Pernah punya baju atau celana yang kebesaran atau kekecilan? Tapi dipaksakan untuk tetap dipakai. Apa yang terjadi? Pasti tidak nyaman. Itu sama dengan sepeda.
“Sepeda yang harus ngikutin kita, bukan kita yang ngikutin sepeda!” tegas Marika Nurmagitta. Cewek cantik ini pernah merasakan masalah dengan ukuran sepeda. Kebesaran. Pakai banget, lagi!
Waktu itu, Marika baru pertama kali beli sepeda dan tidak ada yang mengajarinya. “Saya galau, setiap kali latihan renang untuk olahraga polo air, saya harus bawa mobil dari rumah. Padahal jaraknya tidak sampai sepuluh kilometer. Bisa jalan kaki atau jogging, tapi pulangnya jadi malas. Jadi kupikir sepeda adalah solusi paling bagus,” tuturnya.
Marika dengan sepeda kesayangannya, Cervelo S3 Disc Brake.
Dengan tinggi badan 159 cm, Marika meminang sepeda pertamanya dengan ukuran 50 (size S). “Kaget waktu sepeda datang. Kok gede banget. Akhirnya dipaksakan dengan seatpost diturunkan habis dan stem pendek. Jadinya aneh gitu. Ya sudahlah, besoknya dicoba. Hasilnya? Badanku sakit semua!” keluh Marika.
Masih menghibur diri, ah, paling gara-gara sepedaan pertama kali jadi badan masih menyesuaikan. Tapi karena Marika menyukai sepedaan akhirnya diteruskan saja. Abaikan rasa sakit.
Time goes by, Marika mampir ke toko sepeda untuk beli jersey. Tapi pembicaraannya malah ke urusan pengalaman bersepeda. “Aku ceritakan bahwa saya sakit di bagian ini, bagian itu ketika bersepeda. Teman-teman di toko sepeda itu semua mengatakan bahwa ukuran sepeda saya kegedean dan disarankan ukur inseam. Jadi makin yakin bahwa ini pasti salah size,” tuturnya.
Agar nyaman, bike fitting itu sama pentingnya seperti memilih baju yang pas di tubuh.
Langsung ganti sepeda. “Sepeda keduaku ini memang untuk wanita dengan ukuran 48. Jadi cocok dengan tinggi badan dan inseam-ku,” ungkap Marika. Tentu, setelah ganti sepeda, jadi makin nyaman. Rasa sakit di badan sudah berkurang jauh.
Marika makin jatuh cinta dengan olahraga ini. Apalagi dengan bersepeda, bisa bertemu teman baru, mengunjungi tempat-tempat indah dan jadi lebih sehat. “Jadi kurus itu yang aku suka,” celetuknya sambil tertawa.
Bersepeda bisa membuat Marika bertemu teman baru, Ferina Viona Fransisca (tengah) dan Corry Cortine (kanan) untuk bercanda.
Setelah dua tahun bersepeda, ada tawaran untuk melakukan bike fitting. “Awalnya aku pikir, gile mahal banget, ukur-ukur gitu saja sampai jutaan,” bilang Marika. Lalu, cewek kelahiran 14 Juni 1996 ini ganti sepeda ketiga dan kembali disarankan bike fitting dengan iming-imingi performa akan meningkat.
Marikapun mencobanya. Well, setelah difitting, semua setingan Marika salah! Sadel kurang tinggi dan maju, bahkan setingan cleat sepatu juga salah, stem spacer juga perlu dikurangi.
Dan hasilnya? “Saya tidak menyangka sama sekali bahwa hasilnya se-signifikan ini. Heart rate saya turun 10-15 bpm dengan power, cadence dan tempat yang sama. Rasa sakit yang biasanya saya rasakan langsung hilang. Besoknya saya coba long ride tiga jam. Dan saya merasa nyaman sekali tanpa ada rasa sakit! Selain itu, rasa capeknya juga berkurang!” ceritanya sumringah.
Pantang menyerah dan kontrol emosi pada saat menanjak membuat mental Marika makin kuat saat menghadapi problematika hidup.
Tidak ada lagi masalah sakit saat bersepeda. Membuat Marika semakin mencintai olahraga bersepeda. Buatnya, bersepeda juga bisa mengontrol emosi warga Alam Sutera ini. “Saya lebih gigih dalam berbagai hal setelah bersepeda. Karena emosiku sering dilatih ketika menanjak. Tahu sendiri, kan, ketika menanjak pasti terjadi perang batin. Antara mau menyerah dengan loading mobil atau keep going dan sabar sampai tuntas. Dan saya memilih yang kedua,” bilang pengguna Cervelo S3 disc brake.
Mahasiswa jurusan teknik industri ini mengaku punya mantra mujarab yang membuatnya terus bersepeda apapun rintangannya. “After the rain, the sun will reappear. There is life. After the pain, the joy still be here.”
Marika bersama kawan saat sampai di puncak Col D'Izoard di pegunungan French Alps.
Mantra ini bekerja sangat baik membuat Marika sukses melewati berbagai tanjakan. Mulai dari KM0 Sentul, Puncak atau ke Bandung. Juga ketika Marika menjalani Everesting. Yakni gowes menanjak hingga mencapai 8800 meter dalam 24 jam.
“Saya mulai jam 1.30 pagi dan berakhir jam 9 malam. Berulang-ulang saya menanjak naik turun dari Papof jalan raya Puncak ke Warung Mang Ade sejauh 5 km dengan elevasi 50 meter. “Saya tidak mau menyerah, harus tuntas!” tawanya mengenang kegilaan saat itu.
Di luar negeri-pun, mantra ini menghipnotis Marika. Saat menanjak di French Alps seperti Col D’Izoard dan Col Agnel, Marika “didoping” juga dengan pemandangan yang spektakuler khas pegunungan Eropa. “Indahnya bikin speechless,” kenang mahasiswa Trisakti ini.
Marika saat finis di Tangkuban Perahu dan kagum dengan keindahannya.
Alhasil, ketika ada permasalahan dalam hidup, Marika langsung flashback ke perjuangannya menaklukkan tanjakan. “Harus bisa kontrol emosi, harus bisa sabar. Harus yakin bahwa segala problem akan selesai dan kita akan menikmati good ending. Sama seperti selesai sengsara menanjak pasti merasakan kenikmatan saat turunan,” tutup Marika berfilosofi. (mainsepeda)
Bersepeda membuat Marika sangat bahagia dan gembira.
Foto : dok pribadi