Dalam Bahasa Jawa, meri adalah sebutan untuk anak bebek. Atau juga bisa diartikan iri. Iri dengan siapa? Saya meri melihat video Unbound Gravel 2022 untuk rute 100 mil. Sudah tayang di Podcast Main Sepeda di YouTube sejak Rabu lalu.
Banyak pembaca yang tahu bahwa 100 mil adalah rute saya tahun lalu. Waktu itu yang berangkat hanya tiga orang saya. Saya, Om Aza, dan Om John. Saya satu-satunya yang memilih rute 100 mil. Pada saat itu, mau ikut Unbound Gravel saja sudah termasuk nekat buat saya.
Tahun ini saya sedang khilaf saya sehingga memilih rute 200 mill. Karena sudah pernah 100 mil, dan sudah terlanjut pergi, jadi mari kita tuntaskan lomba sebenarnya. Rute 200 mil tidak hanya diikuti oleh pecinta gowes saja, banyak atlet yang tampil di kategori ini. Mereka sama-sama berusaha mencatat waktu terbaik.
Jika Anda menyaksikan video di channel Mainsepeda di YouTube, jalanan Emporia dipenuhi foto pemenang lomba 200 mil tahun sebelumnya.
Karena ikut 200 mil, saya tidak start dengan teman-teman yang ikut 100 mil. Kami sudah tak berjumpa sejak malam sebelum start. Auranya memang berbeda dari awal. Tim 100 mil memiliki aura penuh tawa. Sementara tim 200 mil memiliki aura...aura bingung. Yang lain bingung finis jam berapa, sedangkan saya bingung finis atau tidak.
Yang pasti, saya benar-benar terharu melihat perjuangan Ivo, Om Dietmar, Om Rama, dan Ocha. Mereka sangat guyub dan hore. Mereka terkena hujan, kebalikan dari saya tahun lalu di mana panasnya sangat ekstrem. Saya juga terkena hujan tahun ini. Namun tidak sederas hujan yang mereka alami. Dan, saya baru mengetahuinya setelah melihat video di Podcast Main Sepeda di YouTube itu.
Ketika melihat video mereka, saya menjadi meri. Mengapa?
1. Sendiri vs Bersama
Tahun lalu saya menghadapi rute ini sendiri. Memang ada satu-dua orang yang mengajak ngobrol. Tapi bukan teman seperjuangan dan tidak satu bahasa. Jadi semua omelan saya pada saat itu hanya didengar rumput dan sapi saja. Itu pun belum ada translator yang bisa menerjemahkan ke sapi-sapi itu.
2. Mekanik vs Tidak Ada Mekanik
Tahun lalu, saya tidak di dukung oleh mekanik ketika sampai di pit stop. Om Emka sebagai tim media dari Mainsepeda.com, memberikan Chips Ahoy sebagai bekal untuk saya. Saya juga dibantu mekanik lokal. Namun karena terlalu capek, saya tidak sempat mendokumentasikannya.
Beda dengan tim 100 mil yang sekarang. Mereka berangkat berempat. Disambut mekanik yang begitu siap dan paham apa yang mereka kerjakan. Paling tidak, mereka bisa memiliki mobil untuk berteduh, mekanik yang mencuci sepeda, dan makanan yang bisa dipilih. Tahun lalu tidak ada. Wajarkan kalau saya meri, wkwkwkwkwk.
3. Makanan vs Lapar
Karena tim 100 tahun ini bisa menaruh bekal di mobil, maka asupan makanan mereka terjamin. Beda dengan saya pada tahun lalu. Saya harus menahan lapar dan tidak ada stok makanan di 20 kilometer terakhir.
Ketika saya melihat Om Dietmar bisa makan roti dengan lahap, megingatkan saya pada tahun lalu. Chips Ahoy saya tinggal sepertiga kotak. Itu pun harus saya hemat. Sebab itulah satu-satunya bekal saya yang tersisa.
Ya, itulah sebab-sebab saya meri kepada tim 100 mil. Tapi saat-saat itu sudah lewat. Toh saya bisa finis tahun lalu meski nyaris tidak berhasil. Tahun ini pun mereka yang 100 mil dengan luar biasa bisa finis lebih cepat dari saya. Superb, you’ve got this. (johnny ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 93
Foto: Unbound Gravel, Emka Satya/DBL Indonesia