Pekan UCI World Championship 2018 akan berakhir Minggu, 30 September, di Innsbruck, Austria. Partai pamungkas, Men Elite Road Race, akan jadi penutup yang seru. Rute tahun ini memberi kesempatan bagi pure climber atau puncheur untuk meraih rainbow jersey. Tergantung siapa yang lebih dulu melewati Hell Climb, hidangan tanjakan terakhir yang memiliki kemiringan hingga 28 persen!
Ya, 28 persen! Rute Men Elite Road Race 2018 memang tidak main-main. Total, jaraknya 252,9 km. Total, menanjaknya sampai hampir 5.000 meter, terbanyak sejak pertengahan 1990-an. Bagi yang penasaran, rute ini bisa dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, bagian “pemanasan” sejauh 84,7 km dari Kufstein menuju Innsbruck. Tidak datar, sedikit naik turun. Pada km 60, ada satu tanjakan penting sebagai penguji awal kekuatan kaki: Tanjakan Gnadenwald sepanjang 2,7 km dengan kemiringan rata-rata 10 persen.
Kedua, sirkuit kota Innsbruck. Begitu sampai kota, peserta diajak keliling sebanyak enam kali, masing-masing 23,8 km. Sebenarnya tujuh kali, tapi lap ketujuh bisa dianggap sebagai bagian terpisah (dijelaskan nanti). Selama enam kali keliling ini, peserta selalu harus melewati sebuah tanjakan sepanjang 7,9 km dengan kemiringan rata-rata 6 persen.
Ketiga, alias putaran penutup, yaitu satu putaran lebih panjang yang dibumbui tanjakan Hottinger Holl. Tanjakan ini sangat kejam, diberi julukan “Hell” alias neraka, dan harus dilewati hanya 10 km sebelum finis.
Memasuki tanjakan ini saja sudah mengerikan. Dari jalan lebar, semua pembalap lantas berebut duluan masuk jalan sempit. Saking sempitnya, hanya cukup untuk satu mobil. Tanjakan Hell itu ada di jalan sempit ini.
Panjangnya 3,2 km dengan kemiringan rata-rata 11,5 persen. Banyak bagiannya di atas 15 persen. Puncaknya, sebelum akhir tanjakan, mencapai 28 persen!
Setelah itu tanjakan melandai di kisaran 9 persen, lalu ada turunan, dan jalan datar beberapa km menuju finis.
Dari penjelasan rute itu, bisa dibayangkan seperti apa lomba akan berlangsung. Para unggulan akan menghemat sebanyak mungkin tenaga menjelang putaran akhir lomba. Mereka yang ingin mencuri kemenangan akan mencoba melarikan diri sebelum putaran akhir lomba.
Kemudian, semua akan berlomba duluan mencapai kaki tanjakan, lalu saling attack untuk unggul di puncak tanjakan Hell. Kalau ada yang selamat sendirian, kemungkinan besar dia akan bertahan di depan saat turunan dan jalan datar menuju finis.
Kalau ada lebih dari satu yang selamat dari Hell, maka mereka akan adu sprint menuju finis.
Karena itulah, ini rute yang memberi peluang bagi para pure climber atau para puncheur, atau kombinasinya.
Rute ini juga menguntungkan bagi mereka yang jago menanjak, tapi juga punya akselerasi hebat kalau harus sprint.
Siapa yang tipe seperti itu? Di atas kertas, ada beberapa yang bisa begitu. Pertama, Alejandro Valverde dari Spanyol. Pembalap 38 tahun ini mampu mengimbangi climber elite di tanjakan dan punya kemampuan sprint hebat.
Mungkin, ini adalah kesempatan terakhir Valverde untuk jadi juara dunia. Sepanjang karirnya, dia sudah enam kali naik podium di kejuaraan dunia. Empat kali juara tiga, dua kali runner-up.
Alejandro Valverde (Spanyol).
Tahun ini, Valverde sudah menang 13 kali, termasuk dua kali di Vuelta a Espana 2018, baru-baru ini. Jadi, dia dalam kondisi prima. Mampukah “Pangeran Tua” Spanyol jadi champion? Perhatikan terus dia Minggu ini!
Di barisan muda, Prancis punya kandidat juara dunia. Dia adalah Julian Alaphilippe. Sang pemenang King of the Mountain (KOM) Tour de France 2018 ini punya karakter mirip dengan Valverde.
Sebagai bonus, dia akan dikelilingi Tim Prancis yang lebih solid. Tim itu punya beberapa opsi. Kalau memang harus adu climbing, mereka punya Romain Bardet dan Thibaut Pinot. Jadi, para pesaing harus mengawasi ketiganya sekaligus. Lengah, salah satu bisa lari dan menang!
Julian Alaphilippe (Prancis).
Unggulan lain? Beberapa nama yang jago nanjak dan punya kemampuan akselerasi adalah Michal Kwiatkowski (Polandia, juara dunia 2014), Michael Woods (Kanada), Dan Martin (Irlandia), serta si kembar Simon dan Adam Yates (Inggris).
Dan yang tidak boleh diremehkan adalah barisan Kolombia. Kali ini, mungkin harus bertumpu pada Miguel Angel Lopez dan Rigoberto Uran. Juga barisan Belanda, yang punya Tom Dumoulin, Bauke Mollema, Steven Kruisjwijk, dan Wilco Kelderman.
Adam Yates (kiri) dan Simon Yates (kanan) dari Inggris.
Terakhir, jangan remehkan Primoz Roglic dari Slovenia.
Bagi penggemar Peter Sagan (Slovakia), mungkin ini bakal jadi akhir dari dominasinya di kejuaraan dunia. Dia sudah menjadi juara dunia tiga tahun terakhir, saat rute lebih mengajak terjadinya adu sprint.
Sagan mengaku akan menghormati gelarnya, dan akan tampil habis-habisan. Tapi peluangnya bisa dibilang tipis! (mainsepeda)
Foto : James Startt (Peloton), Getty Images, movistar, Cyclingtips