Papan Itu Bertuliskan: Awas, Ada Hantu di Depan

| Penulis : 

Pergi ke Colorado, Amerika Serikat, tidak komplet kalau tidak bersepeda. Rute dan tantangannya termasuk yang paling seru di dunia. Apalagi lawan utamanya langka: Ketinggian (altitude).

Sudah bukan rahasia, para atlet endurance paling suka mencari ketinggian. Termasuk balap sepeda. Para bintang top dunia selalu mencari tempat latihan di ketinggian menjelang bertanding di even terbesar, seperti Tour de France.

Udara tipis di ketinggian, khususnya jauh di atas 2.000 meter di atas permukaan laut, membantu “memancing” bertambahnya sel darah merah dan meningkatkan performa.

Kalau di Amerika, tempat yang paling populer adalah Colorado.

Negara bagian di tengah-tengah Amerika itu memang punya tradisi olahraga hebat. Selain jadi tujuan ski, juga menjadi salah satu sentra bersepeda. Banyak atlet top Amerika lahir atau tinggal di sana.

Ski gondola di Aspen.

Pertengahan Agustus ini, saya dan dua teman, John Boemihardjo dan Bagus Ramadhani, mampir ke Colorado. Tujuan utama menyaksikan Colorado Classic 2018, balapan empat etape, 16-19 Agustus. Kebetulan, tim profesional perempuan Point S-Nokian berlaga di situ, menggunakan sepeda Wdnsdy dari Indonesia.

Sambil menyelam minum air, sambil ke Colorado kami pun bersepeda. Apalagi di sana ada beberapa teman siap membantu. Dan Norman, seorang sahabat, menyusul bergabung dari Portland, Oregon. Jonathan Hershberger alias Hershy, menyiapkan rute dan kebutuhan selama di kawasan Aspen, Colorado.

Ya, kami memilih mendarat di Aspen. Sebuah kota kondang, tempat banyak orang kaya Amerika membeli rumah untuk berlibur. Bandaranya kecil, dan 75 persen penerbangannya adalah pesawat pribadi. Ya, pesawat-pesawat itu bertebaran di sekitar bandara…

Bagus Ramadhani, John Boemihardjo dan Azrul Ananda saat tiba di bandar udara Aspen yang dipenuhi jet pribadi. 

Kenapa Aspen? Karena ini kota yang seru dikunjungi, punya sejarah cycling besar. Bahkan, Lance Armstrong sekarang tinggal di Aspen. Banyak rute asyik di sini, dan perjalanan kami menuju Colorado Classic dimulai di sini.

Plus, pada 2013 lalu saya dan beberapa rekan juga pernah ke sini. Tapi waktu itu masih belum jago bersepeda, dan benar-benar tersiksa dengan mabuk ketinggian dan rute-rutenya.

Bagi saya pribadi, datang ke Aspen juga bertujuan untuk “balas dendam.”

***

Di Aspen, Hershy menempatkan kami di sebuah penginapan seru, bernama “The Molly Gibson.” Gabungan beberapa rumah yang dijadikan hotel. Lokasinya di tengah kota, gampang ke mana-mana.

Penginapan bernama “The Molly Gibson” gabungan beberapa rumah yang dijadikan hotel berlokasi di tengah kota Aspen sehingga mudah ke mana-mana.

Kami mendarat di Aspen tengah hari, Senin, 13 Agustus. Tidak ada rencana khusus. Berdasarkan pengalaman, hari pertama sebaiknya dipakai untuk istirahat, khususnya tidur, menyesuaikan diri dengan ketinggian.

Maklum, Aspen berada di ketinggian 2.400 meter. Kali terakhir ke sana, pada hari pertama rasanya seperti mau pingsan. Baru jalan naik tangga sedikit sudah butuh obat sakit kepala dan tidur pulas.

Hari itu, walau terasa ada yang “gak pas,” kami berupaya beraktivitas senormal mungkin. Makan siang, lalu santai-santai di hotel.

Merasa badan nyaman, John dan Dan Norman gowes ringan ke sekitar Aspen, ke kota tetangga Snowmass. Saya dan Bagus memilih rest maksimal. Malamnya pun kami makan pizza, lalu santai lagi.

Asal tahu saja, Aspen ini kota yang “serem.” Maksudnya. Penduduk hanya 6.000-an orang, tapi pusat kotanya terasa “berduit.” Butik-butik kondang bertebaran di sini, begitu pula restoran-restoran mahal.

Pada hari kedua (Selasa, 14 Agustus), kami mulai sepedaan normal. Rute hari itu ke dua lokasi kondang di sekitar Aspen. Pertama ke Maroon Bells, sebuah kawasan wisata di dekat Aspen. Kami berhenti di danaunya, berfoto dan menikmati pemandangan puncak Maroon Bells, puncak tertinggi ke-17 di Colorado, ke-49 di Amerika.

John Boemihardjo dan Azrul Ananda di Maroon Bells, Aspen.

Di Amerika pada umumnya tidak ada tanjakan curam. Kalau pun tinggi, jalannya dibuat panjang. Sehingga sangat jarang menyentuh kemiringan lebih dari 7 persen.

Meski demikian, udara tipis Colorado kami rasakan. Tenaga bisa turun hingga 25 persen, dan terus berkurang semakin tinggi kami mengayuh.

Hawa yang sejuk membuat kami sering lupa minum air. Padahal minum air sangatlah penting untuk mengatasi ketinggian dan melawan dehidrasi karena udara kering.

Dari situ, kami turun lagi, berhenti mengisi air dan nyemil di sebuah rumah sakit. Lalu berangkat lagi ke arah Aschcroft.

Ashcroft ini terkenal karena hantu. Bukan hantu yang menyeramkan, melainkan karena kota hantu. Dulu ini kota penambang, tapi kemudian ditinggalkan karena mereka pergi ke lokasi lain.

Bagus Ramadhani bersepeda di kota Aschcroft, alias kota hantu.

Cukup bayar USD 5, kita bisa memarkir sepeda lalu jalan memasuki kota hantu itu. Ada bekas bar dan kantor pos di sana.

Salah satu bar kosong yang sudah tidak ada pengunjungnya di kota Aschcroft, Aspen. 

Lima tahun lalu, saya bersepeda sendirian di sini, ditinggal yang cepat dan meninggalkan yang lambat. Tiba-tiba di samping jalan ada papan bertuliskan “Beware of Ghost.” Jujur waktu itu saya ketakutan, apalagi cuaca gelap mendung dan gerimis!

Sekarang, ada papan bertuliskan: “Slow, Ghosts Ahead.”

Tapi saya sudah tidak lagi takut…

Di ujung rute ke Ashcroft itu, ada sebuah restoran kondang. Namanya Pine Creek Cookhouse. Kami pun makan siang di sana.

Azrul Ananda bersepeda bersama Hershy di Aschcroft, Aspen.

Hari itu, kami total hanya bersepeda 78 km. Tapi total menanjaknya lebih dari 1.200 meter. Hari itu kami tidak memaksa, karena masih beradaptasi. Dan Rabu besoknya (15 Agustus) adalah hari yang “ceria.” Rute berat dari Aspen menuju kota Vail, tempat diselenggarakannya dua etape pembuka Colorado Classic.

Bersepeda di Colorado sangat menantang. Udara tipis di ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut, membantu “memancing” bertambahnya sel darah merah dan meningkatkan performa.

Rute itu berat karena dari Aspen kami langsung menanjak ke arah Independence Pass, yang ketinggiannya di atas 3.600 meter! Lalu turun naik terus sampai Vail, terus berada di sekitar ketinggian 3.000 meter.

Lima tahun lalu, saya KO dan gagal finis. Tahun ini harus bisa! (bersambung)

 

Populer

Begini Alur Pengambilan Starter Kit Kediri Dholo KOM Challenge 2023!
Bagaimana Memilih Sepeda dan Ukurannya?
Journey to TGX 2024: Hanif Finisher Pertama di Pasar Pon Trenggalek
Mokumono, Frame Dari Plat Monokok Terinspirasi Mobil
Juara Bertahan Tour de France Putuskan Absen di Giro d’Italia 2020
Rohan Dennis Juara Alpe du Zwift, Chris Froome Keenam
Team Ineos nge-Zwift Lagi Weekend ini
Team Ineos Bikin eRace Kedua Sabtu Besok, Bernal dan Carapaz Absen
Juara Tour Tewit Well, Rohan Dennis Jadi Raja eRace di Team Ineos
Sepp Kuss Digadang Jadi Penerus Primoz Roglic