Perjalanan panjang gowes Jakarta-Paris yang dilakoni Mantan Kepala Korps Lalu-Lintas Mabes Polri Irjen (purn) Royke Lumowa akhirnya tuntas. Perjalanan sepanjang 20,6 ribu km, yang ditempuh dalam 1 tahun 21 hari itu begitu banyak cerita.

Kini, Royke sedang berada di Paris. Ia menantikan undangan dari French National and Olympic Sports Committee (CNOSF). Komite Olimpiade Prancis itu memang sejak awal ingin mengundang Royke. Sejak ia memutuskan akan bersepeda dari Jakarta menuju Paris.

"Rencana awalnya undangannya tanggal 25 Juli. Tapi karena pembukaan Olimpiade Paris itu 26 Juli, akhirnya ditunda 29 Juli saya diundang bersama perkenalan olahraga pencak silat sebagai syarat cabang Olimpiade," jelas mantan Kapolda Sulawesi Utara itu. Nantinya, Royke akan dijamu di House of France. Base camp kontingen Prancis selama Olimpiade Paris 2024.

Setelah itu, Royke akan kembali ke tanah air dengan pesawat terbang. Ia akan pulang kampung dari Amsterdam. Rencananya, 8 Agustus 2024. "Sekaligus di sana nanti saya akan mengirim mobil kru yang selama ini mendampingi saya setahun ini," ujarnya.

Selama perjalanan 1 tahun 21 hari itu, Royke total ditemani 6 kru. Kelihatannya banyak ya? Padahal mereka itu berganti-gantian. Dalam perjalanannya kru yang mendampingi Royke itu berguguran. 

Ada yang mundur karena kesehatan. Lalu diganti orang baru harus mundur karena sudah home sick alias kangen rumah. Lalu ada lagi kru pengganti, dalam perjalanannya visa orang ini habis dan tidak bisa diperpanjang. Lalu, terakhir Royke ditemani kru seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Hungaria.

Baca Juga: Perjalanan Royke Lumowa Bersepeda Jakarta-Paris Dimulai


Royke Lumowa berfoto di area Everest Base Camp yang menjadi rute penutup perjalanannya melintasi di Tiongkok.

6 Tantangan yang Harus Ditaklukkan Royke Lumowa

Pria kelahiran 16 September 1962 itu mengaku ada enam tantangan yang dihadapi selama perjalanan panjangnya dari Jakarta ke Paris, melewati 47 negara.

Pertama tentu medan. Yang terberat, Royke mengaku ketika harus naik ke Tibet. Di sana ia bersepeda hingga di ketinggian 5.200 mdpl. "Oksigennya sangat tipis. Itu juga yang membuat kru saya tidak kuat," kenangnya.

Tanjakan saat bersepeda di Tibet menurut Royke sebenarnya tidak curam. Gradien maksimalnya 9-10 persen. Rata-rata hanya 5 persen. Tapi tanjakan di sana panjang dan harus dilahap dengan kondisi oksigen yang tipis.

"5.200 mdpl loh. Bayangkan Puncak Semeru saja 3.800-an mdpl. Sedangkan Puncak Jaya di Papua 4.900 mdpl," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Kapolda Papua Barat itu. Selama bersepeda di Tibet itu, Royke melintasi tiga gunung. 

Tantangan kedua adalah cuaca ekstrem. Royke sempat merasakan badai gurun. Lalu terkena panas menyengat di perbatasan India-Pakistan. "Kalau dingin, saya merasakan beratnya ketika badai salju di Latvia. Sempat minus 26 derajat celsius," ceritanya.

Tantangan ketiga tentu terkait dengan kesehatan. Royke mengaku tak mengalami banyak kendala. Meskipun ini tantangan berat bagi kru yang mengikutinya.

"Seperti mukjizat, Saya tidak pernah sakit selama perjalanan," ujarnya. Hal tersebut menurutnya juga karena latihan yang ia lakoni selama ini. Ia menyebut sebelum berangkat benar-benar menyiapkan kondisi fisik. Sebab ia tahu resikonya, di usia menjelang 62 tahun tak mudah bersepeda jauh dengan durasi cukup panjang.

Nah, tantangan berikutnya, atau yang keempat adalah terkait kriminalitas. Alumnus Akademi Kepolisian 1986 itu beberapa kali menjadi korban kriminalitas. Sepedanya sempat hilang. Ia juga kehilangan uang di hotel. 

Mobil kru juga pernah dipecah kacanya di Teheran. Mobil kru yang terparkir di hotel juga sempat ditabrak pemabuk.

Tantangan yang kelima dan termasuk menghambat perjalanan Royke adalah pengurusan atau perpanjangan visa. Ia sempat pulang ke Jakarta dulu karena tidak ada jalan untuk memperpanjang visa.

Dan, yang sangat seru bagi Royke adalah tantangan terakhir: keenam. Tantangan ini menurut Royke ibarat sebuah drama korea (drakor). Penuh liku dan cerita.

Drakor di 5 Border

Perjalanan Royke Lumowa kerap tidak mulus ketika harus melewat perbatasan antarnegara atau border. Total, Royke merinci ada lima border yang sangat menghambat perjalanannya.

Drakor pertama terkait dengan keruwetan di border ia rasakan ketika akan keluar dari Malaysia. Ia menghadapi kendala di perbatasan masuk Thailand.

Saat itu mobil yang mendampingi Royke tak boleh masuk. Ia sudah menjelaskan semuanya namun tetap tidak boleh masuk border tersebut. Akhirnya mobil harus masuk Thailand lewat border di titik lain. Jaraknya 700 km dari tempat Royke diizinkan masuk Thailand.

Baca Juga: Lancar di Malaysia-Singapura, Perjalanan Royke Lumowa Tersendat Masuk Thailand

Berikutnya -border kedua- yang tak kalah berat adalah saat dari Pakistan akan masuk Iran. Kendalanya sama seperti saat hendak masuk Thailand. Mobil tak boleh melintas di border tersebut. Terpaksa harus berpisah dengan mobil.

Mobil harus mencari perbatasan yang boleh dilintasi mobil. Jaraknya terpaut 2.000 km.

Masalah belum selesai sampai di situ. Ketika Royke hendak masuk Iran, komputer petugas Imigrasi hang. Apes! Ia harus menunggu 36 jam. Ia tak bisa balik ke Pakistan karena sudah posisi dilepas atau keluar.

"Akhirnya saya dan kru menginap di tenda di dekat perbatasan," kenang pria yang banyak mengemban jabatan di Korps Lalu-lintas itu.

Nah, imigrasi Iran memang bagai momok untuk Royke. Terjadi lagi drakor ketiga di border Iran. Bedanya ini di sisi keluar menuju Turki.

Di sana ia sempat tertahan. Penyebabnya ternyata komputer yang hang saat masuk Iran.

"Ternyata waktu entry manual karena komputer hang, data saya tidak termonitor di border keluar Iran. Petugas lama sekali memprosesnya saya harus menunggu sekitar tujuh jam baru bisa lolos," ujarnya.

Lolos border Iran terjadilah drakor yang keempat. Yakni saat masuk Turki. Ternyata pemeriksaan di Turki sangat ketat. Mereka sangat teliti. Semua barang bawaan Royke -termasuk yang ada di dalam mobil- semua harus dikeluarkan. Tak ada yang tersisa. Akhirnya butuh waktu 9 jam berurusan dengan petugas di perbatasan masuk Turki.


Bersepeda menanjak saat melintasi Turki yang sangat menantang karena di awal musim dingin. 

Drakor yang kelima, Royke baru mengingatnya. Itu terjadi saat ia dari Nepal akan masuk ke India.

Ternyata visa India yang ia miliki merupakan electronic visa. Visa ini syaratnya adalah hanya boleh masuk India lewat bandara atau pelabuhan.

"Kan saya naik sepeda dan bawa mobil. Jadi saya tidak diperkenankan masuk, karena proses masuk electronic visa harus via pesawat atau kapal," ceritanya.

Royke sempat nego. Tapi petugas tak bergeming. Tak ada pilihan lain, Royke harus terbang menuju New Delhi. Mobil pun ditinggal di border yang ada di sisi timur India. Jarak New Delhi dengan border itu sejauh 750 km.

Di sini Royke harus mencari cara agar mobil itu bisa diantarkan masuk India. Ia memutar otak agar mobil itu bisa aman dibawa ke India. Tahu sendiri, kriminalitas di India cukup tinggi.

Dia menghubungi koleganya seorang purnawirawan polisi di Jakarta. Ia minta disambungkan ke polisi di Nepal. Ia dikenalkan dengan sesama purnawirawan polisi di Nepal. 

Dengan purnawirawan itu, Royke meminta tolong agar dicarikan sopir yang amanah untuk bisa membawa mobil kru dari Kathmandu di Nepal menuju perbatasan India. Dapatlah sopir setempat yang namanya mirip orang Jawa, Suman.

Royke pun masih was-was. Tapi ia tak ingin Suman tersinggung. Akhirnya ia meminta tolong purnawirawan polisi di Nepal itu untuk dibantu pengawalan mobilnya.

Seorang polisi aktif kemudian memonitor pergerakan mobil yang dibawa Suman. Singkat cerita mobil itu bisa masuk India.

Namun Royke masih perlu menempuh perjalanan 4 jam dari New Delhi ke border terdekat untuk mengambil mobil itu. "Serah terima. Imigrasi beres semua, dan saya pun lanjut gowes ke New Delhi untuk lanjut ke Pakistan," ceritanya. 


Royke Lumowa bersepeda di India ditemani warga lokal.

Itulah enam tantangan yang dihadapi Royke Lumowa selama menuntaskan misinya bersepeda dari Jakarta ke Paris. "Kalau tidak kuat ya bisa meleleh Abangku," canda menirukan kalimat yang sedang viral, "menyala Abangku".

Selama perjalanan gowes 1 tahun lebih itu, Royke sempat meninggalkan momen terkait keluarganya. Momen itu sempat membuatnya was-was. Yakni saat istrinya divonis harus operasi karena ada masalah di jantungnya.

Ceritanya, istri Royke, drg Swanly Hartono dalam sebuah pemeriksaan kesehatan dinyatakan ada masalah dengan jantungnya. Ia harus menjalani operasi. Saat itu Royke baru sampai Thailand, hendak masuk Laos.

"Ketika itu saya sudah jauh dari bandara. Sinyal pun susah. Saya sempat bilang ke istri saya akan balik. Namun ia bilang tidak usah, sudah banyak keluarga yang membantunya," kenang Royke.

Royke pun was-was. Ia takut di perjalanan tidak konsen. Tepat di hari Swanly harus opname, ia sengaja break dari gowes. Sembari ia memantau perkembangan istrinya dari jauh.

"Tapi seperti sebuah mukjizat, dalam pemeriksaan lanjutan ternyata istri dinyatakan tak perlu operasi. Ternyata yang disebut sebelumnya ada sumbatan di jantung itu tidak ditemukan. Saya senang sekali," ungkapnya.

Royke mengaku dalam perjalanan panjangnya ini ia merasa kuat fisik dan mental saja tidak cukup. "Harus berani. Boso Suroboyone, kudu wani," ujar mantan Kasatlantas Polwiltabes Surabaya itu.

"Sama sedikit gila. Sebab ada banyak hal yang membuat kita merasa berhenti saja lah," pungkasnya.(*)

Populer

Pendaftaran Mulai Besok, EJJ 2025 Menawarkan Spot Baru 
Ladies Baja CC, Diracuni Bapak-Bapak Baja CC
Super Magnesium; Material Pesaing Karbon?
Kado Pensiun Cavendish: Menang di Singapore Criterium
Alur Pendaftaran Cyclist Internasional Mainsepeda EJJ 2025
Tips Setting Rantai Hub Gear dan Lepas Roda Belakang Brompton
Mark Cavendish Resmi Gantung Sepeda
Sold Out, Ini Cara Dapatkan Slot Bromo KOM Lewat Jalur Bundling, Kuota Terbatas!
Shimano CUES, Ekosistem Baru Pengganti Grupset di Bawah 105
Hattrick! Abdul Soleh Juara Men Elite Mainsepeda Trilogy 2024