Azrul Ananda bersama Peter Sagan di Tour Down Under 2017 (foto kiri). Sagan ketika menjalani balapan road race terakhirnya di Tour de Vendee 2023 pada Minggu lalu (1/10).
Saya sekarang tahu rasanya jadi penggemar balap sepeda lama (baca: tua). Karena tahun ini saya resmi mengikuti karir komplet seorang bintang dunia, dari awal sampai pensiun. Pembalap itu adalah Peter Sagan, yang di penghujung 2023 ini mengumumkan berhenti dari arena road cycling.
Saya mengikuti, menjadi penggemar, mengoleksi barangnya, selama sepuluh tahun lebih. Bahkan --bersama teman-teman-- menonton langsung aksinya pada momen-momen istimewa dalam karirnya. Yang paling berkesan: Tour de France 2012, Tour of California 2013, Kejuaraan Dunia di Richmond 2015. Plus beberapa lagi.
Seperti kebanyakan cyclist angkatan saya (mulai 2010-2011), perlu waktu untuk memahami dunia balap sepeda. Khususnya balap sepeda dunia.
Apa itu WorldTour, apa itu Grand Tour. Apa bedanya sprinter, climber, dengan rouleur. Dan lain sebagainya. Tim mana yang hebat, tim mana sedang naik daun. Pembalap mana hebat, pembalap mana sedang naik daun.
Waktu itu, belum ada yang suka nanjak. Sangat jarang yang mau nanjak. Jadi idolanya kebanyakan adalah sprinter. Dan saat itu rajanya adalah Mark Cavendish, khususnya di tim HTC-Highroad yang begitu dominan di arena sprint (kemudian kolaps, cerita agak mirip dengan Jumbo Visma sekarang).
Pada 2012, saya dan sejumlah teman bersepeda memutuskan untuk pergi ke Prancis. Menonton Tour de France sekaligus mencicipi rute-rutenya. Kemampuan gowes kami masih minim, tapi antusiasme kami untuk memahami balap sepeda sedang tinggi-tingginya.
Saat nonton start atau finis, dengan antusias kami berburu foto dan tanda-tangan. Walau mungkin tidak kenal siapa pembalapnya. Prajna Murdaya, sahabat gowes saya di awal "karir koleksi", punya cerita yang baru kami sadari lucunya belakangan.
Dia berburu tanda tangan pada tas mussette-nya. Mencari Cavendish tidak ketemu, dia asal minta tanda tangan siapa saja yang dia temui. Dia pun dapat tanda tangan seorang pembalap Team Sky. Saya tanya siapa itu. Dia bilang tidak tahu. Tidak ada yang kenal waktu itu. "Entahlah, katanya namanya Chris Froome..."
Wkwkwkwk...
Tour de France 2012 itu, kebetulan, juga menjadi momen nama Peter Sagan jadi bintang dunia. Secara mengejutkan dia meraih tiga kemenangan etape dan merebut green jersey pertamanya. Dengan gaya kemenangan yang unik di garis finis, yang kemudian jadi salah satu trade mark-nya.
Ada satu foto penuh kenangan, saat kami menonton etape time trial di area VIP. Peter Sagan sedang lewat, saya dan teman-teman bersorak di pinggir sambil membawa spanduk. Yang memotret adalah Satrio Wicaksono, waktu itu masih SMA, yang berlari menyeberang jalan untuk mengabadikannya. Satrio, putra salah satu mentor bersepeda saya Khoiri Soetomo, kemudian menjadi fotografer sepak bola yang sempat viral di Indonesia.
Sepulang dari Prancis itu, saya jadi fans Sagan. Saya sempat mengemail timnya, Liquigas-Cannondale. Sebagai balasan, tim itu mengirim sebuah jersey hijau yang ditandatangani Sagan, bertuliskan "To Azrul." Tim itu juga mengirimkan foto Sagan saat membubuhkan tanda tangan.
Pada 2013, dua kali saya melihat langsung aksi Sagan. Di bulan Mei, saya dan teman-teman gowes bareng lagi ke luar negeri. Kali ini ke Tour of California, yang waktu itu merupakan lomba terbesar di Amerika. Peter Sagan adalah raja California. Kami mendapat support dari Cannondale, karena waktu itu ramai-ramai membeli sepeda SuperSix Evo seperti yang dipakai Sagan.
Support-nya tidak tanggung-tanggung. Cannondale sempat menunjuk dua pembalapnya (yang tidak ikut balapan di California) untuk jadi guide. Salah satunya adalah Juraj Sagan. Kakak dari Peter Sagan.
Kami juga sempat diajak bertemu seluruh tim Cannondale, termasuk Peter Sagan. Ada foto yang bakal abadi terpajang. Cyclist Indonesia bersama Peter Sagan dan tim, dengan latar belakang jembatan Golden Gate di San Francisco. Sagan masih imut.
Tahun 2013 itu, di bulan Agustus, saya dan beberapa teman nonton lagi aksi Sagan di Amerika. Kali ini di USA Pro Cycling Challenge di Colorado. Tapi waktu itu saya, Prajna, Cipto S. Kurniawan "Wawan", serta Komandan Sun Hin Tjendra gowes bareng Team Sky dan Chris Froome...
Momen bersejarah lain Peter Sagan kami saksikan di Richmond, Virginia, tahun 2015. Waktu itu saya, John Boemihardjo (partner saya di Wdnsdy Bike), Ferry Martalatta, dan beberapa teman lain gowes ke sana sekaligus nonton Kejuaraan Dunia Road Race.
Saat itu, Peter Sagan untuk kali pertama jadi juara dunia. Prestasi yang kemudian dia ulangi lagi dua kali.
Cerita unik dari Richmond? Bukan bertemu Sagan. Walau kami sempat foto-foto bareng istrinya waktu itu, Katarina Smolkova. Tapi, cerita paling unik adalah saat kami mau gowes keliling kota, menengok sirkuit jalanannya. Kami tidak berharap bisa menjajal lintasan, karena memang ditutup dan dijaga sangat ketat di setiap sudut.
Ferry Martalatta foto bareng istri Sagan, Katarina Smolkova.
Kebetulan, waktu itu kami kompak pakai seragam "Indonesia" yang kami desain sendiri. Kami berlima berseragam merah putih, termasuk Jack Standa, teman Amerika kami yang sempat lama tinggal di Indonesia.
Rupanya, penjaga lintasan mengira kami adalah "Tim Indonesia." kami pun disuruh masuk lintasan. Tentu saja kami diam saja dan pura-pura jadi tim Indonesia! Mungkin Jack Standa dikira pelatih kami. Dengan asyiknya, kami mengelilingi lintasan itu beberapa kali. Termasuk menjajal tanjakan cobble Libby Hill.
Nah, lintasan itu kemudian diabadikan di dunia virtual Zwift. Saya berani bertaruh, hanya kami berlima "wakil Indonesia" yang pernah merasakan lintasan itu secara langsung! Lintasan yang menjadi saksi kali pertama Peter Sagan jadi juara dunia.
Sagan dalam karirnya memenangi begitu banyak lomba. Ketika pembalap favorit utama saya Fabian Cancellara pensiun, Sagan jadi yang paling saya ikuti di tahun-tahun selanjutnya.
Sayang, dunia tidak sempat melihat kemampuan Sagan sebagai climber. Waktu masih di Liquigas-Cannondale, saya sempat diceritakan kalau tim itu punya rencana khusus untuk sang bintang. Karena punya kemampuan allround, Sagan disebut bisa "dibentuk" menjadi apa saja ke depannya.
Menurut tim pada 2012, Sagan akan dibiarkan dulu merajalela sesukanya sampai umur 25. Setelah itu, dia --dan badannya-- akan dibentuk jadi climber untuk mengejar juara grand tour.
Jalan karirnya ternyata beda. Walau bukan murni sprinter, Sagan tetap di jalur itu meraih banyak kemenangan. Dia juga merajalela di arena Classic, arenanya para strong man, menjadi juara di one day race seperti Tour of Flanders dan Paris-Roubaix.
Seperti kebanyakan cyclist di level itu, di arena strong man, Sagan mulai meredup begitu menginjak usia 30. Dan terus terang, saya sudah tidak terlalu mengikuti lagi karirnya dalam beberapa tahun terakhir.
Terakhir "satu arena" dengan Sagan ya waktu Unbound Gravel 2022 lalu di Kansas. Saya ikut yang 200 mil, Sagan ikut yang 100 mil. Secara teknis, justru istri saya Ivo yang pernah "balapan langsung" dengan Sagan. Karena waktu itu Ivo juga ikut yang 100 mil dan semua start bareng.
Tidak terasa, sekarang sudah 2023. Sebelas tahun sejak saya kali pertama melihatnya, sepuluh tahun sejak saya kali pertama bertemu dengannya secara langsung. Di usia 33 tahun, Peter Sagan resmi mengakhiri karirnya sebagai professional road cyclist.
Ya, dia memang masih akan berlaga di beberapa arena MTB, atau mungkin gravel. Tapi, secara resmi dia sudah pensiun di arena utamanya.
Tidak terasa, saya benar-benar sudah jadi pesepeda senior. Sudah mengikuti karir seorang pembalap dunia dari awal sampai pensiun... (Azrul Ananda)