Bagi seorang cyclist, adalah sebuah kebanggaan ketika punya foto di puncak sebuah gunung. Terpikat foto-foto para teman di Thailand, saya pun ikut Doi Inthanon Challenge, di kawasan Chiang Mai di utara Thailand, 11 Februari lalu, mencoba gowes menuju puncak tertinggi di negara tersebut. Sekaligus penasaran, benarkah itu “The Hardest Climb” di Thailand?
***
Kalau Anda seorang cyclist sejati, Anda pasti akan mencoba mengoleksi sebanyak mungkin foto di puncak tanjakan. Seperti puncak Cemoro Sewu, Kilometer Nol Sentul, Tangkuban Perahu, Bromo, dan lain sebagainya.
Kalau melihat teman-teman di Thailand, mereka banyak mem-posting foto di Doi Inthanon, lalu menulis caption bertuliskan “The Hardest Climb.”
Saya sangat penasaran. Bukannya sombong ya, tapi saya pernah merasakan beberapa tanjakan yang lumayan ekstrem, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia ada Bromo misalnya, lalu di Italia ada Passo dello Stelvio, Passo Giau, dan lain-lain.
Doi Inthanon merupakan titik tertinggi di Thailand, di belahan Utara. Ada event lomba di sana, namanya Doi Inthanon Challenge. Jarak race-nya tidak panjang, “hanya” 48 kilometer. Tapi menanjak hingga 2.565 meter. Udara tipis oksigen, dan kanan-kiri banyak pohon tinggi karena merupakan bagian dari Doi Inthanon National Conservation Park.
Gila, sekitar 7.500 peserta ikut serta. Pendaftaran langsung penuh dalam waktu kurang dari lima hari. Pada 2018 ini, event dihelat untuk kali ke-11, dan tiap tahun peserta terus bertambah.
Hanya membayar 800 Baht (sekitar Rp 340 ribu), peserta mendapatkan nomor peserta dengan timing chip, akses ke water station, medali, sertifikat, dan juga makan siang saat mencapai puncak.
Helen Tan (Kanan)
Yang menarik dari race ini, pada saat registrasi pendaftar dapat memilih coral atau wave, sesuai dengan waktu tempuh yang diperkirakan untuk mencapai puncak. Pada Hari H, peserta dengan wave (gelombang) yang dipilih rapi mengantri di kawasannya masing-masing.
***
Saat race day, Minggu, 11 Februari, cuaca cukup dingin. Pukul 07.00 pagi, matahari sudah tinggi, namun temperatur di Garmin saya menunjukkan angka 15 derajat Celcius.
Pukul 07.30, gelombang atau wave pertama diberangkatkan. Ini adalah kelompok profesional, yang diperkirakan bisa finish dalam waktu tak sampai 2 jam 30 menit.
Ketika giliran kelompok saya berangkat, rasanya begitu semangat. Rute yang dilewati begitu menyenangkan. Steril dari mobil dan motor (kecuali milik ofisial). Jalanan lebar dan permukaan mulus. Dua lajur kendaraan semua dipergunakan untuk peserta lomba.
Sambil gowes, saya perhatikan banyak keragaman jenis sepeda. Ada road bike yang high end sampai MTB yang basic. Peserta juga aneka ragam. Ada yang tua, muda, langsing, tidak langsing, kelihatan pro, atau yang membawa kantong kresek isi pisang rebus sebagai bekal!
Sepuluh kilometer pertama boleh dibilang fast track. Datar dan kadang diselingi turunan. Lalu melewati gerbang tiket memasuki taman konservasi Doi Inthanon. Dan 500 meter kemudian… Ada sambutan tanjakan dengan kemiringan 16 persen! Pendek tapi mengagetkan.
Di sini belum banyak peserta yang TTB (TunTun Bike). Tapi, setelah sambutan pertama itu, saya mulai waswas. “Mulai nih. Siap-siap,” kata saya dalam hati.
Ternyata, hingga titik 36 km, rutenya masih tergolong “normal.” Menantang karena jarak menanjaknya cukup panjang, tapi maksimal kemiringannya di kisaran 15-16 persen dan masih manageable.
Dalam hati saya kembali berkata: “Oh OK lah kalau segini. Gak terlalu berat.”
Ternyata I SPOKE TOO SOON!
Memasuki gerbang ketiga, alias gardu untuk cek tiket masuk taman, belum ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Lalu kurang dari 1 km kemudian, baru tampak tanjakan yang panjaaaaaaang dipenuhi dengan barisan TTB.
Pemandangan di kanan-kiri jalan bukan lagi pepohonan tinggi. Tapi kami sudah berada di kawasan terbuka, dengan pandangan luas tanpa batas. Ini sudah mencapai titik ketinggian di mana pohon tak lagi tumbuh.
Jalanan mulai berkelok. Menunjukkan bahwa kemiringan semakin tidak bersahabat. Penanjakan di segmen ini banyak konstan di kisaran 13-16 persen. Tapi, tidak pernah seumur hidup saya berada di kemiringan 15 persen selama itu!
Jarak sepanjang 6-7 km sama sekali tidak dikasih kendor. Pilihannya hanya dua: Terus gowes dengan kecepatan rendah atau TTB sampai atas. Karena akan sangat sulit untuk naik ke sadel kembali jika sudah clip off alias turun dari sepeda.
Jujur, saya sempat gowes di sebelah peserta yang TTB. Di benak saya, kalau dia lebih cepat jalannya, lebih baik saya ikut turun dari sepeda! Tapi ternyata, saya tetap masih lebih cepat berada di atas sepeda. Berkali-kali ada ucapan menggoda di dalam kepala: “Turun bentaaaar aja. Abis itu lanjut lagi deh. Janji!”
Mendengar itu, saya menggunakan taktik “nanggung.” Maksudnya, nanggung kalau sudah segini. Sebentar lagi sampai!
Semakin ke atas, makin banyak yang TTB. Untung mereka tertib dan tidak menutupi jalan. Petugasnya sigap, ada tim semprot anti-kram yang siap memenuhi permintaan kapan saja.
Melihat Garmin, rasanya jaraknya tak kunjung bertambah. Tidak sampai-sampai. Strategi fueling (asupan) dan salt stick (elektrolit) memegang peranan penting.
Ketahanan otot benar-benar diuji. Di sini baru terasa manfaat dari strength training dan indoor training menggunakan cadence (putaran) rendah. Otot kaki, bokong, perut, semua harus bekerja sama dengan harmonis.
Kecepatan saya di masa-masa akhir itu? Hanya 4,1 km/jam. Ketika kemiringan membaik jadi 9 persen, rasanya seperti recovery. Lalu sayup-sayup terdengar musik dan suara MC. Berarti saya sudah hampir selesai! Garmin sudah menunjukkan jarak lebih dari 45 km.
Sekitar 200 meter terakhir sebelum finish, jalanan terasa datar. Saya kebut! Catatan waktu saya? 3 jam dan 52 menit. Horeeeee!
Di bagian puncak, terdapat lapangan luas. Tergeletak sepeda-sepeda peserta yang sudah lebih dulu finish. Stan sponsor di kanan-kiri. Stan makanan berada di seberang. Ada bakmie, nasi rames, pad thai, susu kedelai, air putih, kopi, dan lain-lain.
Di gerbang finish terdapat beberapa stand dengan laptop dan printer kecil, yang memberikan print out hasil lomba peserta sesuai dengan waktu. Lalu peserta menunjukkan kertas itu untuk mendapatkan stiker dengan catatan waktu masing-masing. Menyenangkan sekali punya medali dengan catatan waktu.
Untuk turun kembali ke garis start, panitia Doi Inthanon Challenge mencarter beberapa truk yang sudah dimodifikasi, plus kendaraan umum. Kalau mau gowes turun juga bisa.
Secara keseluruhan, Doi Inthanon adalah tanjakan terberat yang pernah saya rasakan! Memang tidak ada tanjakan “tembok,” tapi benar-benar menguji kekuatan fisik dan mental. Tidak heran, Doi Inthanon menjadi salah satu tanjakan bergengsi bagi cyclist di Thailand.
Tahun ini, pemenang pria tercepat mencatat waktu pas 2 jam. Sedangkan pemenang perempuan mencatat 2 jam dan 56 menit.
Luar biasa, benar-benar event yang saya rekomendasikan untuk Anda coba! (*)
TENTANG PENULIS:
Helen Tan adalah penggemar olahraga sepeda dan triathlon. Sehari-harinya manajer operasional di sebuah perusahaan alat kesehatan rumah sakit. Helen merupakan bagian dari Fitness First Performance Team dan TheBodyShop Cycling Team, sekaligus ambassador Pinarello Indonesia.