Bromo KOM Bukan Hanya soal Medali (#wanijujurwaniajur)  

| Penulis : 

Selesai sudah rangkaian Herbana Bromo KOM Challenge 2019. Sebagai salah satu founder event ini, saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat. Selamat kepada para juara, selamat kepada para finisher, dan mohon maaf kepada yang belum bisa menyelesaikan tantangan ini di bawah COT (cut off time), dan akhirnya tidak bisa menerima medali (kepala sabuk).

Seperti biasa, beragam feedback kami terima dari para peserta. Kebanyakan positif, membuat kami semakin semangat untuk membuat event ini lebih baik dan lebih meriah. Ada juga beberapa feedback negatif, dan itu hanya akan membuat kami lebih baik. Terima kasih atas semua feedback-nya.

Dari sekian banyak masukan itu, ada satu jenis masukan yang paling menggelitik di hati saya. Dan ini setiap tahun selalu diutarakan.

Ko, banyak yang finis ‘curang’ kok dapat medali?”

“Aku lihat peserta naik ojek, tapi tetap dapat medali.”

Kira-kira seperti itu.

Jujur, bertahun-tahun saya –dan rekan-rekan penyelenggara-- kebingungan menjawab ini. Tidak mungkin bagi kami panitia untuk menyebar sekian banyak kru hanya untuk jadi detektif. Apalagi ini tergolong mass bike race (mass participation event) dengan ribuan peserta.

Karena itu, saya ingin mendedikasikan tulisan ini kepada para peserta yang finis Herbana Bromo KOM Challenge 2019 dengan fair maupun gagal memenuhi COT dan tidak dapat medali. Karena bagi saya pribadi, mereka inilah cyclist sejati yang tidak kenal kata menyerah.

Beberapa akan saya tulis di bawah ini:

Fery Mamen (Brompton Ngalam Squad)

Postingan Fery inilah yang kali pertama memberi saya ide untuk menulis kolom ini. Dia mem-posting fotonya di media sosial, di depan gate finis, dengan bangga dan tangan mengepal ke atas (seolah menang). Dia menyertakan pula waktu tempuhnya, yaitu 4 jam dan 48 menit. Caption: “Better luck next time. No medal, no worries.”

Lucunya, di salah satu komen temannya di postingan itu, dia berkata dan tag ID saya “Complain medal ini caption-nya.” Candaan itu membuat saya tertawa dan terhibur setelah beberapa hari tegang dan kurang tidur. Hashtag #wanijujurwaniajur (berani jujur berani hancur) saya dapatkan dari postingan bro Fery.

Ade Yulianto (Brompton Monas Cyclist)

Bro Ade adalah teman kuliah di Sydney dulu. Sebelum dia daftar, dia sempat menghubungi saya. Bertanya soal rute Bromo. Yang membuat saya kaget, meskipun saya ceritakan betapa sakral dan beratnya tanjakan Bromo, ternyata dia dan komunitasnya tetap niat ikut gowes dari Surabaya. Seharusnya, kelas Brompton start dari Pasuruan.

Usianya memang masih 38 tahun, dan kelihatan sudah terlatih. Tapi saya hanya bisa mendoakan semoga dia bisa berhasil.

Akhirnya, saatnya pun tiba. Pada km 80 dia mengalami kram yang pertama, disusul kram-kram selanjutnya sampai akhirnya finis. Di tempat finis, dia mencari saya. Dia langsung bilang: “Wan, yang kamu omong soal Bromo bener. This is the worst climb ever! And I got it all wrong!”.

Meski demikian, saya senang dia tidak kapok. “I will be back next year!”, ucapnya.

Mil Budianto Pdt

Naaaah, Ko Mil ini mungkin salah satu yang paling capek di antara para peserta. Ko Mil berhasil finis pada pukul 14.57 alias gowes selama enam jam!

Pada saat finis, teman-temannya menyoraki dan mengajak dia foto bersama. Salah satunya menawarkan untuk meminjamkan medali. Tapi dia tidak mau. “Tidak. Saya tidak finis di dalam COT. Saya tidak mau foto pakai medali,” tukasnya.   

Sepanjang perjalanan, Ko Mil mengaku sering ditawari bantuan oleh para marshal untuk dievakuasi. Karena jam sudah melewati pukul 13.30 (official COT, plus toleransi bagi yang sudah lewat km terakhir pada jam itu). Tapi Ko Mil selalu menolak.

Saya salut melihat perjuangan-perjuangan semacam ini. Ini tidak mudah. Ini sangat menyakitkan. Padahal kalau mau menyerah pun orang akan memaklumi. Tapi Ko Mil memilih untuk menyelesaikan apa yang dia mulai.

Achmadi SpOG (Young Surgeon Cycling Community)

Dokter yang satu ini sebetulnya sudah sering ikut event Bromo. Bahkan hampir setiap tahun ikut. Tetapi kali ini berbeda, karena kali ini dia mencoba tantangan baru menggunakan seli (sepeda lipat).

Semua berjalan dengan lancar sampai 3 km menjelang finis. Bannya bocor. Teman-teman menawarkan untuk evakuasi. Karena dia pun tahu, finis pun pasti akan di luar COT dan tidak dapat medali. Meski demikian, dia memilih melanjutkan perjalanan menuju garis finis dengan cara BERLARI. Ya, berlari dengan menuntun sepeda pada 3 km terakhir.

Waktu saya bertanya, “Lho Dok, kan udah tahu kalau finis pun gak dapet medali.” Dia hanya menjawab: “Finis itu jauh lebih terhormat dan berharga dibandingkan sebuah medali. Pokoknya saya harus punya foto finis.”

Sebenarnya, masih banyak lagi kisah-kisah inspiratif dari teman-teman yang finis di luar COT. Yang tidak bisa saya ceritakan satu per satu di sini. Bagi saya, mereka inilah yang harus mendapat apresiasi khusus.

Kebetulan saya bukan termasuk cyclist yang seterong. Saya adalah anggota GPT (Grup Papan Tengah) dan sering merasakan sakitnya “mbambung” berjam-jam di tanjakan. Saya bisa membayangkan betapa sebuah perjuangan pada akhirnya tidak mendapat medali.

Sebenarnya, menurut saya, medali itu baru akan ada nilainya apabila ada CERITA di balik proses mendapatkannya. Air mata, keringat, perjuangan. Dan cerita itu lebih penting daripada medalinya sendiri.

Saya dan teman-teman penyelenggara Bromo KOM pernah ikut even serupa di Italia, bernama Maratona Dolomiti. Di mana kita harus menaklukkan tujuh gunung di kawasan Dolomiti. Saya finis hanya 15 menit sebelum COT yang ditentukan.

Pada saat melihat gate finis, secara tidak sadar air mata keluar secara otomatis. Karena akan sangat menyakitkan kalau kita terbang jauh-jauh ke Italia dan gagal finis dalam COT.

Suhu waktu itu ekstrem. Di turunan pakai jaket, waktu nanjak lepas jaket, begitu terus sebanyak tujuh gunung. Udara tipis, berkali-kali lewat ketinggian 2.000 meter. Jumlah peserta mencapai 10 ribu orang!

Tidak ada support mekanik, harus bawa ban dalam dan tool sendiri apabila ada masalah. Beruntung sepeda saya tidak bermasalah waktu itu.

Segala perjuangan itu membuat medali finis yang saya dapatkan sungguh-sungguh berarti dan sudah terpajang di kamar tidur saya.

Nah, bagi teman-teman yang telah mendapatkan medali Herbana Bromo KOM Challenge 2019 dengan susah payah dan dengan cara yang fair, saya ucapkan selamat. Karena itu adalah medal of honor.

Bagi yang belum berhasil finis dan mendapatkan medali, mari kita bertemu lagi tahun depan. Jangan iri kepada mereka yang kelihatannya finis dan dapat medali, padahal mereka dibantu oleh tangan-tangan dan jok-jok ajaib dari bapak tukang ojek. Karena bagi saya dan teman-teman yang saya tulis di atas, jauh lebih membanggakan finis dengan terhormat tanpa medali. Daripada finis mendapatkan “Medal of Ojek.” (cipto s. kurniawan)

TENTANG PENULIS

Cipto Suwarno Kurniawan, akrab dipanggil Wawan, adalah salah satu inspirasi di balik acara gowes ke Wonokitri, Bromo. Jauh sebelum adanya event, Wawan sering mengajak teman-teman Surabaya gowes ke vilanya di kawasan Puspo (sekarang dekat drink stop pertama). Lama-lama, gowesnya makin tinggi hingga akhirnya sampai Wonokitri. Karena menanjak ke atas selalu seru, dan ternyata jarak dari Surabaya ke Wonokitri pas di kisaran 100 km, akhirnya lahirlah event ini pada 2014.

 

 

 

Populer

Kosong Sembilan CC, Pecinta Kecepatan Dalkot Jakarta Tiap Selasa
Campagnolo Kembali ke Balapan WorldTour 2025
Hujan Sepanjang Jalan, Puluhan Cyclist DNF
Journey to TGX 2024, Penuh Cerita Tak Terlupakan
Journey To TGX 2024 Terbuka untuk Berbagai Jenis Sepeda (No eBike!)
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan
De Bleu CC Gairah Kota Biru
Taiwan KOM 2024 - Rute Lama Kena Gempa, Rute Baru Jadi 150 Km
Remco Evenepoel Celaka saat Latihan, Patah Beberapa Tulang
Ijen KOM 2024: Inilah Kuliner Hidden Gem Banyuwangi, Wajib Cicip!