ini memang kejam. Namun "si hore" dan saya bisa menyelesaikannya di bawah cut of time (COT).
Gear-nya ngadat. Tidak naik ke "survival gear", yakni gear terakhir untuk bertahan hidup di tanjakan. Tapi saya tidak bisa menjelaskan itu ke masing-masing peserta, maupun penonton yang memberi semangat di pinggir tanjakan. Keadaaan yang panjang lebar ini akan terkesan menjadi alasan saja. Mereka, maupun Om Aza, hanya tahunya saya finis belakangan. Ya bagus masih bisa finis, kalau dalam benak saya. Wkwkwkwk.
Saya termasuk orang yang beruntung. Walau kamera panitia ada di depan dan kamera saya kehabisan baterai, para spectators dengan rela mengirim video mereka ke tim Mainsepeda.com. Bukti bahwa olahraga sepeda dan jalan kaki bisa digabung, terdokumentasi komplet. Hitung-hitung untuk mencegah osteoporosis.
Sekarang kembali ke judul tulisan saya Jumat ini. Tidak ada kaitannya dengan dengan Dholo KOM. Judul di atas berhubungan dengan kegiatan gowes mingguan saya setelah move on dari Dholo KOM. Setelah hiruk pikuk pemilihan rute mingguan yang kerap terjadi, kami memutuskan bersepeda ke Nongko Jajar. Saya membawa dua downline, Om David dan Dik Steven yang masih kuliah. Hebatnya, Om David juga membawa downline. Nando, namanya.
Nongko Jajar ini memang rute favorit. Berbagai model bersepeda ke Nongko Jajar bisa dilalui. Ada yang dengan bersepeda dari rumah. Ada pula yang baru bersepeda ketika mendekati tanjakan. Pilihan ada di masing-masing pesepeda. Kalau Anda melihat downline saya, Anda pasti yakin kalau mereka bakat lomba. Lomba gulat, atau lomba makan. Wkwkwkwkkwkwk. Mohon maaf sebelumnya pada kalian. Sebab ini berdasarkan survei, lho.
Saya dan Steven perlu bersepeda sekitar 16 kilometer untuk sampai ke tempat kumpul. Kami berangkat kurang dari pukul 04.30, seperti pergantian ronda satpam. Untuk sampai di kaki tanjakan, perlu 60 kilometer lagi. Jadi pada dasarnya kami sudah lelah sebelum menanjak.
Untungnya, sebelum menanjak, grup bersepeda kami yang berjumlah kira-kira sepuluh orang itu, berhenti di minimarket untuk meluruskan kaki. Juga untuk minum dan makan snack. Persiapan untuk menanjak di tanjakan yang tergolong Hors Catégorie (HC) versi UCI itu.
Mulailah kami start nanjak. Saya berada di mana? Jika Anda berpikir saya paling belakang, salah besar. Sebab saya berada nomor dua dari belakang. Itulah gunanya membawa downline. Wkwkwkwk.
Yang satu, Dik Steven, mengikuti Bu Pres yang menanjak dengan lincah. Saya sampai minder. Wow, dengan tubuh sehatnya dia mengikuti peleton yang cepat itu. Rasanya putus asa. Tapi bagaimana lagi, tetap harus mengayuh agar sampai, kan.
Kemudian, di tengah perjalanan, saya melihat Steven gontai tertinggal peleton. Perlahan dengan pasti saya dan David mendekatinya. Setelah itu saya berhasil mendahuluinya. Kemudian si Steven mendahului saya lagi. Entah dari mana asal kekuatannya. Yang jelas dia bersusah payah di depan dengan napas tersengal sengal. Ketika saya bisa disampingnya, ia berkata seperti ini, "Saya ngotot hari ini, Om. Sebab this is my day. Saya mau ngotot."
Saya pun bertanya apa maksudnya. Rupanya Steven berulang tahun pada hari itu. "Saya mau ngotot gowes," katanya lagi. Namun, saat saya belum selesai mencerna kata-katanya, tiba-tiba ia berteriak. "Aduhhh, arghhh, kerammm." Saya sampai hampir keram perut lantaran menahan tawa di atas sepeda.
Ketika saya menengok ke belakang, ia sudah tak terlihat. Dalam benak saya "my day" itu sudah berubah menjadi "may day" seperti di film ketika pesawat tertembak dan jatuh. Benar-benar "may day". Wkwkwkwkwwk.
Singkat cerita, setelah kembali ke Surabaya, Steven menggenapkan gowesnya hingga 190 kilometer. Sekitar 20 kilometer lebih banyak dari saya. Supaya sama dengan usianya yang menginjak 19 tahun. Gowes 190 kilometer di hari ulang tahun ke-19. Luar biasa. Namun jangan dibuat budaya. Sebab ketika usia 35 tahun nanti artinya ia bisa gowes 350 kilometer. Sekian. (johnny ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 69
Foto: @chaidar26