Subuh itu saya terbangun oleh alarm jam milik Om Edo Bawono, CEO Strive Sport Nutritions, yang diatur 15 menit lebih awal dari alarm saya. Om Edo langsung mematikan alarm, memastikan saya sudah terbangun, lalu menekan tombol on di rice cooker yang ada di sebelah tempat tidur kami.
Rice cooker yang sudah berisi air itu digunakan bukan untuk memasak nasi. Melainkan untuk merebus Strive Mee yang baru di-launching di Antangin Bromo KOM Challenge 2022. Strive Mee merupakan menu sarapan kami sebelum race. Saya mempelajarinya dari 'komandan' Sunhin, juara 1 Bromo KOM 2022 di kategori usianya, yang selalu menkonsumsi mi sebelum race.
Kemudian kami bersiap-siap dan memastikan tidak ada yang ketinggalan. Saya mengingatkan Om Azrul Ananda untuk memastikan Garmin-nya tidak ketinggalan. Sebab tahun lalu sempat tertinggal sehingga kami harus kembali ke hotel terlebih dulu, wkwkwkwk.
Setibanya di tempat start. kami langsung menempati posisi sesuai target masing-masing. Om Edo dan saya di bagian 12 jam. Om Azrul dan Om Johnny Ray di sektor 14 jam. To beat the sun adalah tujuan dari saya dan Om Edo. Kategori 200 mil berangkat pukul 06.06. Kami mulai beraksi. Demi menghindari macet di water station di mil 41, kami berusaha mendahului peserta lain. Kami berusaha mencari grup yang kekuatan dan kecepatan yang mirip-mirip.
Om Edo, saya, Om Azrul, dan Om Johnny Ray sebelum start kategori 200 mil
Setelah lompat kodok beberapa kali, akhirnya kami menemukan grup yang tepat. Grup ini berisi lima orang. Tiga di antaranya sangat rajin untuk 'menarik' di depan. Apalagi ada satu orang dengan postur tinggi besar, cocok menjadi tempat persembunyian saya di belakangnya. Ia tampak paham betul dengan rute yang kami lalui. Bisa mengarahkan rombongan untuk mengambil jalur yang tepat. Serta tahu kapan harus menambah kecepatan dan kapan mengurangi kecepatan pada waktu menyeberangi sungai kecil.
Satu orang tukang tarik yang sangat kuat sekali, Om Edo menyebutnya Mr. Rodeo. Sebab ia mengenakan jersey bertuliskan Rodeo. Ternyata ia dari Denver, Colorado. Terbiasa berlatih di ketinggian. Grup kami begitu kencang, mendahului banyak orang dan grup lain hingga tiba di water station di Texaco Hill.
Setelah mengisi bidon dan membuang air kecil, kami pun melanjutkan perjalanan. Grup mulai terpisah-pisah. Ada yang mau istirahat dan ada yang langsung melanjutkan perjalanan. Pada saat itu kecepatan rata-rata kami masih diatas 15 mil per jam. Ketika dihitung dengan asumsi kecepatan rata-rata yang sama, kami bisa finis dalam waktu sekitar 12 jam. Hati pun terasa percaya diri. Saya bisa BEAT THE SUN!!!.
Pit stop satu pun tercapai dalam waktu 5 jam. Hershy, mechanic support kami, dengan cepat membersihkan rantai dan memberi pelumasan. Beberapa Strive bar, gel, dan kawan-kawannya yang sudah disiapkan di tas yang sudah ditandai untuk pit stop satu, segera dikantongi. Kami dengan cepat melahap turkey and cheese sandwich. Kemudian tanpa buang waktu langsung tancap gas.
Jonathan Hershberger (Hershy) dan Butch Peterson mekanik dan guide kami di Unbound Gravel 2022
Setelah pit stop satu itu kami agak kesulitan mencari grup yang tepat. Ada yang terlalu kencang dan ada yang terlampau pelan. Kira-kira 10 mil setelah pit stop satu, saya dan Om Edo akhirnya berpisah. Om Edo memutuskan untuk menggunakan strategi defensif di mana pacing sesuai target power. Sementara saya menggunakan strategi offensif. Saya berusaha ikut grup cepat dan agak ambil risiko mengeluarkan power lebih besar dari target.
Sebab, saya merasa lebih hemat tenaga jika ride bersama grup dan lebih bisa memilih jalan yang benar dengan melihat contoh orang depan. Walaupun secara average speed sudah di atas target, saya lebih takut akan ada kejutan di depan yang membuat kecepatan bisa berkurang dan menggagalkan misi beat the sun. Setelah diputuskan, saya langsung tancap gas berusaha mengejar grup depan. Ternyata setelah perjalanan cukup panjang, saya hanya bisa melewati perorangan sajam, susah dapat grup lagi.
'Kejutan' yang saya takuti pun datang. Ada turunan berlumpur yang saya lewati cukup kencang di sekitar mil 120. Membuat saya salto dan jatuh ke sisi kiri. Kepala saya membentur lumpur berbatu (untung tidak terekam di video, wkwkwkwk). Saya langsung cek kaki dan tangan saya, oh aman….Hanya penuh lumpur saja. Saat cek sepeda saya, shifter kiri bengkok ke kanan, rear derailleur dan lain-lain aman.
Perjalanan dilanjutkan. Tapi tidak sampai 500 meter saya terjatuh lagi di lumpur. Tapi tidak terlalu kencang, jadi aman-aman saja. Saya pun memutuskan untuk mendorong sepeda saja. Yang kemudian orang-orang yang ada di belakang saya juga berjatuhan di tempat yang sama. Lumayan lah, paling tidak ada teman jatuh, wkwkwkwk.
Setelah mendorong sepeda, melewati sedikit tanjakan, barulah pemandangan menyeramkan terlihat. Jalan rolling di depan begitu panjang dan berlumpur. Membuat sebagian besar orang harus menggendong sepedanya, bukan mendorong. Apa yang terjadi bila Anda mendorong sepeda? Lumpur akan memenuhi ruang di antara fork dan ban, yang menyebabkan sepeda tidak dapat bergerak sama sekali.
Tidak ada pilihan, sepeda harus digendong. Ini merupakan pengalaman pertama menggendong sepeda sambil jalan di atas lumpur. Makin lama makin berat. Lumpur mulai menempel di sepatu, membuat mengangkat kaki jadi tidak mudah. Lebih dari satu mil saya menggendong sepeda. Tidak tahu sudah menghabiskan berapa waktu. Saat itu hati mulai ragu apakah bisa mencapai target beat the sun.
Berbagai halangan tidak membuat saya patah semangat untuk mencapai target beat the sun
Setelah perjalanan panjang menggendong sepeda, akhirnya saya bertemu dengan medan berlumpur yang mulai mengering. Sehingga bisa dilalui sepeda. Meski lumayan berat karena banyak lumpur yang nyangkut. Halangan shifter miring, lumpur menempel di fork, jersey, dan bib tidak membuat saya patah semangat. Selama kaki masih bisa berputar, sepeda masih fungsional, kita hajar terus pantang mundur.
Syukur ada sungai kecil tak jauh dari tempat itu. Sepeda saya langsung direndam di rungah itu. Kesempatan untuk menghilangkan lumpur di fork, sepatu, dan kaki. Termasuk kamera yang terpasang di sepeda. Saya cuci sekaligus menguji ketahanan waterproof-nya. Jadi, sepeda saya sudah resmi pernah dibaptis di sungai di Kansas, Amerika.
Akhirnya pit stop kedua berhasil digapai. Sepeda langsung dicuci dan disikat dengan cepat. Shifter dibetulkan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 17.00. Sedangkan matahari terbenam pukul 20.45. Tersisa 40 mil yang harus dilalui. Hati semakin yakin bisa Beat the Sun, dengan catatan tidak terjadi masalah mekanikal. Ketika badan sudah terasa sangat lelah, perut tidak lapar, tidak nafsu makan, minum sudah malas, Hershy meminta saya untuk segera berangkat lagi… to beat the sun.
Sekitar 40 mil terakhir dilalui dengan hati-hati. Dalam hati tetap berdoa semoga ban tidak gembos, kaki tidak kram, dan tidak jatuh. Asal pacing dengan benar, pasti aman. Section muddy kedua pun ditemui, sepeda pun baptis di sungai untuk kali kedua dalam sehari. Lalu di 25 mil terakhir itu, saya seperti mendapatkan bantuan dari malaikat. Saya bertemu grup kereta cepat yang membawa saya finis dalam waktu 13 jam 34 menit. Yes, sukses beat the sun. Puasnya tiada tara!!! (john boemihardjo)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 88
Foto: Emka Satya/DBL Indonesia