Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM pada 21 September lalu ternyata bukan hanya jadi penutup Mainsepeda Trilogy 2024. Ternyata, event itu juga memperingati pas sepuluh tahun kali pertama "lomba KOM" (King of the Mountain) diselenggarakan. Lomba segmen menanjak yang kemudian berevolusi dan berlanjut sampai sekarang dan formatnya banyak diikuti oleh penyelenggara lain.
Peringatan sepuluh tahun itu disampaikan oleh sahabat gowes asal Kolombia, Juan Pablo Ramirez, di puncak Paltuding, Ijen, usai acara yang diikuti oleh lebih dari 500 pesepeda.
"Azrul, kamu sadar tidak, hari ini adalah sepuluh tahun KOM pertamamu dulu", ucap Pablo, sapaan akrabnya, yang kini bekerja di Bali.
Saya sempat terhenyak sesaat. Sepuluh tahun lalu. Tahun 2014. Waktu itu adalah hari kedua even Audax East Java 2014 yang saya dan tim selenggarakan di bawah bendera Jawa Pos Cycling.
Waktu itu, kami berkolaborasi dengan Audax Indonesia dan Axel Moeller, yang kemudian menjadi penyelenggara GFNY di Indonesia (beda organisasi dengan Audax yang sekarang). Waktu itu belum ada lomba KOM-KOM-an di Indonesia. Mendapatkan lebih dari 100 peserta untuk event road bike saja sudah luar biasa!
Audax East Java 2014 itu adalah yang kedua di Jawa Timur. Selain Audax Lombok yang lebih dulu diselenggarakan. Untuk 2014 itu, rutenya dibuat dua hari. Dari Surabaya menuju Banyuwangi. Hari pertama Surabaya ke Jember via tanjakan Arak-Arak (setelah Besuki). Hari kedua Jember-Banyuwangi via tanjakan Gumitir (yang sekarang rutin dilewati Bentang Jawa).
Hari pertama tak sampai 250 km, hari kedua tak sampai 120 km. Terpaksa dibuat begitu, karena peserta menyentuh 500 orang. Dan kota transit yang punya penginapan mumpuni adalah Jember.
Seperti Audax Lombok dan East Java sebelumnya, ini acara gowes bareng. Tidak ada balapannya. Bahkan, slogan awal Audax Indonesia adalah "Start Together, Ride Together, Finish Together".
Tahun 2014 itu, ajang ke Bromo (bernama asli Bromo 100) sudah diselenggarakan. Tapi masih belum balapan. Belum ada KOM-nya. Masih bersifat gowes bersama.
Nah, karena hari kedua dari Jember ke Banyuwangi itu "terlalu pendek". Ada diskusi untuk membuatnya lebih menarik. Commissaire waktu itu adalah Puspita Mustika, mantan pembalap top Indonesia. Kami pun sepakat bikin "Mini KOM". Menanjak sekitar 4 km menuju puncak Gumitir. Kebetulan, pit stop-nya di sebuah restoran di sana. Cocok untuk dijadikan finish.
Rutenya tidak terlalu berat. Tidak terlalu curam. Tapi cukup untuk membuat suasana lebih asyik. Tidak ada pengkategorian. Kebetulan waktu itu hanya untuk peserta laki-laki, karena peserta perempuan sangat sedikit.
Saya waktu itu sudah jadi road captain, jadi saya tidak ikut KOM-nya. Saya dan RC lain bertugas menarik rombongan sampai mendekati titik start yang disepakati, kemudian minggir dan melepas mereka yang balapan.
Dor! Sejumlah peserta pun kebut-kebutan ke puncak Gumitir. Tiga besar pun didapatkan. Saya lupa apa hadiahnya. Mungkin ada uang. Mungkin ada sepeda dari sponsor. Saya lupa.
Tapi, tiga besarnya jelas.
Reynald Saputra dari Bandung jadi juara. Menang sprint atas Pablo Ramirez. John Boemihardjo finish nomor tiga.
Pantas Pablo ingat. Karena dia dapat tiga besar hari itu!
Kita semua waktu itu agak menggoda Reynald. Karena dia waktu itu masih umur 19 tahun dan mengalahkan Om-Om yang lebih tua.
Sejak saat itu, ajang KOM-KOM-an selalu ada di event yang kami selenggarakan. Bromo 100 pun kemudian mengadopsinya, walau start-nya masih dari KUD Puspo (Patung Sapi), hanya sekitar 15 km dari finish di Wonokitri.
Event-event lain pun ikut mengadopsi. Baik itu di Jogjakarta maupun di kota-kota lain. Sejak saat itu, event sepeda semakin ramai diselenggarakan. Jauh sebelum booming sepeda karena pandemi.
Sekarang, pandemi sudah berakhir. Banyak cyclist pandemi sudah gantung atau jual sepeda. Tapi, mereka yang benar-benar jatuh cinta pada olahraga ini justru semakin aktif mencari tantangan baru. Karena itu, walau jumlah pesepeda turun, peserta event masih bisa meningkat.
Paling tidak di event-event Mainsepeda (bendera event sepeda saya sejak 2018). Bromo KOM sudah terselenggara sepuluh kali, dan pesertanya terus berebut walau dibatasi 1.500 orang. Event di Kediri dan Banyuwangi sudah menembus angka 500 peserta. Event-event ultra cycling juga terus berkembang.
Saya yakin angka itu masih terus berkembang. Mereka yang sudah gandrung sepeda sejak sebelum pandemi, sampai sekarang masih terus menjadi tulang punggung kehidupan olahraga ini. Mereka yang berlanjut setelah pandemi menjadi warna baru yang mengembangkannya.
Dan terima kasih kepada Pablo, saya jadi berkesempatan menceritakan bagaimana KOM-KOM-an ini dulunya bermula. Pablo tidak lupa mengirimkan foto-foto KOM pertama itu. Tentu saja, ada foto dia di "podium" bersama Reynald dan John Boemihardjo! (azrul ananda)