Ada perkembangan khusus di dunia sepeda (khususnya road) belakangan ini: Booming-nya kategori gravel bike alias all-road alias sepeda road yang bisa dipakai off-road.

Baru saja saya balik dari Amerika, dan di sana selalu diajak rekan gowes melewati berbagai jenis medan. Naik sepeda road, tapi lewat gravel (kerikil) menanjak, gravel turunan, jalanan rumput, dan lain-lain.

Pakai ban normal dengan ukuran 25 mm tidaklah masalah, tapi tentu akan jauh lebih nyaman (dan aman) bila pakai ban lebih lebar. Khusus di gravel kelas berat, dan di turunan-turunan gunung yang panjang, disc brake juga akan menjadi lebih aman.

Azrul Ananda dengan Wdnsdy AJ62 melewati gravel saat bersepeda di Amerika Serikat.

Masuk ke toko-toko sepeda, kelihatan betapa dominannya sepeda gravel ini di Amerika. Mengunjungi markas pembuat sepeda pun, banyak yang bilang kalau jenis gravel sedang jadi best seller mereka.

Saya pun berpikir, apakah tren yang sama relevan di Indonesia? Kalau iya mengapa, kalau tidak mengapa?

Begini kira-kira pemikiran saya. Boleh setuju, boleh tidak, tapi jangan sampai Anda membeli atau menyukai sesuatu yang ternyata tidak relevan.

SOAL GRAVEL BIKE

Pertama soal gravel bike secara utuh. Bisa memakai ban lebih lebar, sering hingga 45 mm. Posisi duduk dibuat lebih tegak dan nyaman. Wow, ini di atas kertas cocok untuk Indonesia.

Jalanan di Indonesia ini penuh dengan kejutan. Atau, saking rusaknya, kalau ada gelombang atau lubang sudah tidak lagi mengejutkan.

Sepeda dengan ban lebar, tapi lebih cepat dari MTB, bisa dianggap sebagai solusi. Khususnya bagi mereka yang tidak peduli dengan gengsi, tidak peduli dengan ringan atau tidak, tidak rewel dengan aksesori.

Trek Checkpoint gravel bike.

Nah, masalahnya, kayaknya banyak “cyclist” Indonesia ini masuk golongan yang peduli gengsi, peduli ringan, dan rewel dengan aksesori. Bagi mereka, sepeda gravel bisa dianggap terlalu berat. Bikin lambat saat menanjak. Dan lain sebagainya.

Sepeda gravel punya image tangguh, tidak takut tantangan, siap dengan segala medan, siap gowes jauh-jauhan, siap berkotor-kotor ria. Berapa banyak di Indonesia yang seperti itu (colek cyclist yang lebih suka nongkrong)?

Di Amerika khususnya, sepeda gravel memang jadi kebutuhan. Ada risiko bersepeda di jalanan yang harus berbagi dengan mobil. Dan di Negeri Paman Sam ada ribuan kilometer jalan yang bebas dari mobil, tapi tidak di-hot mix. Berupa jalanan gravel itu tadi. Makanya muncul tren ini, dan tren ini memang meledak dari Amerika. Di Eropa, tidak seheboh itu.

Di Indonesia, pada prinsipnya semua jalanan adalah menantang (wkwkwkwk). Tapi banyak cyclist-nya suka menghindari jalan yang menantang, suka yang gampang-gampang.

Maaf, bukan maksud menyindir, hanya menyampaikan kenyataan.

SOAL DISC BRAKE

Lalu bagaimana dengan sepeda road normal, tapi memakai disc brake? Dalam dua tahun terakhir, ini perdebatan paling seru di arena balap profesional. Resistensi masih kuat, tapi regulasi sudah mengizinkan. Banyak pembalap sudah pakai dan menang, banyak pula yang belum memakai dan menang.

Polanya sudah kelihatan. Tim dan pembalap yang memakai sepeda merek Amerika banyak didorong pakai disc brake. Tim dan pembalap yang memakai sepeda merek Eropa tampaknya hepi-hepi saja pakai rim brake.

Orbea dengan fitur rem disc brake.

Kalau pun disc brake adalah masa depan, itu karena didorong oleh industrinya, bukan karena permintaan pasarnya. Sekali lagi, di Amerika, karena orang lebih banyak bersepeda menjauh dari jalan normal, disc brake lebih aman dan dibutuhkan. Mungkin ini ada kaitannya, mengapa merek Amerika yang paling getol memaksakan disc brake.

Di Indonesia, saya pernah ditanya soal disc brake ini oleh seorang teman, yang memang berkecimpung di dunia sepeda. Bergunakah disc brake untuk cyclist Indonesia?

Di atas kertas, memang lebih aman. Khususnya saat turunan panjang. Tapi waktu itu saya bilang ke teman tersebut: Emang banyak cyclist Indonesia yang mau turun naik sepeda?

Maksud saya waktu itu setengah menyindir. Sebab, terlalu banyak teman sepeda yang saya kenal lebih memilih turun (dan pulang) naik mobil setelah menanjak.

Jadi setelah menanjak, di atas makan, lalu sepeda dinaikkan mobil.

Kalau sudah begitu, buat apa pakai disc brake? Mubazir abis…

Ironisnya, mereka yang sok ngotot bilang disc brake lebih enak dan nyaman itu justru yang senang turun naik mobil dan tidak pernah memakai disc brake-nya secara utuh!

Ini bukan berarti saya anti-perkembangan. Kalau memang masa depan adalah disc brake, kita tidak bisa menghalangi. Seorang kenalan pemilik brand internasional bilang: Disc brake mungkin baru akan benar-benar diterima 2-3 tahun dari sekarang. Tapi itu pun bukan berarti rim brake bakal hilang.

Saya sendiri sudah punya dan terus menambah koleksi sepeda pakai disc brake. Walau saya sebenarnya tidak ada masalah sama sekali dengan rim brake, yang menurut saya masih paling praktis.

Saya tinggal di Surabaya, dan kebanyakan tanjakan yang saya lewati secara rutin panjangnya 7-15 km. Tidak cukup panjang untuk merasa lebih aman pakai disc brake. Jujur, yang paling seram untuk turunan adalah Bromo, yang turunan sampai puluhan km. Tapi itu pun saya masih oke-oke saja pakai rim brake.

Sekali lagi, lucu juga melihat orang ngotot nanjak pakai disc brake –yang notabene masih lebih berat daripada rim brake-- ke Bromo, tapi turunannya naik mobil!

KESIMPULANNYA…

Jadi, apakah gravel bike dan disc brake cocok untuk kita di Indonesia? Saya kembalikan pertanyaan ini ke hati masing-masing cyclist di Indonesia.

Apakah Anda membeli dan menggunakannya sesuai kebutuhan? Atau sekadar untuk gengsi-gengsian? Atau karena termakan omongan penjual?

Jangan sekadar bilang ini masa depan, kalau tidak paham kenapa tren itu terjadi di negara lain. Jangan sekadar bilang ini lebih aman, kalau ternyata dia sendiri tidak pernah merasakan manfaatnya di turunan panjang (atau bahkan tidak mau menanjak).

Cycling itu olahraga yang punya begitu banyak manfaat. Nikmati olahraga ini apa pun piranti yang dipakai. Toh yang paling penting bukan sepeda atau remnya. Yang paling penting adalah hati, kepala, serta kemampuan jantung dan kaki! (*)

Foto : dokumen, Trek dan Orbea 

 

Populer

Investor Kakap dari Tiongkok, Akankah Bawa XDS Astana Keluar dari Degradasi?
Kolom Sehat: Akhir Tahun 2024
Hujan Sepanjang Jalan, Puluhan Cyclist DNF
Journey to TGX 2024: Hanif Finisher Pertama di Pasar Pon Trenggalek
Kolom Sehat: Pilkada 2024
Campagnolo Kembali ke Balapan WorldTour 2025
Cyclist Favorit: Chef Nando Mengulik Kekayaan Kuliner Nusantara Melalui Bersepeda
Kontrak Mewah Goda Remco Evenepoel
Kolom Sehat: MTB
Kosong Sembilan CC, Pecinta Kecepatan Dalkot Jakarta Tiap Selasa