Never ending retro vintage bicycle in my heart. Hope they are all could ride by myself before I’m getting too old to enjoyed the speed.

- Fitra Tara Mizar -

Bersepeda itu untuk apa? Pasti banyak jawaban. Untuk transportasi, untuk sehat, untuk sosialisasi, untuk refreshing atau untuk koleksi. Bahkan ada yang menjawab untuk meditasi!

Tapi tanyakan hal ini pada Fitra Tara Mizar. Jawabannya diplomatis dan mempunyai arti yang sangat dalam. “Kepuasan batin! Saya mengoleksi sepeda fokus pada sepeda yang mempunyai value tinggi karena sejarah racing dan estetikanya. Semua sepeda vintage saya bukan pajangan. Tapi bisa digunakan bahkan diajak balap,” buka pria ramah ini.

Eddy Merckx MXL 1993, Colnago Master Saronni dan Corima Puma 1997.

Tara, sapaan akrabnya, tidak tergiur dengan sepeda karbon yang berbasis performance. “Buat saya, sepeda itu teman hidup. Bukan teman yang dipakai, disiksa lalu bosan lantas dijual dengan harga pasaran yang murah. Itulah yang terjadi di sepeda karbon Pro Tour. Orientasinya hanya pada performa di sebuah balapan Pro Tour,” tukasnya.

Kepala Litbang ISSI Jabar ini berkesimpulan, cyclist yang mengumpulkan sepeda karbon adalah cyclist yang mencintai olahraga bersepeda. “Jadi saya memutuskan untuk fokus ke sepeda retro vintage karena itu adalah karakter pribadi saya. Saya mencintai sepedanya dahulu baru mencintai olahraga sepeda. Tapi itu adalah kegemaran pribadi tidak bisa disamakan setiap individu,” terang pria kelahiran 31 Agustus 1978.

Passoni XXti

Pria lulusan jurusan seni rupa ITB Bandung ini menegaskan bahwa dunia sepeda maupun olahraga sepeda itu sangat luas. “Dalam memiliki sepeda, harus punya karakter. Itu paling penting! Ada banyak sejarah, keunikan bentuk, estetika komponen, fungsi yang akhirnya jika dipadukan akan mencerminkan diri kita pribadi. Setiap manusia pasti mempunyai idealisme berbeda soal sepeda. Itulah yang harus dimunculkan untuk mewarnai dunia persepedaan kita,” bilang Tara panjang lebar.

Merlin Cielo.

Bermula dari karakter dan idealisme, pria lulusan ITB Bandung tahun 1996 ini berburu sepeda langka. Sangat langka bahkan! Sebut saja, Colnago Master 55th Anniversary Gold 24k (hanya 1 di Indonesia dan 98 lainnya di dunia), Merlin Cielo, dan Colnago C35 Gold tahun 1989.

Colnago Master 55th Anniversary Gold 24K.

“Kalangan retro cyclist dunia menyebutnya King and Queen untuk dua sepeda berbalut emas asli, Colnago 55th dan 35th . Dan saya berhasil menyandingkannya berdua di Bandung,” tutur Tara bangga.

Sedikit cerita unik saat Tara harus bersabar dan berjuang mendapatkan Colnago Master 55th Anniversary Gold 24K. Sepeda yang diproduksi tahun 2010 ini, purwarupanya telah muncul di Interbike 2009 dan dijual 99 unit saja. Tara langsung jatuh cinta. “Saat itu bisa pre-order hanya 25 unit. Sisanya untuk Eropa, Asia dan Amerika,” tuturnya.

Tara langsung menghubungi Rodalink sebagai dealer Colnago tapi tidak ada jawaban hingga pupuslah harapan. Akhirnya, tahun 2012 ada titik terang, seorang teman dari Belanda, kolektor Colnago, Andre Haak berminat melepas miliknya. Setelah dia mendapatkan gantinya, size 58.

“Saya langsung respon dan minta waktu seminggu untuk jangan upload ke forum retrobike.com atau Ebay. Sebut saja mau jual berapa saya bayar. Akhirnya setelah nego, saya harus menjual motor antik BMW R27 1965 untuk menambah dana menebus frameset idaman itu,” bilang pengurus Binpres Federasi Ice Skating Indonesia (FISI).

Tara memasang crank Topline berlapis emas 24k dengan grupset Campagnolo Super Record 11 speed gold shifter custom. Wheelset dipasang Lightweight Ventoux spoke coklat cocok dengan frameset. “Sadel vintage langka yakni Iscaselle gold Giro d’Italia 1990,” tunjuk Tara yang bangga dengan bobot 6,7 kg untuk Colnago Master 55th Anniversary Gold 24K ini.

Cerita berbeda saat berburu Colnago C35 Gold tahun 1989. “Saya harus menunggunya delapan tahun! Sempat menawar di sebuah forum retro di Inggris tahun 2009. Tidak ada respon. Hingga tahun 2017 ada yang mau melepasnya. Tidak ingin kehilangan, saya jual Passoni XXti full bike dengan crank THM gold 24K, parts AX Lightness, Lightweight Obermeyer wheelset ke teman di Bandung demi frameset tua idaman!” ceritanya. Akhirnya, ada dua Colnago C35 di Indonesia, satu dimiliki oleh Tara di Bandung dan satu lagi oleh Fery Joso, kolektor sepeda di Jakarta.

Meskipun dirinya bahagia karena telah mendapatkan frame idaman, Tara mengaku belum mampu membangunnya jadi full bike.

“Pasangannya adalah grupset Campagnolo 35th anniversary gold dan itu harganya sama dengan satu buah Harley Davidson Sportster. Jadi nanti dulu deh, nabung dulu,” pungkasnya tertawa.

Colnago 35th Anniversary Gold 24K.

Apalagi di gudang rumahnya di kawasan Bukit Pakar Utana, Dago, Bandung, Tara masih banyak PR menunggu. Peugeot Ventoux 1984, LOOK KG 56 1988, Corima Puma ex Tonton Susanto peraih 4 Gold Sea Games, dan Pinarello Banesto Dynalite 1993 by Dario Pegoretti. Ini semua masih dalam proses dibangun menjadi full bike.

Meskipun masih banyak PR, tapi koleksi pria asli Bandung yang sudah full bikepun ada banyak. Eddy Merckx Motorola MXL Word Champ 1993, Colnago Bititan team Mapei 1993 juara Giro d’Italia, dan Bianchi Genius World Champ. Juga Merlin Cielo titanium 2004 yang dikoleksi oleh Presiden Amerika Serikat, George. W. Bush.

“Dari semua koleksi itu, yang paling berharga adalah Tommaso Genius 1996. Sepeda ini adalah pemberian almarhum ibu saya ketika berhasil diterima masuk ITB. Saya mencintai sepeda istimewa ini lebih dari segalanya. Bahkan lebih dari sepeda saya yang langka incaran kolektor dunia sekalipun,” bilang Tara sambil mengelusnya.

Pria lajang ini menggowes sepeda bernilai historis ini mengikuti even Bromo KOM Challenge 2018 bulan April silam.

Tara dengan Tommaso Genius 1996.

Meskipun bejibun sepeda retro langka dan sangat berharga telah dimiliknya, Tara masih juga meminang sepeda steel modern. Sebut saja, Pegoretti Responsorium Ciavete Custom 2013, Stelbel SB03 full custom, dan Passoni XXti. Dia mengaku, sepeda modern ini tidak dianggapnya penting.

“Sepeda-sepeda itu bisa dimiliki oleh semua orang yang berkocek tebal dengan mudah tanpa perlu memperdalam ilmu dan sejarah sepeda. Saya gunakan untuk harian berolahraga sepeda. Bahkan Pegoretti dan Stelbel saya pinjamkan ke para pembalap Bandung untuk bertarung. Stelbel saya bangun full custom super rigid mengejar performa demi mengalahkan sepeda karbon. Passoni-pun dengan mudah sudah saya lepas demi frame jadul tahun 1989,” tutup Tara yang mengaku sedang mengincar Cinelli Laser Crono by Laserman Andrea Pesenti tahun 1980an. (mainsepeda)

Stelbel SB03 full custom.

Tara dan Pegoretti Responsorium Ciavete.

 

 

 

 

 

Populer

Kosong Sembilan CC, Pecinta Kecepatan Dalkot Jakarta Tiap Selasa
Journey to TGX 2024, Penuh Cerita Tak Terlupakan
Journey to TGX 2024: Hanif Finisher Pertama di Pasar Pon Trenggalek
Kalender Event Mainsepeda 2024: East Java Journey Pertama, Bromo KOM X 18 Mei
Hujan Sepanjang Jalan, Puluhan Cyclist DNF
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan
Journey to TGX 2024: Lanterne Rouge Bagi Cyclist Penuh Dedikasi
Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
Ijen KOM 2024: Inilah Kuliner Hidden Gem Banyuwangi, Wajib Cicip!
Tips Merakit Gravel Bike dengan Harga Terjangkau