Walau Taiwan KOM gagal karena cuaca buruk, saya dan teman-teman dari Mainsepeda Indonesia tetap dapat pengalaman gowes sangat berkesan. Pada Minggu, 27 Oktober, kami diajak teman-teman Indonesian Cyclist in Taiwan (ICT) merasakan rute terpopuler di Taipei. Yaitu rute "Buddha's Palm" (Tapak Buddha alias Five Fingers).
Kenapa dinamai demikian? Karena begitu selesai, kita seperti "menggambar" telapak tangan kiri (dari punggung) di Strava.
Rute Tapak Buddha dilihat dari aplikasi Strava.
Ini bukan rute yang mudah. Segmen resminya berjarak sekitar 135 km. Bermula dan berakhir di Taman Zhishan/Indigenous People's Park. Dekat National Palace Museum di Shilin District. Tapi, total menanjaknya lebih dari 3.100 meter. Karena untuk menggambar jari-jari itu, kita harus melewati enam segmen tanjakan.
Semula, kami mengira setiap ujung jari adalah ujung tanjakan. Ternyata terbalik. Tanjakan pertama, sekitar 17 km, adalah dari pergelangan tangan menyusuri bagian luar ibu jari (sebelah kanan gambar). Lalu turun ke ujung ibu jari. Baru naik, turun, naik, turun, terus sampai menuntaskan "gambar".
Gampangnya: Setiap ujung jari adalah turunan. Kebanyakan di sisi pantai yang indah. Sedangkan setiap pangkal jari adalah pucuk segmen tanjakan.
Baca Juga: Kolom Sehat: Nasib Tour de France di Inggris
Teman-teman ICT menyampaikan, ada begitu banyak lokasi foto bagus selama melewati rute ini. Kalau mau cepat, mungkin kita tidak bisa menikmatinya. Kalau mau menikmati, maka jangan cepat-cepat supaya bisa berhenti dan foto-foto atau menengok setiap pemberhentian itu. Silakan memilih.
Hari itu, kami memilih tengah-tengahnya. Tidak pelan, tapi berusaha mampir di titik-titik yang menarik. Kurang lebih breakdown tanjakannya sebagai berikut:
TANJAKAN 1 - Sisi Luar Ibu Jari kiri
Tanjakan pertama ini antara 14-17 km, terserah Anda menganggap dimulainya di mana. Meliuk-liuk naik sekitar 800 meter, ke Yangminghsan National Park. Gradiennya sangat variatif. Ada jalan sempit 12-27 persen, ada turunannya sedikit-sedikit, ada kelok-kelok nyaman di kisaran 5-8 persen.
Bagi yang menggunakan fitur map pada bike computer-nya, perhatikan benar di mana keloknya. Karena ini pada dasarnya nanjak "blusukan kampung", ada beberapa cabang yang berdekatan. Saya dan Om Roike Hendra sempat salah ambil belokan, terpancing teman-teman ICT yang ngebut di depan (dan juga salah belok). Alhasil, bukannya naik, kami malah turun sekitar 1,5 km.
Itu berarti, kami harus kembali menanjak naik 1,5 km untuk kembali ke titik yang benar. Dan gradiennya konstan 8-10 persen!
Di area Yangmingsan National Park, sisi luar ibu jari.
Ujung tanjakan ini termasuk tempat wisata yang ramai, jadi hati-hati dengan kendaraan. Dalam perjalanan turun ke bawah, kita bisa mencium bau belerang. Karena di sana katanya ada bekas tambang sulfur.
Turunan dari tanjakan pertama ini jalannya lebar dan seperti "tembak lurus". Speed bisa sangat tinggi. Kami menahan-nahan saja masih dengan mudah melewati angka 60 km/jam. Jadi hati-hati!
Di bawah, di ujung ibu jari di Jinshan, rombongan kami berhenti dulu di sebuah Family Mart untuk mengisi suplai dan nyemil. Baru kemudian lanjut lagi menanjak sisi dalam ibu jari, menuju pangkal awal jari telunjuk.
TANJAKAN 2 - Sisi Dalam Jempol ke Pangkal Telunjuk
Dari Jinshan, kita menyurui kota dulu, melewati beberapa lampu merah, untuk menggambar lekukan ujung ibu jari. Lalu kembali blusukan masuk jalan-jalan kecil dan disambut bagian-bagian curam di atas 15 persen.
Meski ada bagian-bagian terjal, tanjakan kedua (menuju pangkal telunjuk) ini relatif mudah. Hanya sekitar 5-6 km dan menanjak 300-an meter. Sebelum turun ke ujung telunjuk, kita berhenti dulu di salah satu titik foto terpenting. Sebuah kuil dengan patung anjing besar di depannya (Eighteen Princes Temple). Bisa dilihat di foto, betapa besarnya patung tersebut.
Patung anjing di depan Eighteen Princess Temple.
Kenapa patung "jupe" (penggemar Mainsepeda pasti tahu apa itu "Jupe")? Menurut legenda lokal, pada 1860-an, ada sebuah kapal karam tak jauh dari situ, berisikan 17 orang dan seekor jupe. Yang selamat hanya jupenya. Tapi, sang jupe memilih ikut melompat ke liang kubur untuk terus bersama yang lain.
Turun dari situ kita memang disambut oleh pantai. Kita lantas menyusuri pantai itu menggambar ujung telunjuk sebelum belok blusukan lagi menanjak.
TANJAKAN 3 - Telunjuk ke Pangkal Jari Tengah
Ada lokasi foto bagus di ujung jari telunjuk. Teman-teman ICT menyebutnya "Karang Bolong" (lihat foto). Kami hanya stop untuk foto, jadi saya tidak sempat baca atau lihat nama resmi atau penandanya. Kalau lihat di Strava, itu di kawasan Shimen.
Tepi pantai "Karang Bolong" yang berada di ujung telunjuk rute Tapak Buddha.
Tanjakan ketiga ini juga langsung belasan persen di awal. Tapi kemudian "melunak" ke atas. Panjangnya kurang lebih sama, 5-6 km dengan total elevation gain 300-an meter. Kemudian turun lagi ke ujung jari tengah, menyusuri pinggir laut lagi untuk menggambar ujung jari tengah.
Nah, sebelum mengambil tanjakan jari tengah, semua berhenti dulu di sebuah 7-11. Untuk mengisi lagi suplai, dan makan sedikit lebih banyak (tetap bersifat nyemil). Karena setelah itu, tanjakan jari tengah itu emang layak diacungi jari tengah!
TANJAKAN 4 - Jari Tengah Memang Kurang Ajar
Sebelum memulai rute, teman-teman ICT sudah bilang kalau tanjakan jari tengah bakal yang paling berat. Panjangnya 9 km katanya. Usai "semi-makan" di 7-11, kami langsung menyeberang memulai tanjakan itu.
Bersama di depan patung Blue Magpie, di area jari tengah.
Seperti yang lain, awal masuk "gang" itu langsung terjal di atas 15 persen berkali-kali. Bedanya, kali ini di atas tidak melandai. Gradiennya terus di atas 10 persen, bahkan di atas 12 persen. Kalau ada kelok bisa mendekati 20 persen. Apalagi lalu lintas Taiwan (setir kiri) membuat kita gowes di sisi kanan. Kalau tekukan ke kanan, kita harus lewat bagian paling curam.
Terus terang, feeling tanjakan ini mirip Kediri Dholo KOM. Sangat mirip, khususnya 5 km sebelum gerbang Besuki. Konstan di atas 10 persen dengan bagian-bagian menyenggol 15 persen atau lebih.
Jujur saya sempat merasa hampir kram, sempat menuntun setelah "salah" mengambil sisi dalam tikungan tajam ke kanan. Untung tidak sampai benar-benar kram, dan tetap yakin bisa menuntaskan semua rute walau harus lebih hati-hati me-manage tekanan power.
Kombinasi tanjakan dan suhu panas, rute jari tengah benar-benar FU!
Cuaca hari itu juga lumayan. Setelah berhari-hari kena hujan badai, hari itu matahari bersinar terang dan suhu sempat 35 derajat Celcius. Khususnya pas tengah hari, pas di jari tengah itu!
Kombinasi karakter tanjakan plus matahari membuat tanjakan jari tengah terasa benar-benar "F U".
TANJAKAN 5 - Gradien Manis Jari Manis
Setelah tanjakan jari tengah, kita turun lagi ke kawasan pantai. Tanjakan kelima ini kembali bersahabat. Panjangnya sekitar 4-5 km saja, menanjak hingga sekitar 250 meter. Kemiringannya tidak ada yang kejam. Kebanyakan di kisaran 5 persen.
"Manis"-nya jari manis itu tentu memberi rasa sedikit lega. Setelah tanjakan ini, kita pada dasarnya sudah sangat lelah, sudah menanjak hampir 2.500 meter. Setelah itu hanya sisa satu tanjakan panjang, kembali ke kawasan Yangmingshan lalu turun kembali ke Taipei.
Tim Mainsepeda Indonesia "ngemper" di pinggir trotoar sembari mengisi tenaga.
Sebelum tanjakan 17 km itu, kami berhenti di awal gang menanjak. Di sebuah mini market lokal. Mengisi bahan bakar untuk kali terakhir. Ada yang sekadar makan telur rebus, ada yang makan keripik kentang, ada yang makan mie instan. Karena tokonya kecil, kami harus duduk-duduk di jalan di sampingnya (lihat foto).
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Waktunya menyelesaikan Tapak Buddha dan berusaha finish sebelum gelap!
TANJAKAN 6 - Nyaman Menuju Akhir
Tanjakan terakhir naik lagi ke Yangmingshan ini termasuk panjang, 17 km. Menanjak lagi hingga 800-an meter. Tapi seolah terbagi dua bagian. Yang utama adalah 9,5 km dengan EG 600 meter menuju puncak.
Gradiennya sama sekali tidak kejam. Konstan terusssss di angka 4-6 persen. Kita bisa stay di satu gigi yang nyaman lalu bertahan terus dengan putaran cadence yang sama. Apalagi buat saya yang sudah mulai fatigue dan tidak bisa memaksakan power di atas 250 watt (FTP saya).
Setiap kilometer yang dilalui saya hitung. Semakin dekat ke puncak, rasanya kok semakin lama. Pada akhirnya, sampailah di puncak. Beberapa teman sudah menunggu di sana, beberapa yang lain masih di belakang. Saya memutuskan langsung turun tanpa berhenti.
Kabut dan mist (seperti semprotan air halus) menyambut di turunan. Rasanya segar. Turunannya lumayan cepat. Tapi semakin ke bawah, semakin padat pula lalu lintasnya. Hari Minggu, jadi itu orang-orang yang selesai liburan dan kembali ke Taipei. Lampu merah juga bertubi-tubi menyambut, makin dekat ke kota makin lama durasinya (90 detik).
Berfoto bersama di titik finis rute Tapak Buddha bersama teman-teman ICT.
Sekitar pukul 17.00 kami sampai, setelah start di lokasi sama pukul 07.15. Sekitar sepuluh jam total gowes. Tapi masih belum gelap. Kami pun berkumpul di taman itu sambil menunggu yang lain finish. Sambil tertawa-tawa. Dan, seperti biasa, saling mem-bully.
Kata teman-teman ICT, hari itu kami termasuk cepat menuntaskan Tapak Buddha. Orang-orang di sana biasanya memulai dini hari, pukul 05.00 supaya bisa finish sebelum gelap. Banyak yang baru tuntas saat sudah gelap.
Dasar jumawa, beberapa dari kelompok kami merasa justru seharusnya bisa lebih cepat lagi sampai dua jam (Om John Boemihardjo!).
RUTE JENIUS!
Entah siapa yang dulu membuat rute Tapak Buddha ini. Saya tanya-tanya orang industri sepeda pun tidak ada yang bisa menjawab. Katanya ini rute sudah ada sejak 10-15 tahun lalu.
Bayangan saya, rute ini dibuat menggunakan peta kertas besar. Karena dari situ bisa punya "helicopter view" rute yang akan digunakan.
Salah satu "penanda" tapak tangan yang dicat di aspal.
Rasanya, ini rute juga sudah populer sebelum era orang lazim menggunakan bike computer dengan GPS. Karena ada yang memberi "penanda" cat tapak tangan di belokan-belokan yang harus dilewati. Kadang dicat di aspal, kadang dicat di papan pengarah jalan.
Kalau pun ada jalan yang tak ada penanda, katanya itu karena aspalnya baru dan menutup cat lama.
Dan ini merupakan rute terpopuler di Taipei. Layak dicoba oleh mereka yang merasa dirinya cyclist sejati. Bagi yang tidak sanggup, tidak harus mengambil semua lima jari. Bisa ambil jempol saja, jempol dan telunjuk, membentuk tanda tiga jari "metal", dan kombinasi lain. Kalau mau hanya jari tengah pun bisa!
Kalau kembali lagi ke Taiwan, tentu ingin rasanya mengulangi lagi rute ini. Jangan sering-sering, tapi perlu dicoba lagi. Dan kalau sudah tahu rutenya, kita bisa membuat planning lebih rapi, membuat gowesnya lebih efektif dan efisien.
Saya dan teman-teman Mainsepeda mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua yang membantu kami di ICT dan KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia).
Kami dapat pengalaman seru. Semoga kita bisa kembali lagi ke Taiwan dan kita bisa gowes bersama lagi! (azrul ananda)