Sekali lagi saya berkesempatan bersepeda di Banyuwangi. Sebelumnya saya memang pernah gowes di kota ini. Tapi itu dulu, sebelum pandemi Covid-19. Waktu itu saya gowes dengan sepeda lipat. Menempuh rute yang cenderung flat.
Saya kembali ke Banyuwangi untuk menghadiri launching jersey BRCC. Acaranya diadakan di daerah Jambu. Saya cukup senang menghadiri acara komunitas yang dipenggawai oleh Pak Guntur Priambodo itu.
Rute yang harus ditempuh konon hanya 40 kilometer. Konturnya seperti apa, saya tidak tahu. Kami berangkat dari lorong bambu di Gesibu Blambangan. Kemudian melaju menuju ke arah Jambu untuk launching jersey. Kami melewati Desa Wisata Adat Osing di Kemiren.
Elevasinya masih sopan. Walau bukan berada di rombongan depan, paling tidak saya masih bisa menikmati daerah sekitar. Saya gowes ditemani Kapten Agus Mardi Santoso. Ia bisa menjelaskan bahwa sungai di Banyuwangi masih bersih. Bahkan kita bisa mandi di sana.
Ia juga menerangkan bahwa perjalanan kami melewati rumah barista kelas dunia yang akrab dipanggil Pak Iwan. Sambil gowes, kami melihat beberapa perkebunan yang membentang di kanan-kiri jalan. Setelah elevasi 400 meter, kami tiba di tempat acara. Saya bukan yang paling belakang. Jadi cukup membahagiakan, wkwkwkwk.
Kemudian kami duduk di tempat yang disediakan. Menikmati acara launching jersey serta menyandap hidangan yang telah disiapkan. Akan tetapi, saya cukup waswas karena Si Kapten tidak berhenti menjelaskan perjalanan ke Paltuding, Ijen.
Ia bilang, bahwa setelah tanjakan setelah Erek-erek itu nanti sudah mudah untuk dilalui. Tinggal gradien tujuh hingga delapan persen saja. Perjalanan yang ditempuh hanya 12 kilometer. Jadi, meski berat, relatif pendek untuk dilalui.
Kami berangkat setelah seremoni selesai. Beberapa peserta tidak meneruskan naik ke Paltuding. Pada saat itu saya belum tahu apa alasan mereka tidak ikut naik ke Paltuding.
Di jalan, seperti biasa, saya bisa meninggalkan sedikit orang. Setelah bersusah payah mengendarai sepeda dan seperti yang Anda lihat, saya di temani Mbah Gus. Teman-teman 'sederajat' saya itu berhenti tidak jauh setelah kami melewati peternakan lebah. Pas saya lewat, ada yang sedang mengambil madu. Wah kalau saya dikejar lebah, bisa seperti film Donald Bebek zaman dulu. Untungnya tidak terjadi.
Lalu mereka berhenti di sebuah tempat yang agak luas. Saya lihat kilometer saya di Garmin, ini belum finish dan masih jauh. Lalu mengapa mereka berhenti? Yang membuat saya heran, kenapa raut wajah mereka seperti orang sudah selesai atau finis?
Saya dengan bangga melanjutkan perjalanan. Begitu banyak orang yang berhenti di belakang saya. Semakin dekat ke area Paltuding, kian sepi jalannya. Grade tanjakannya juga makin miring. Saya melihat ke belakang. Tidak ada orang. Aman, pikir saya. Tidak perlu memaksa.
Lama kelamaan saya semakin akrab dengan gradien belasan persen. Hingga di titik di mana jika memaksa, saya belum tentu kuat. Maka saya berhenti. Begitu berhenti dan melihat ke belakang, masih tidak ada orang. Setelah bersusah payah, saya akhirnya melalui jembatan sebelum Erek-erek itu.
Seperti yang pembaca bisa lihat di channel YouTube Main Sepeda, saya memilih 'sedikit' jalan kaki karena saya teringat info teman saya yang baik dan budiman, Namanya Kapten Agus Mardi Santoso. Ya, Anda bisa catat nama ini.
Sambil berangan-angan tanjakan tujuh persen, saya mengayuh lagi. Tiba-tiba sudah sebelas persen, lalu 15 persen. Ah paling sedikit lagi, pikir saya. Ternyata tetap 12 persen. Saya akhirnya mengerti mengapa begitu banyak yang tidak melajutkan perjalanan. Rupanya mereka memang tidak berniat naik, dan saya tahu alasannya.
Mungkin mereka sudah tahu perihnya naik ke Paltuding dan merasa tidak perlu dilewati lagi. Tapi tidak berlaku bagi tamu seperti saya yang sudah ditunggu-tunggu di atas. Saya terus menerus mencoba naik dengan bahan bakar campur: campur dorong.
Kemudian saya ketemu dengan salah satu tim DBL. Namanya Om Gilang. Saya bertanya kepadanya seberapa jauh jarak menuju finis. Dengan jujur ia menjawab, jika saya sudah melewati jalanan yang rusak, artinya sudah dekat dengan garis finis.
Om Gilang menemani saya dan menjelaskan bahwa perjalanan ini masih kurang dua kilometer lagi. Akhirnya saya sampai di Paltuding. Kalau Anda lihat di YouTube kenapa saya ngomel ke Kapten Agus, tulisan ini sedikit menerangkan alasannya.
Yang bucin pasti tahu beratnya di-PHP. Saya sebagai cyclist pas-pasan mengerti berapa beratnya di-PHP oleh informasi yang enak didengar tapi berat saat dikayuh. Sekian. (mainsepeda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 78
Foto: Ramada Kusuma