Dua kali. Dua kali saya merasa benar-benar takut. Bukan sekadar khawatir, tapi benar-benar takut. Benar-benar takut tidak bisa lagi menuntaskan misi pribadi yang sudah bertahun-tahun saya lakukan. Menuntaskan salah satu event sepeda terberat di dunia, Unbound Gravel (dulu Dirty Kanza) di negara bagian tempat saya SMA dulu, Kansas.
Rute orisinalnya, dan rute paling bergengsinya, adalah rute 200 mil. Lebih dari 320 km. Tidak ada gunung, tapi menanjaknya hampir 3.000 meter. Dan 98 persen rutenya di atas jalanan "gravel." Jalanan berkerikil atau rumput atau offroad. Hanya start, finis, dan sedikit sekali di tengah-tengah yang aspal. Harus dituntaskan dalam waktu kurang dari 21 jam (cut off time).
Tahun lalu, saya gagal finis. Salah saya sendiri. Bukan karena tidak kuat. Bukan karena kurang cepat. Penyebabnya, kombinasi meremehkan dan kurang disiplin dalam menerapkan strategi asupan (Baca Juga: Salah Saya Sendiri Gagal Finish Unbound Gravel 2021). Ya, tahun lalu kombinasi cuaca panas-kering mengakibatkan 40 persen peserta tidak finis. Tapi saya tahu saya mampu finis. Benar-benar kesalahan sendiri.
Selama setahun terakhir, kegagalan itu selalu saya ingat. Tahun ini tidak boleh terulang. Partner saya di merek sepeda Wdnsdy, John Boemihardjo, tahun ini bisa fokus mengejar target lebih tinggi. Menuntaskan rute itu dalam waktu di bawah 14,5 jam, sebelum matahari terbenam. Pada Sabtu, 4 Juni lalu, saya hanya ingin finis.
Tahun ini, ternyata cuacanya berubah drastis. Bukannya panas kering kerontang dengan suhu menyenggol 35 derajat Celcius. Tahun ini jadi dingin, basah, dan berangin. Kami sempat gagal tes rute pendek lima hari sebelum lomba gara-gara angin superkencang, disebut sampai 80 km/jam. Videonya ada di channel YouTube Mainsepeda.
Hujan lebat beberapa hari kemudian juga mengurangi persiapan pemanasan. Cuaca hanya terang hangat (bahkan cenderung panas) pada Jumat sebelum lomba (3 Juni). Prediksi cuaca Sabtunya 40-50 persen hujan, suhu maksimal 26 Celcius.
Di satu sisi, ini bisa mengurangi kendala kehabisan air dan suplai saya tahun lalu. Di sisi lain, kami harus siap menjalani medan yang jauh lebih ekstrem. Berlumpur.
Entah seperti apa perasaan John Boemihardjo dan Edo Bawono (CEO Strive), juga Johnny Ray di garis start itu. Mereka akan menceritakannya sendiri di Mainsepeda dan media sosial masing-masing. Kalau saya, terus terang ada tegangnya.
Secara fisik, saya termasuk siap. Tapi tahun lalu juga siap. Satu hal yang pasti, kami semua berharap tidak mengalami masalah mekanikal. Alangkah menyakitkannya kalau semua ini gagal karena ada komponen yang fail. Bahkan ban bocor atau sobek (pemandangan sangat umum di Unbound) bisa menghalangi upaya.
Karena itulah, saya superkonservatif dalam setelan sepeda. Wdnsdy Journey KS saya (prototipe baru dari John dan saya) memakai ban lebih tebal dan lebar dari yang lain. Ban Gravel King SK+ 43 mm yang bakal sedikit lebih lambat rolling-nya, tapi lebih tahan banting.
Grupset juga sistem 1x (satu chainring di depan), mengurangi komponen sekaligus mengurangi risiko masalah perpindahan gigi.
Yang paling utama buat saya: Tidak boleh lagi kurang makan atau kurang bawa makanan dan air. Tas depan saya isinya harus lebih dari cukup asupan (Strive bar dan gel). Di kantong jersey SUB ada lagi. Tas minum saya isi 2 liter, plus dua bidon besar. Satu isi air, satu isi minuman karbohidrat.
Jonathan Hershberger (Hershy) dan Butch Peterson, mekanik dan guide kami yang bergabung dari Colorado, mengingatkan saya untuk tidak membawa terlalu banyak. Supaya sepeda tidak terlalu berat. Saya hanya bilang ke mereka: Tahun lalu saya tidak finis karena kurang membawa asupan.
Unbound Gravel ini memang event mandiri. Dalam 200 mil (320 km), hanya ada dua tempat untuk mendapatkan support dari kru. Yaitu di mil 77 (km 123) dan mil 160 (km 256). Selain itu hanya ada dua "water stop." Alias hanya ada bantuan air yang disediakan panitia.
Untung bagi saya, salah satu water stop itu (mil 115, km 184) ada di kota kecil --tepatnya desa-- Hamilton, yang punya toko kelontong. Jadi kalau butuh apa-apa, bisa beli makanan di situ.
Tahun lalu, saya KO di kisaran itu, berhenti di water stop kedua setelah puluhan km tanpa air dan makanan. Mau beli makanan tidak bisa, karena toko kelontong terdekat harus jauh keluar jalur.
Begitu start, saya tergolong hati-hati. Saya dan Ray start dari barisan "14 Jam," sedangkan John dan Edo maju di barisan "12 Jam." Kami tahu pengelompokan itu akan mengakibatkan chaos. Karena yang lambat pasti banyak yang ingin di depan.
Apalagi kelas 200 mil ini diikuti 1.426 peserta, hampir 50 persen lebih banyak dari tahun lalu. Ribuan di atas aspal tidak apa-apa. Ribuan di atas jalanan gravel? Tentu lain.
Hingga water station pertama dan pit stop pertama, saya merasa nyaman. Kalau melihat data, detak jantung saya dan upaya saya paling tinggi di bagian ini. Sebagian karena masih merasa tegang, lalu karena masih ada peloton atau echelon (harus terus fokus agar tidak terlibat insiden), dan tentu karena semangat.
Pada pit stop pertama, yang saya lalukan pertama adalah makan. Makan egg salad sandwich yang sudah disiapkan. Juga makan sepotong kue. Hershy terus mengingatkan saya untuk makan, sambil membersihkan sepeda dan mengisi lagi tas dan bidon dengan air (dan campuran karbohidrat). Dia terus mengingatkan, ini bukan sekadar balapan sepeda. Ini balapan makan.
Sebelum lomba, John, Edo, Hershy dan Butch memang belanja gila-gilaan di supermarket, memberi kami sebanyak mungkin opsi makan di pit stop.
Johnny Ray hebat. Di pit stop itu, dia hanya tujuh menit di belakang saya. Memberi tantangan ekstra (wkwkwk...).
Setelah pit stop itu, saya mulai konservatif. Karena saya akan memasuki fase di mana saya hancur tahun lalu. Ya, cuaca tidak panas. Bahkan hujan gerimis. Namun saya tetap harus memastikan tidak membuang energi terlalu banyak. Saya harus memastikan diri bisa sampai pit stop kedua (km 256) dalam kondisi baik.
Rute di tengah ini mulai berat. Jalanan lebih rusak karena masuk kawasan-kawasan peternakan. Saya benar-benar "ride to power." Terus memantengi data power meter. Kalau datar, bertahan di zona endurance. Kalau menanjak, bertahan di tempo. Walau bisa lebih cepat, saya harus menahan diri. Bukan untuk cepat sekarang. Saya harus finish.
Lalu tibalah water stop kedua, mil 115 (km 184) itu. Saya langsung menuju toko kelontong. Beli teh manis kemasan dua botol. Satu untuk saat itu, satu untuk dibawa. Ternyata bisa pesan sandwich, jadi saya pesan cheese sandwich tradisional (enak sekali dan hangat). Lalu beli satu kantong kecil kacang asin. Setelah ratusan km kena manis-manis, asin adalah rasa yang paling dirindukan.
Makanan dari toko kelontong di Hamilton.
Enak-enak makan, Johnny Ray datang. Eh, dia tidak berhenti. Hanya isi air, lalu lanjut lagi. Saya mengingatkan dia, jangan lupa makan. Tahun lalu saya KO di fase ini. Dan harus ingat, rute terberat ada di depan, antara mil 120 hingga 160.
Walau ditinggal Ray, saya tetap disiplin. Saya harus makan. Tidak boleh seperti tahun lalu. Secara teori, saya dan Ray masih on pace untuk finis 15 jam-an. Tapi itu teori.
Tidak lama, saya melanjutkan rute. Benar saja. Tidak sampai 10 km dari water stop, bagian paling menyebalkan menyambut. Hujan lebat memang mengakibatkan sebagian rute banjir dan harus di reroute. Nah, bagian hampir 1 km ke depan ini termasuk yang tanggung. Tidak cukup hancur untuk diganti, namun kondisinya berlumpur dalam sehingga juga tidak bisa dilewati di atas sepeda.
Lomba menuntun pun terjadi. Ketika mencoba menggelindingkan sepeda, lumpur langsung memenuhi sekitar ban. Malah hilang waktu membersihkan. Kami membawa "paint stick," sebuah batangan kayu pipih yang biasa dipakai untuk mengaduk cat. Ternyata sangat berguna!
Peserta harus mengangkat sepedanya ketika melintasi medan lumpur yang sulit dilewati. (Foto: Azrul Ananda)
Butuh sekitar 40 menit untuk melewati kawasan berlumpur tersebut. Saya melihat ada peserta perempuan berkaki satu. Harus berjuang keras untuk berjalan di lumpur dengan kaki palsu sambil memanggul atau menenteng sepeda. Dan sepeda kami sedang berat-beratnya, karena baru saja diisi minuman dan mungkin makanan.
Ini adalah kali pertama saya merasakan takut itu. Takut tidak bisa finis. Sulit menjelaskan dan menggambarkan betapa menyebalkannya bagian ini. Karena makin dilewati, lumpurnya makin berantakan. Kelompok depan mungkin masih lumayan, kelompok tengah seperti kami sudah hancur-hancuran.
Di akhir jalan lumpur, ada sungai kecil. Kami pun bergantian mencuci sepeda dan ban di situ. Lalu lanjut lagi.
Tidak lama, saya menyalip Johnny Ray. Katanya dia sempat jatuh di jalanan lumpur itu (juga John dan Edo). Kemudian, saya berlanjut lagi sambil tetap sangat konservatif. Zona endurance di datar maksimal zona tempo di tanjakan. Kalau bisa selamat sampai pit stop kedua, saya yakin bisa finis.
Sempat ada bagian berlumpur lagi di kisaran mil 150. Plus salah satu tanjakan terberat (The Judge, karena dulu ada Hakim Agung Amerika tinggal di sekitar situ). Setelah itu, momen paling membahagiakan tiba.
Saya masuk kota kecil Madison. Lokasi pit stop kedua mil 160. Hershy sudah menyiapkan tempat duduk (di pit stop pertama saya tidak boleh duduk). Juga menyiapkan Cup Noodle yang hangat (dan asin). Sepeda saya penuh lumpur, jadi Hershy butuh membongkar semua ban untuk membersihkannya.
Saya hanya bisa makan setengah mi instan itu. Saya memaksakan diri makan kue. Mulut saya sudah tidak enak. Perut sudah kembung tidak karuan. Hershy terus mengingatkan untuk makan.
Setelah istirahat sejenak, saya siap lanjut. Badan terasa oke. Bahkan cenderung nyaman. Kaki sama sekali tidak masalah. Hanya tangan dan bahu sakit karena menenteng dan memanggul sepeda.
Saya bilang ke Hershy, kurangi satu botol minumnya. Cukup isi tas air saya separo. Saya ingin lebih ringan. Karena bagian akhir ini seharusnya paling mudah. Dan sudah ke arah utara, bisa dibantu dorongan angin.
Saya pun berangkat, dibantu dorongan Hershy saat memasangkan pedal. I feel good. Saya yakin akan finis. Kalkulasi waktu saya antara 16 sampai 16.5 jam sampai finis. Mirip dengan catatan waktu John Boemihardjo tahun lalu.
Sekarang saya bisa sedikit push.
Brakkk! Hanya 5 mil dari pit stop, saya terjatuh. Ada lagi bagian-bagian berlumpur. Seharusnya tidak terlalu parah, jadi saya berani melewatinya di atas sepeda. Awal-awalnya aman. Tapi akhirnya selip juga. Sepeda saya terbanting ke kanan. Lutut saya yang sedang dalam posisi melebar untuk menyeimbangkan menghantam duluan. Kemudian handlebar dan bagian kanan sepeda.
Inilah masa saya paling takut tidak bisa finis. Hanya 35 mil dari finis!
Shifter kanan bengkok dan penuh lumpur. Gir tidak bisa dipindah. Saya harus menggunakan tangan dan jari untuk membersihkan lumpur semaksimal mungkin. Paint stick-nya sudah telanjur ditinggal di pit stop. Butuh waktu lumayan untuk membersihkan lumpur dari sepeda. Matahari mulai terbenam.
Saya benar-benar takut tidak bisa finis lagi.
Alhamdulillah, sepeda masih berfungsi. Tidak ada yang rusak. Pindah gir agak serat karena shifter berisi lumpur, tapi aman. Masalahnya justru di lutut kanan. Lecet-lecetnya sedikit. Tapi di sekitar tempurung sakit sekali. Ini lutut yang ada dua bautnya, karena cedera saat main sepak bola belasan tahun lalu.
Saya pun harus lebih pelan-pelan lagi. Memastikan lutut tidak apa-apa. Alhamdulillah, saya masih bisa lanjut. Lampu saya nyalakan. Terang di depan, merah kelap-kelip di belakang. Lalu tinggal memastikan diri finis sampai di Emporia lagi.
Hanya beberapa mil sebelum finis, saya masih melihat beberapa peserta harus berhenti di pinggir jalan karena kerusakan atau ban bocor. Saya terus berdoa, semoga tidak ada masalah sebelum finis. Saya punya kenalan yang tahun lalu katanya mengalami kerusakan hanya 3 mil sebelum finis!
Akhirnya, setelah diliuk-liukkan di kompleks Emporia State University, saya masuk Commercial Street lagi. Masuk jalur finis. Yes! Hutang lunas. Dalam waktu 17 jam dan 7 menit. Tidak cepat, tidak lambat. Bisa lebih cepat, tapi sudah tidak penting lagi buat saya. Yang penting finis. Dari 1.426 starter, sekitar sepertiga tetap tidak finis.
Istri dan teman-teman menyambut. Leganya luar biasa. "Sudah tidak punya hutang bro!" tegas John. Dia sudah mewanti-wanti saya supaya finis tahun ini karena dia tidak mau mengulangi lagi tahun depan.
Johnny Ray finis 50 menit kemudian. Masih jauh dari cut off time 21 jam. Tim 100 mil, berisikan Dietmar Dutilleux, Bagus Ramadhani, Amdani Ocha, dan istri saya mampu menuntaskan rute juga dalam waktu kurang dari 10 jam.
Johnny Ray menunjukkan sepatunya yang penuh lumpur setelah berhasil finis 200 mil.
Dan yang membuat saya ekstra bangga: Kelompok kami melakukan ini dengan menggunakan produk brand Indonesia. Sepeda Wdnsdy, jersey SUB, dan nutrisi Strive. Didukung juga Herba Mojo.
Kami memang tampil Indonesia banget. Jersey kami merah putih, dengan corak batik Sawunggaling. Kami datang ke pameran sepeda dan mengambil racepack menggunakan seragam batik. (Baca juga: Kompak Pakai Batik Ambil Racepack, Masuk Majalah Unbound Gravel 2022).
Entah berapa banyak orang menyapa kami. Ada yang bilang pernah ke Indonesia. Ada yang bilang ayahnya dulu kerja di Indonesia. Dan bahkan ada yang menyapa karena istrinya orang Indonesia. Dan ini terjadi di tengah-tengah sebuah kota kecil di Kansas!
Pada 1993-1994 lalu, ketika dapat beasiswa SMA di sini (kota Ellinwood), saya harus banyak bicara mengenalkan Indonesia di gereja-gereja atau komunitas-komunitas. Sekarang, kami cukup naik sepeda, pakai produk-produk Indonesia...(azrul ananda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 88
Foto-Foto: Emka Satya / DBL Indonesia, Unbound Gravel, dan Azrul Ananda