Memotret orang bersepeda itu jauh lebih sulit daripada MotoGP dan Formula 1. Berdasarkan pengalaman saya meliput event-event sepeda dan mengunjungi sirkuit-sirkuit kelas dunia, percayalah!
Bahkan memotret event sepeda orang Indonesia pun lebih sulit dari memotret aksi Valentino Rossi atau Lewis Hamilton!
Memang, MotoGP dan Formula 1 kecepatannya seperti setan, tapi mereka hanya putar-putar sirkuit. Kalau kehilangan momen, hanya tinggal menunggu paling satu atau dua menit mereka akan nongol kembali.
Nah kalau event sepeda, kita harus benar-benar tahu rute yang akan dilalui. Kalkulasi dulu melewati berapa “bangjo” alias traffic light. Lalu berapa kali lewat pasar, dan apakah pas hari pasaran. Kalau kena hari pasaran, modar wis, pasti kendaraan bisa nyangkut ketinggalan peloton.
Sebab, menurut rumus kecepatan, kendaraan tukang foto harus bisa dua kali lebih cepat dari peloton sepeda, untuk bisa menyalip.
Orang-orang yang hobi motret acara sepeda seperti saya, seperti “Pak Kom” Irawan Djakaria-nya Ratjoen Cycling Club (RCC) Malang pasti setuju.
Bukan hanya hafal medan dan bisa bergerak cepat, tukang foto juga harus sadar untuk tidak mengganggu para cyclist. Khususnya ketika menanjak. Apalagi ketika tanjakannya panjang dan berat seperti event Bromo.
Apalagi (lagi) kalau sang cyclist sedang ngotot mengejar PR alias personal record.
Saya menyadari ini kali pertama beberapa tahun lalu, saat memotret Azrul Ananda (Presiden Klub Persebaya yang cyclist serius) di sebuah tanjakan tak jauh dari Surabaya.
Saya waktu itu dihalau oleh dia, karena saya menyalip terlalu dekat dan sempat mengganggu konsentrasinya. Waktu itu, saya benar-benar belum tahu tata krama sepeda!
Paling enak kalau grup yang difoto sudah tahu harus bagaimana di tanjakan, sehingga gerakan mereka tidak akan membahayakan cyclist lain dan bisa ditebak mudah oleh kendaraan di sekeliling. Kalau di Surabaya, kelompok seperti ini ya anak-anak Azrul Ananda School of Suffering (AA SoS), yang suka hajar-hajaran hari Rabu dan Sabtu.
Mereka tahu, kalau akan difoto harus minggir. Mereka juga kompak menuntun saya dengan kode-kode tangan, kapan harus menyalip dan bertahan di tempat.
Tapi, yang paling bikin kesal adalah ketika sudah dapat spot bagus dan siap menjepret, lalu cyclist-nya tiba-tiba mengacungkan jempol sambil meringis memperlihatkan gigi!
Boro-boro kalau giginya bagus, minimal sekelas Ultegra. Kalau tidak? Spontan, dalam hati saya berteriak **** (sensor)!!!
Bagi para cyclist yang ingin fotonya bagus saat beraksi, Anda harus sadar pula kalau tukang foto butuh obyek yang natural. Maaf, kami tidak butuh jempol.
Masa saya harus pasang spanduk bertuliskan: “Tukang Foto Tidak Menerima Ucapan Terima Kasih Dalam Bentuk Jempol.”
Lebih baik konsentrasi pada tanjakan, sehingga foto yang dihasilkan bisa keren dan natural. Karena bikin foto yang natural itu sulit.
Kalau cyclist-nya kebanyakan gaya dan pose, saya harus menerapkan trik khusus. Kadang saya sengaja mengarahkan lensa ke wajah “penjempol,” namun shutter tidak saya tekan. Lama-lama dia akan capek sendiri mengacungkan jempol dan pasang wajah meringis. Saat kembali natural baru saya klik.
Di sisi lain, untuk membuat foto natural dan momen yang bagus, tukang foto juga harus siap jadi “Raja Tega.”
Perhatikan foto-foto natural dengan momen-momen “mahal” yang mendampingi tulisan ini. Kalau hati saya tersentuh dan ingin menolong, maka saya tidak akan mendapatkan fotonya. Lebih baik jepret dulu, lalu pura-pura menanyakan kondisinya setelah jatuh. He he he…
Klik! Klik! Klik!
Baru kemudian menolong… (*)
TENTANG PENULIS:
Dewo Pratomo merupakan sahabat para cyclist, sering jadi raja tega mencari momen kocak memalukan untuk dipotret dan dipublikasikan (kebanyakan di halaman fesbuknya).