Sebagai penghobi sepeda yang belakangan kecanduan gravel, akhir pekan lalu ada event yang membuat saya penasaran. Untuk kali pertama dalam sejarah, UCI (federasi balap sepeda dunia) menyelenggarakan kejuaraan dunia gravel. Menunjukkan betapa populernya gravel, sehingga federasinya harus ikut-ikutan!
Mengingat UCI Gravel World Championships ini baru kali pertama diselenggarakan, mungkin wajar bila rute yang dipilih belum benar-benar berat. Rute di Veneto, Italia, tergolong mixed terrain. Ada aspal, rumput, jalan kerikil, dan varian-varian di antaranya. Tapi tidak ada bagian yang benar-benar technical seperti di ajang-ajang gravel tradisional. Rute juga relatif flat, tidak ada tanjakan berarti.
Para pembalap pun belum dipaksa benar-benar menggunakan sepeda gravel. Itu bisa dilihat dari hasil akhirnya. Podiumnya campur-campur antara sepeda "gravel beneran" atau road bike yang dipaksakan pakai ban lebih lebar.
Karena rutenya memang belum menuntut ban ekstra lebar. Cukup menggunakan ban 32-33 mm. Sementara ajang-ajang gravel tradisional, khususnya di negara pionirnya di Amerika, menuntut ban 40 mm atau lebih lebar lagi.
Di kategori perempuan, Pauline Ferrand-Prevot dari Prancis tampil sebagai juara. Dia menggunakan sepeda aero gravel terbaru BMC Kaius. Ini merupakan tren terbaru arena ini. Sepeda yang bisa dipasangi ban hingga hampir 45 mm, tapi dengan kokpit integrated dan fitur-fitur aero. Setelan grupset Ferrand-Prevot pun gravel banget: Memakai sistem 1x (single chainring) dari SRAM.
Di belakangnya, dua finisher podium pakai sepeda berbeda dari produsen sama. Sina Frei finis kedua memakai sepeda road endurance, Specialized Roubaix. Juara ketiga, Chiara Teochi, memakai sepeda gravel Specialized Diverge.
Sementara itu, di kategori Men Elite, sepeda road bike mendominasi. Gianni Vermeersch (Belgia) meraih jawara menunggangi Canyon CFR, sepeda aero allrounder yang dijejali ban 33 mm depan, 35 mm belakang. Grupsetnya pun Shimano Dura-Ace Di2 12-speed, dengan crankset depan 52-36. Praktis sama dengan balapan WorldTour normal, kecuali ban yang lebih lebar!
Setelan serupa juga digunakan superstar Mathieu Van Der Poel. Sementara Daniel Oss finis kedua menggunakan Specialized Roubaix.
Menonton kejuaraan dunia ini, rasanya juga masih seperti menonton balapan road WorldTour lain. Ada yang mencoba breakaway, ada peloton yang mencoba mengejar atau jaga jarak (tergantung strategi).
Lumayan seru, karena balapan road kadang-kadang membosankan kalau tidak ada bagian-bagian yang membuat seru (tanjakan tajam, panjang). Rasanya seperti menonton balapan-balapan cobbled classics, seperti Paris-Roubaix dan Tour of Flanders. Tapi rasanya masih kalah "kejam" dengan dua lomba Monument tersebut.
Jarak totalnya juga terasa kurang "kejam." Untuk Women Elite hanya 140 km, Men Elite hanya 190 km. Sementara cobbled classics dengan mudah di kisaran 250 km, dan balapan-balapan gravel tradisional juga sekitar segitu atau lebih.
Walau masih kurang "garang," terkesan masih gravel "malu-malu," bagaimanapun UCI Gravel World Championships ini adalah tambahan baru yang menyegarkan.
Setelah ini, saya yakin rutenya akan dibuat lebih berani lagi. Lebih kasar, lebih technical, lebih menuntut pemakaian sepeda dan setelan gravel murni.
Yang jadi pertanyaan lantas satu: Lima tahun lagi, jangan-jangan kejuaraan dunia gravel ini akan jadi lebih populer daripada kejuaraan dunia road "biasa." Mengukuhkan gravel sebagai kategori terpopuler di dunia.
Seperti yang sudah terjadi di Amerika sekarang. Balapan-balapan dan event road satu per satu bangkrut (dipercepat pandemi), sementara balapan-balapan dan event gravel terus bermunculan dan tumbuh pesat... (azrul ananda)
Podcast Mainsepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 110
Foto: Sprint Cycling Agency, Canyon, BMC