Shimano baru saja membuat keputusan cukup kontroversial. Grupset performance "untuk rakyat"-nya, 105, dinaikkan kelas menjadi elektronik 12-speed. Harganya, kabarnya, bakal mendekati Rp 20 juta.
Memang, Shimano belum tentu menghapus 105 dari barisan mekanikal. Juga belum tentu melupakan segmen itu sama sekali. Tapi sampai ada kejelasan, banyak pihak dan pengamat industri yang mempertanyakan kebijakan tersebut. Karena secara tidak langsung, itu memarginalkan segmen pasar yang begitu besar.
Selaris apa pun Dura-Ace dan Ultegra, pasar terbesar tetap di barisan piramida lebih rendah. Apalagi, sebelumnya, SRAM sudah lebih dulu menjadikan grupset performance mereka lebih "tinggi."
Pilihan grupset performance yang terjangkau semakin sulit.
Harga sepeda, yang sudah melonjak tinggi gara-gara pandemi (demand melonjak sesaat plus kesulitan masalah supply chain secara global), menjadi semakin sulit kembali seperti sebelum pandemi.
Sebagai orang yang sudah jatuh cinta dengan olahraga sepeda selama lebih dari satu dekade (banyak yang lebih lama lagi), saya termasuk yang agak mengelus dada melihat perkembangan ini.
Olahraga bersepeda ini seharusnya inklusif, mempertemukan banyak kalangan dalam satu hobi. Belakangan seolah malah menjadi ajang adu eksklusif.
Sepuluh tahun lalu, ketika memulai hobi ini, komunitas besar yang saya ikuti benar-benar tidak kenal latar belakang. Direktur perusahaan, pejabat publik, berbagai profesi, gowes bareng dengan tukang tambal ban. Ada jurang antara harga grupset Dura-Ace dan 105, tapi bukan jurang yang memisahkan begitu jauh. Yang di-respect di komunitas adalah yang aktif, yang konsisten, yang --mungkin-- kuat. Bukan yang sepedanya paling mahal.
Sekarang mungkin masih tersisa demam sepeda dari era pandemi. Apakah masih akan sama setahun, dua tahun, atau tiga tahun lagi? Penghobi angkatan saya sepuluh tahun lalu saja tidak semuanya aktif sekarang.
Industri sepeda benar-benar butuh "penyegaran." Terlalu banyak pesepeda, sangat terlalu sedikit produsen grupset. Kerumitan paten dan lain-lain menjadi kendala, namun belakangan mulai muncul celah-celahnya. FSA terus berusaha membuat grupset elektronik yang bisa diandalkan, ikut bersaing di piramida tengah-atas. Di bawahnya, sejumlah produsen Tiongkok mulai menancapkan pilar-pilar. Seperti Sensah dan L-TWOO. Ironisnya, keduanya dibuat oleh mantan-mantan insinyur SRAM di Tiongkok...
PENASARAN L-TWOO 12-SPEED
Dari merek Tiongkok yang beredar, Sensah --kata Johnny Ray "Sentuhan Sayang"-- mungkin sekarang paling dikenal. Saya sudah mencoba berbagai variannya. Yang Empire Pro karbon 12-speed dengan OSPW, yang Empire Pro karbon 12-speed "standar," dan yang sekarang lumayan sering saya pakai adalah Empire 11-speed full alloy.
Sudah saya jajal dalam setelan rim brake, juga dalam setelan disc brake memakai berbagai kaliper hybrid hydraulic. Mulai yang termurah dari ZRace hingga yang banyak mendapat rekomendasi: JuinTech F1.
Seperti pernah saya tulis, dan bahas di podcast Mainsepeda, Sensah ini rasanya seperti grupset SRAM mekanikal lama. Polesan akhirnya mungkin tidak sematang SRAM, tapi feeling-feeling-nya mirip. Sistem double tap SRAM dulu merupakan favorit saya. Hanya kalau di Sensah digerakkan hanya dengan satu lever besar (lever rem). Kalau SRAM dulu pakai tuas kecil di belakang lever rem.
Kelemahannya pun sama dengan SRAM lama dulu, yaitu front derailleur-nya yang harus benar-benar pas setelannya. Walau positifnya, FD itu bisa disetel trim-nya sehingga kita bisa pakai kombinasi gir "haram" (besar ketemu besar, kecil ketemu kecil).
Tapi overall, saya termasuk bisa menikmati Sensah. Lagipula, grupset kan bukan mesin sepeda. Mesinnya badan kita, sasisnya frame sepeda. Grupset itu girboks.
Belakangan, saya penasaran dengan L-TWOO. Apalagi setelah ada tipe RX 12-speed. Bentuk shifter mirip Campagnolo (Campy). Menaikkan gir atau chainring pakai tuas kecil di belakang lever, menurunkan dengan menekan tombol di sisi dalam shifter.
Yang saya "klik" (baca: beli) juga tipe karbon. Levernya karbon, terlihat mewah andai kita tidak tahu L-TWOO itu merek budget. Pulley pada rear derailleur (RD) juga dari karbon.
Soal harga 11-12 dengan Sensah. Dan kita harus selalu sadar: Sensah dan L-TWOO itu hanya membuat shifter, FD, dan RD. Pilihan crank, rantai, rem, dan sproket adalah terserah kita. Mau beli paket mereka kolaborasi dengan merek lain seperti ZRace atau Senicx, atau mau pakai yang lain.
Jadi, kalau me-review Sensah dan L-TWOO, yang dibahas fokus tiga komponen utama itu. Mau disetel jadi rim brake atau disc brake adalah opsi selanjutnya. Kebetulan L-TWOO RX ini saya pasangkan ke Wdnsdy Aluminati Disc. Memakai crank, rantai, dan sproket dari ZRace, plus kaliper rem full mekanikal TRP Sphyre.
Bicara soal bobot, kalau hanya menghitung tiga komponen utama, maka L-TWOO ini tidak jauh beda dengan Sensah yang karbon. Dua-duanya lebih ringan dari Shimano 105. Lebih ringan dan harga lebih terjangkau. Tinggal kombinasi crank, sproket, rem dan rantai untuk menentukan bobot keseluruhan.
RIDING EXPERIENCE L-TWOO
Berdasarkan pemakaian awal, langsung terasa plus-minus L-TWOO dibandingkan dengan Sensah. Secara klik-klik L-TWOO terasa lebih tegas, karena memang tuas/tombol terpisah punya tugas terpisah. Bagi pemula, ini pasti terasa lebih mudah.
Namun, ada kelemahan sangat fundamental. Dan ini bisa membuat L-TWOO sangat tidak menarik bagi pembalap serius, khususnya sprinter. Lokasi tombol di sisi dalam shifter "menghadap" ke depan. Kalau posisi tangan kita di atas hood, ini sangat memudahkan pemakaian. Tapi kalau posisi tangan sedang di drop (lekukan bawah), maka ibu jari kita sama sekali tidak bisa menjangkaunya.
Sebagai pembanding, tombol Campagnolo lokasinya lebih ke bawah, dengan tombol ke arah bawah. Jadi ketika tangan di drop, ibu jari dengan mudah menggapainya dan menekannya saat menurunkan gir sambil sprint.
Saya paham, target pasar L-TWOO belum para pembalap pro. Dan 99 persen kita hidup hampir selalu memegang hood. Sangat, sangat, jarang memegang drop.
Dalam sepekan pertama, saya sudah memakai L-TWOO untuk dua jenis ride. Pertama menanjak ke segmen bernama "Kesiman Climb" di Pasuruan. Sebuah segmen sekitar 12 km yang naik turun, memaksa kita selalu memindah gir dan menggunakan banyak gir. Juga memiliki bagian turunan cepat disusul tanjakan 20 persen, yang memaksa kita dengan cepat memindah sejumlah gir dalam kondisi "tertekan."
Aman, nyaman. No issue. Sempat khawatir ketika rantai terus mengendur saat freewheeling. Setelah dicek, ternyata bukan masalah grupset. Ternyata freehub pada roda belakang saya yang error.
Kemudian, saya pakai bersama teman-teman gowes endurance, 250 km Surabaya-Kediri PP. Karena relatif flat, rutenya tergolong mudah. Tapi sebenarnya memberi ujian lain. Kondisi jalan di Jawa Timur sekarang ini cukup memalukan. Kasar, jelek, dan meminjam istilah teman bule saya: Bumpy.
Sepeda terus tergoncang berjam-jam (juga pengendaranya). Beberapa kali tangan saya selip, tidak sengaja menekan tombol menurunkan gir. Ketika akhirnya gowes berakhir, sepeda no problem. Grupset sama sekali no problem. Malah saya memutuskan tidak akan membongkar sepeda ini. Grupset itu akan saya tancapkan permanen di situ. Jadi saya ada dua Wdnsdy Aluminati yang bisa saya pakai bergantian. Satu pakai Sensah, satu pakai L-TWOO.
IN CONCLUSION?
Harus selalu ditegaskan, grupset bukanlah mesin. Yang jadi mesin utama sepeda adalah badan manusia. Berbagai jenis grupset memang ikut menentukan bagaimana pengalaman kita dalam bersepeda, tapi bukan menjadi motornya.
Mungkin karena dari generasi lebih lama, saya bisa menikmati banyak macam grupset. Termasuk dulu menekuni SRAM mekanikal 10-speed ketika masih rewel setelannya.
Yang paling saya khawatirkan sekarang adalah bagaimana harga grupset menjadi pemicu membesarnya jurang antara sesama pesepeda. Dari dulu banyak yang bertanya, kenapa tidak ada pemain baru yang bisa memecahkan dominasi Shimano, SRAM, dan Campagnolo. Mavic pernah gagal, Microshift juga tak kunjung jadi pemain besar.
Semakin banyak produsen, semakin terjadi persaingan, semakin baik hasilnya untuk konsumen (kita). Masa jutaan orang gowes sedunia hanya pakai tiga merek grupset? Pada suatu titik, ini pasti akan mencapai momen perubahannya.
Jujur, saya dulu termasuk yang meremehkan grupset Tiongkok ini. Belakangan, saya bisa memahami manfaatnya. Dan itu bukan sekadar untuk memberi opsi produk lebih terjangkau. Secara garis besar, secara holistik, Sensah dan L-TWOO bisa menjadi motor yang kembali membawa olahraga sepeda sebagai olahraga yang kembali inklusif.
Apalagi kabarnya, mereka juga mulai mengembangkan grupset yang lebih mutakhir lagi. Bisa elektronik, bisa full hydraulic disc brake. (azrul ananda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 103