Ini bukan komunitas, bukan klub juga. Ini adalah gerakan. Ya, gerakan mempopulerkan atau melestarikan sepeda-sepeda jadul (jaman dulu). Gerakan ini di Bandung.
Biasa disebut Jumat Jadul atau Bandung Vintage Friday. Mereka tidak mau kalah dengan road bike karbon yang mendominasi, setiap Jumat pagi mereka show off sepeda jadul kerennya. Tentu bahan sepeda mereka bukan karbon tapi besi atau aluminium.
Dari kiri : Tara, Adam, Faisal, Dede Supriyatna, Firdy Achad, Ari, Reno dan Asep Gombong.
Meski begitu, sentuhan seninya sangat tinggi. Jadi lekuk keindahan pada jamannya itu tersirat hingga era milenial sekarang. Setiap Jumat pagi itu, sekitar 20-40 cyclist pengguna sepeda jadul berkumpul.
“Jumat Jadul ini menjadi jembatan bagi para mantan pembalap sepeda kita di masa lalu dengan komunitas sepeda masa kini yang memiliki animo tinggi untuk bersepeda sehat dengan sepeda antik,” buka Fitra Tara Mizar, salah satu pelopor Jumat Jadul sekaligus kolektor sepeda antik.
Mengapa di Bandung? “Sejak tahun 1958, Bandung adalah sentral dan kiblat sepeda balap Indonesia. Saat itu Tour de Java dilaksanakan dan 70 persen pesertanya adalah dari Jabar,” imbuh Tara, sapaan akrabnya.
Nah, karena masih banyak legenda sepeda balap Indonesia yang masih tinggal di Bandung, maka Tara dan kawan-kawan menginisiasi gerakan Jumat Jadul ini di pertengahan tahun 2000 silam.
Sebut saja, Munari, mantan pembalap tahun 70-80an yang juga keluarga besar pembalap legendaris Indonesia, Munaip Saleh, Munarto dan Munandar. Di era ini, ada juga Bambang Kunthadi. Lalu ada juga Nala Widya, mantan pembalap era 80-90an bersama Adjat Sudrajat dan Johny Harun.
Munari Saleh, legenda balap tahun '70an.
Mereka semua sangat antusias dengan gerakan Jumat Jadul karena mereka bisa bernostalgia dan bisa tetap eksis di era sepeda karbon saat ini.
Tidak ada batasan sepeda harus apa atau diapain untuk tampil di acara mingguan ini. Tetapi dari tahun ke tahun terus muncul kejutan sepeda jadul baru dengan cerita-cerita unik di masa kejayaannya.
Nala Widya dengan Pegoretti-nya saat turing di Malaysia.
“Banyak juga cyclist yang merestorasi total sepedanya agar layak tampil dan kuat buat digunakan race,” imbuh Nala Widya. Tapi ada juga cyclist yang tetap mempertahankan bentuk vintage-nya karena ingin mengenang masa lalu.
“Semakin buluk cat-nya dan semakin kusam krom-nya jadi semakin disuka karena memang ingin menunjukkan orisinilitasnya,” imbuh pria yang berprofesi sebagai pendeta di salah satu gereja di Bandung. Dan itu tidak diharamkan kumpul bersama tiap hari Jumat.
Setiap Jumat itu, mereka akan turing (atau kadang balapan) sejauh 13 km start dari segitiga Nyland jalan Cipaganti menuju Café Warung Ningnong di Lembang. “Cukup 50 menit dan menanjak setinggi 600 meter,” bilang Nala.
Setiap Jumat diadakan balap sepeda jadul sejauh 13 km start dari segitiga Nyland jalan Cipaganti menuju Café Warung Ningnong di Lembang.
Tak jarang, sepeda unik dan langka berlaga di race dadakan ini. Eddy Merck TSX tahun 1993 andalan Asep Gombong, Colnago Master Saronni milik Kong Elwih dan Corima Puma TT Vintage 1996 milik Tara beradu cepat mencapai puncak di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut itu.
Agar makin seru dan tidak bosan, sering diadakan acara di Jumat Jadul. “Kita bikin kontes kecil-kecilan antar teman. Kategori Best Vintage, Best Retro Bike, Best Total Restoration, Best Color, Best Historical Bike, dan lainnya,” bilang pendeta kolektor Gios Torino tahun 80-an, Raleigh Rapide tahun 70-an, Peugeot Ventoux Gold, Marlin Cielo dan lainnya.
Tara dengan sepeda dan apparel jadul, Colnago.
Menurut Nala, acara tahunan yang biasanya diadakan di pertengahan tahun dekat Tour de France ini bisa merangsang cyclist pecinta sepeda jadul untuk muncul lagi.
Gerakan Jumat Jadul yang sudah berjalan 18 tahun ini memberi dampak positif. “Banyak bengkel kecil rumahan dan bengkel part custom muncul,” bilang Nala. Secara langsung, mendorong kegiatan ekonomi.
Contohnya, Asep Gombong, juragan bengkel GOBike yang ada di Kiaracondong, Bandung menerima perbaikan frame besi vintage. “Saya juga bisa poles grupset jadul jadi kilap lagi,” imbuh Asep.
Kalo mau custom, ada Ajay, spesialis restorasi frameset tua dengan sistem cat. “fokus saya ke urusan cat dan decal sepeda jadul dibikin semirip mungkin,” tukas owner bengkel cat Poph Paint yang berada di kawasan Kiaracondong, Bandung.
Ternyata, tidak hanya sepeda jadul yang bermunculan, tapi juga apparel jadul. Tentu untuk mendukung tampilan cyclist vintage harus dengan jersey, helm juga sepatu detto.
Andy Styx sangat peduli dengan tampilan. Jersey retro L’eroica Edition kerap menemaninya kala bersepeda dengan Battaglin keluaran awal 90an yang berbahan pipa Columbus SL dengan grupset Campagonolo Record Delta.
Andy Styx yang sangat mencintai apparel serta sepeda jadul.
“Saya suka mengumpulkan memorabilia sepeda balap di bawah tahun ‘95an. Saat itu masa peralihan dari jersey bahan wool ke synthetic lycra yang digunakan saat ini. Jersey wool, banana helmet dan sepatu kulit jadi apparel buruan wajib,” tukas pengoleksi sepeda tahun ‘80an ini.
Soal apparel jadul, Tara punya cara jitu membuat celana sepedanya tampil kuno. “Saya punya celana BIB merek Rapha yang nyaman tapi warnanya hitam. Saya jemur berhari-hari hingga akhirnya berubah warna jadi coklat. Cocok banget buat tampilan jadul,” tuturnya sambil tertawa bangga.
Dampak positif Bandung Vintage Friday adalah makin menyehatkan warga Bandung. “Mereka sudah lama tidak bersepeda karena malu sepedanya jadul dan merasa tidak layak muncul lagi. Tapi dengan adanya Bandung Vintage Friday membuat mereka semangat bersepeda, nostalgia juga. Dan terpenting bersepeda membuat mereka sehat secara jasmani dan rohani,” tutup Munari Saleh, anggota dewan penasihat Bandung Vintage Friday yang mengendarai sepeda Lejeunne dan Legnano. Ingin bergabung? Langsung aja mampir ke Taman Nyland jam tujuh pagi di Bandung tiap Jumat. (mainsepeda)