Tanjakan menuju Wonokitri, Bromo, memang punya misteri tersendiri. Saya dan banyak teman sudah puluhan kali menanjak ke sana, tidak pernah sekali pun terasa nyaman. Bahkan, tidak pernah ada upaya yang benar-benar sama. Sedikit saja berbeda cuaca, performa dan waktu bisa berbeda. Sedikit saja temperatur berbeda, performa dan waktu bisa berbeda...
Seperti apa rasanya tanjakan itu nanti saat Bromo KOM X, 18 Mei nanti? Di saat 1.500 cyclist ramai-ramai mencoba mencapai ketinggian hampir 2.000 meter sebelum cut off time? Yang sudah sering ke sana saja masih bertanya-tanya, dan berharap-harap.
Belakangan, tanjakan itu jadi ramai dikunjungi. Peserta yang tinggal di Jawa Timur mulai melakukan "geladi bersih" sendiri-sendiri. Tidak sedikit pula yang dari luar Jatim datang khusus untuk menjajalnya sebelum event resmi nanti.
Tanjakan ini memang punya "nyawa". Kita benar-benar harus respect terhadap tanjakan ini. Sekuat apa pun Anda, tidak pernah boleh meremehkannya.
Sejak Lebaran, saya sudah dua kali ke sana. Dua-duanya start dari Surabaya, dua-duanya digowes PP kembali ke Surabaya. Bersama teman-teman AA SoS (School of Suffering) di Surabaya dan sekitar.
Yang pertama hanya tiga hari setelah Idul Fitri. Tujuannya mengecek kondisi badan, sejauh apa dari harapan. Eh, ternyata lumayan. Walau tidak push sama sekali, super konservatif, waktu dari Start KOM di Pasrepan sampai finish di Wonokitri masih 2 jam 33 menit. Tidak jauh dari waktu yang saya harapkan saat event nanti, antara 2 jam 15 menit hingga 2 jam 30 menit.
Dengan kondisi dan berat badan sekarang, itu target realistis. Saya tidak pernah lagi bermimpi seperti dulu, waktu bisa menuntaskan segmen KOM itu di bawa dua jam.
Sempat berhenti sebentar, 2-3 menit, minum teh manis.
Cuaca waktu itu cukup panas. Suhu di kaki tanjakan di kisaran 32-35 derajat Celcius. Lembab luar biasa, napas jadi terasa berat. Ketika mencapai ketinggian lebih dari 1.000 m, suhu turun. Tapi napas masih agak berat. Apalagi semakin tinggi, oksigen juga semakin berkurang (ini salah satu tantangan utama tanjakan setinggi ini).
Alhamdulillah, bagian terakhir pun diambil dengan aman. Tidak ada tanda-tanda kram. Kemiringan hingga 18 persen sebelum finish juga bisa dilewati dengan strong.
Aman ini, pikir saya. Ketika event, saya yakin bisa di kisaran 2 jam 15 menit.
Rudy S Rustanto alias Rudy Cepu saat menanjak jelang puncak Wonokitri pada Bromo KOM Challenge 2023. Ia selalu ikut sembilan edisi Broko KOM, juga sudah daftar Bromo KOM X.
Sabtu, 4 Mei lalu, saya kembali ke Bromo. Pas dua minggu sebelum event diselenggarakan. Selain kembali mengecek kondisi badan, kebetulan juga sedang menjajal sebuah grupset high end baru untuk vlog YouTube Mainsepeda.
Sabtu itu, saya kembali diingatkan untuk tidak pernah meremehkan tanjakan ke Wonokitri...
Pagi itu, saya bangun pagi lumayan segar. Sempat makan sedikit. Sempat minum kopi. Buang air besar pun lancar. Semua itu biasanya pertanda gowesnya bakal baik-baik saja. Ya tidak?
Suhu kembali panas, tapi tidak sepanas yang pertama. Angka 30-32 derajat Celcius di awal tanjakan menuju kawasan water station pertama di Puspo (tapi kita latihan tanpa water station hehehe).
Feeling saya enak. Hingga km 12 dari total 25 km segmen KOM, saya melaju lebih nyaman, dan merasa bisa at least sepuluh menit lebih cepat dari yang pertama setelah Lebaran.
Semakin ke atas, semakin sejuk.
Tiba-tiba saja, kondisi saya drop. Keringat dingin. Putaran kaki, detak jantung, dan kemauan isi kepala tidak lagi sinkron. Sialan, saya lupa minum gel Strive yang sudah saya siapkan di kantong. Karena keenakan, tidak lagi disiplin asupan.
Padahal, ada empat gel Strive di kantong. Selama ini selalu ingat diminum di mana saja. Satu di Patung Sapi Puspo (km 8), satu di gapura Bank Jatim (km 15), satu di Baledono (km 20). Satu lagi cadangan kalau dibutuhkan.
Sebelum Baledono, saya berhenti sebentar menenangkan diri.
Baru jalan tidak sampai 2 km, saya berhenti lagi.
Di Baledono (water station akhir saat event), saya berhenti lagi. Minta teh manis dari teman kru Mainsepeda yang naik motor.
Ya Tuhan, badan benar-benar kehilangan ritme menanjak. Saya berhenti agak lama dulu di Baledono itu. Benar-benar harus mengembalikan ketenangan.
Setelah itu, saya memulai perlahan. Yang penting sampai finish. Waktu tidak penting. Yang penting sampai finish. Setelah ini harus fokus recovery dan mengembalikan ritme latihan pada dua pekan terakhir sebelum event. Ini bukan masalah tidak kuat. Ini masalah menemukan irama menanjak. Mengembalikan disiplin soal asupan. Karena sulit mencari tanjakan konstan panjang seperti Bromo ini.
Latihan terbaik untuk Bromo, ya di Bromo.
Di bagian terakhir yang curam, saya tidak menemui masalah. Aman konstan. Catatan waktu? Setelah upload Strava, keluar di segmen hampir 25 km itu: 2 jam dan 38 menit. Hanya lima menit lebih lambat daripada waktu setelah Lebaran. Padahal berhenti tiga kali, dan yang terakhir cukup lama.
Seandainya tetap disiplin asupan, seandainya bisa menjaga irama, seharusnya bisa at least sepuluh menit lebih cepat dari itu. Mungkin hampir 15 menitan. Tapi itulah tanjakan Wonokitri Bromo, walau kita sudah sering ke sana, walau kita sudah hafal setiap belokannya, tetap saja ada intimidasinya!
Salah satu segmen yang membuat para cyclist tersiksa hingga harus menuntun sepedanya.
Menurut data di Strava, sudah 34 kali saya naik ke Bromo sampai Wonokitri. Itu belum termasuk puluhan lain yang hanya sampai Puspo, atau yang hanya sampai pertigaan Tosari (2 km dari Wonokitri). Belum lagi berkali-kali ke Wonokitri lewat Nongkojajar (dari sisi lain).
Walau sudah puluhan kali, tanjakan ini tetap menuntut kita untuk memberi respect penuh. Tanjakan ini tetap meminta kita untuk disiplin pada kemampuan dan strategi. Tanjakan ini juga tidak pernah memberikan suasana yang sama. Kadang panas sekali, kadang panas, kadang sejuk, kadang hujan deras, kadang gerimis, dan dulu pernah hujan abu!
Awalnya, event Bromo KOM ini diselenggarakan di bulan Maret atau April. Kemudian digeser ke Mei untuk menghindari hujan atau perubahan cuaca ekstrem. Semakin dekat ke tengah tahun, harapannya semakin jauh dari hujan dan hawa semakin sejuk.
Eh, sekarang Asia Tenggara sedang kena heat wave. Suhu sedang tidak umum panasnya. Karena itu, entah seperti apa cuaca ketika Bromo KOM X nanti. Kita hanya bisa menyiapkan diri sebaik mungkin. Dan sekali lagi, kita harus disiplin dengan diri sendiri dan strategi yang sudah kita siapkan.
Ada alasan mengapa event Bromo KOM begitu populer di Indonesia.
Ada alasan mengapa ribuan peserta mendaftar dan sold out dalam hitungan jam.
Salah satu alasan utama itu adalah Misteri Tanjakan Wonokitri Bromo.
We must respect the climb! (azrul ananda)