Dengan penuh keraguan saya mengisi pendaftaran online untuk Herbana Bromo KOM Challenge 2019. Akhirnya saya bulatkan tekad untuk mengklik tombol daftar dan segera membayar penuh biaya pendaftaran. Mengapa saya ragu? Karena saya sudah lama tidak bersepeda dan melihat kesibukan yang saya akan hadapi beberapa bulan ke depan, rasanya persiapan juga akan minim sekali. Tapi jika tidak memberanikan diri, kesempatan belum tentu datang kembali.
Benar saja! Bukan hanya kesibukan yang membuat tidak punya cukup waktu untuk berlatih, tetapi juga mengalami cedera di tumit sebelah kiri pada akhir Desember 2018 ketika menyelesaikan even lari untuk amal @nusantarun. Keinginan untuk mengundurkan diri muncul dan semakin kuat setelah membaca ulasan Azrul Ananda di mainsepeda.com dalam artikelnya yang berjudul “Bagaimana Menaklukan Tanjakan Bromo KOM.”
Beliau menulis begini: “Kalau Anda jarang latihan, makan semaunya, ya ini rute yang... Ngapain Anda ikut? Rute Bromo KOM adalah tanjakan yang menuntut respect. Kita â¨harus respect terhadap tanjakan ini kalau ingin menaklukkannya dengan baik. Kita juga⨠harus respect terhadap peserta lain, yang mungkin sudah bersusah payah berlatih untuk bisa menaklukkannya dengan baik.”
“Ngapain juga dia nulis kayak gini pikir saya. Seperti tertampar rasanya dan membuat kesal dan emosi setelah baca tulisannya, tapi saya tahu kalau dia benar banget! hahaha.... Pertanyaannya “Ngapain anda ikut?” membuat saya merenung lebih dalam. Karena saya yakin jika pertanyaan ini bisa dijawab dengan benar, maka jawaban saya bisa membawa weak cyclist ini finish strong sampai ke finish line.
Alasan pertama saya ikut Herbana Bromo KOM Challenge 2019 karena ingin menikmati dua hal yang saya cintai, yaitu: keindahan alam Indonesia dan bersepeda. Alasan yang sederhana ini sebenarnya merupakan sebuah kemewahan. Mengapa? Untuk ikut even gowes ini perlu tiga hal: uang, waktu dan kesehatan yang prima. Ada uang tapi tidak ada waktu dan kesehatan, kita tidak bisa ikut. Ada waktu, tidak ada uang dan kesehatan juga tidak bisa ikut. Ada kesehatan, tapi tidak ada uang dan waktu juga tidak bisa ikut.
Jadi ada uang, waktu dan kesehatan yang prima itu adalah sebuah kemewahan maka kita harus syukuri pada saat kita “menderita” melahap tanjakan di Bromo yang kejam itu. Bisa menikmati keindahan alam Indonesia dan bersepeda pada saat bersamaan juga momen indah yang harus dinikmati setiap detiknya.
Orang mungkin berpikir saya paling menderita karena salah satu peserta yang gowes paling lama. Tapi kalau saya pikir, saya orang yang paling bahagia karena bisa menikmati berlama-lama. Sudah bayar mahal-mahal kok dinikmati sebentar hahaha...
Berlama-lama sebenarnya bukan karena capek, tapi karena saya juga menikmati setiap percakapan dengan orang yang sangat jarang saya temui dalam keseharian saya: ibu penjaga warung, bapak penambal ban yang tempatnya saya pakai untuk istirahat, petugas feeding station, marshall yang mengawal jalannya acara, dan teman-teman pesepeda lainnya yang menderita dan berjuang bersama saling memberi semangat.
Mereka semua ini bagian dari acara Herbana Bromo KOM Challenge yang mungkin tidak bisa dinikmati oleh pesepeda yang cepat dan mengejar KOM. Sebenarnya banyak hal yang bisa kita syukuri dari acara ini ketika kita bisa melihatnya. Jangan lupa bahwa kita harus bersyukur juga kepada TUHAN, karena selain uang, waktu dan kesehatan, IA memberikan izinNya sehingga kita semua bisa mengikuti acara ini dari awal sampai akhir. Ingatlah selalu bahwa bisa melakukan sesuatu yang kita cintai adalah berkat TUHAN yang melimpah.
Kedua, karena saya menyadari bahwa saya bukan fast and strong cyclist (pesepeda yang cepat dan kuat), untuk even kali ini saya hanya fokus untuk mengukur pengembangan kapasitas diri saya: apakah saya cyclist yang faster dan stronger (pesepeda yang lebih cepat dan lebih kuat) dari yang sebelumnya.
Jadi target yang ingin dicapai bukan perfection (kesempurnaan), tapi progress (pertumbuhan). Ini ketiga kalinya saya ikut even gowes ke Wonokitri, Bromo. Tahun 2015 saya berhasil lewat garis finish. Walaupun berhasil, tapi saat itu saya mengalami kram begitu parah sehingga begitu menderita untuk menyelesaikan even.
Tahun 2016 saya gagal, sudah menyerah saat di Puspo. Dan tahun 2019 ini saya lulus lagi dan membuktikan saya seorang pesepeda yang lebih cepat dan lebih kuat daripada sebelumnya, karena bisa menebus kegagalan saya di tahun 2016. Walaupun kurang latihan tetapi tidak kram sama sekali. Kok bisa?
Karena sudah ada pengalaman. Sudah bisa mengontrol emosi dan mengatur strategi dengan lebih baik. Yang paling penting saya mengenali keadaan tubuh saya dengan baik. Ternyata, tanpa saya sadari, saya menjadi pesepeda yang lebih dewasa, yang tidak mengandalkan otot, tapi juga menggunakan otak.
Saat tahun 2015 saya masih menuntun sepeda saya melewati garis akhir karena sudah tidak kuat sama sekali dan langsung tepar saat di finishing zone dan tidak ada foto kenangan di photo booth. Kali ini saya berhasil menggowesnya hingga tanjakan akhir yang kejam itu dan sambil senyum-senyum mengabadikan kemenangan pribadi di photo booth walau tanpa harus memegang medali. Bahkan keesokan harinya saya masih sanggup mengambil pesawat jam 6 pagi Surabaya-Jakarta untuk melakukan tugas saya sebagai seorang pendeta untuk berkhotbah sebanyak 3 kali di gereja dengan antusias dan energi yang kuat.
Proses pertumbuhan menuju kedewasaan (progress) menghadapi tantangan juga sangat penting dalam even seperti ini. Ketika orang lain fokus pada performa akhir, saat ini saya menikmati proses pertumbuhan menjadi pesepeda yang lebih baik. Saya tidak menang melawan orang lain, tapi saya berhasil mengalahkan diri saya sendiri. Semoga even berikutnya saya bisa mengalahkan orang lain.
Target ketiga untuk saya bisa ikut even Herbana Bromo KOM Challenge 2019 tentunya adalah untuk finis strong dengan medali di leher dan sertifikat untuk dipajang di kantor. Tapi pada saat saya terus berjuang, saya bisa merasakan target ini lepas dari tangan perlahan demi perlahan dan itu menyakitkan.
Panas matahari yang menyengat, tubuh yang kehabisan energi, paru-paru yang terengah-engah mencari oksigen, pinggang yang menjerit kesakitan membuat perjuangan semakin berat dan rasanya semua usaha menjadi sia-sia. Apalagi di tengah jalan banyak pesepeda lainnya yang mengambil “jalan pintas” dengan ditarik ojek, didorong ojek, naik ojek dan bahkan naik mobil panitia untuk di drop ke dekat garis finish. Mau marah rasanya, tapi ya tergoda juga untuk melakukan hal yang sama.
Waktu menunjukkan pukul 13:30 ketika seorang marshal bertanya kepada saya apakah mau loading, karena saya sudah lewat cut of time dan posisi masih 6-7 km dari garis finish. Saya menjawab: “Suwun mas, saya akan gowes sampai finish.” Lalu dia menjawab: “Gak dapat medali loh mas!” Dengan lirih saya menjawab lagi: “Saya tidak cari medali mas!” Dalam hatinya mungkin dia berpikir: “Bapak ini kayaknya memang cari masalah bukan cari medali!” Hahaha...
Godaan semakin banyak menuju ke puncak dari para tukang ojek yang “baik hati”, tetapi dengan santai saya menolak tawaran mereka. Saya finis lebih lambat 1,5 jam dari cut off time dan tidak dapat medali. Ketika kita menggantungkan impian kita setinggi langit walaupun gagal kita masih berada di antara bintang-bintang.
Walaupun saya gagal mencapai target, tapi saya tahu bahwa saya masuk dalam kategori yang berbeda dengan mereka yang menyerah dan tidak selesai, apalagi dengan mereka yang finis dengan curang. Sukses yang saya dapatkan adalah sebuah sukses sejati dan bukan sukses ilusi yang dimiliki oleh mereka yang memegang medali tetapi menggunakan jasa dorong. Saya tidak akan pernah iri dengan foto-foto mereka, karena kita berbeda kelas.
Medali Herbana Bromo KOM Challenge tidak saya miliki hari ini dan tidak akan pernah bisa dipajang di kantor, tapi saya mendapatkan “medali kehormatan” atas perjuangan yang saya lakukan dengan kejujuran. Dan medali kehormatan ini tidak akan pernah hilang dan tidak ada orang yang bisa mengambilnya dari diri saya, karena medali itu dipajang di hati saya.
Orang lain mungkin tidak bisa melihatnya, tapi orang yang di dekat saya bisa melihatnya dengan jelas. Medali Herbana Bromo KOM Challenge hanya bisa dilihat oleh anak-anak saya, tetapi medali kehormatan ini akan mereka bawa sebagai warisan dan menjadi kebanggaan mereka juga.
Dari bersepeda saya belajar sesuatu yang bisa saya gunakan dalam kehidupan. Mungkin kita termasuk orang yang lemah, mungkin kita tidak dipersiapkan sebaik rekan-rekan kita yang lain, tapi jangan jadikan itu alasan untuk menyerah.
Ketika kita menemukan alasan yang benar ngapain kita hidup dalam setiap aspek kehidupan kita (karir, bisnis, pernikahan, rumah tangga, dll.), maka kita akan dapat kekuatan ekstra untuk menyelesaikan setiap pertandingan hidup ini dengan maksimal dan finish strong.
Walaupun mungkin harus berjuang keras, menahan setiap penderitaan dan meneteskan air mata, tapi hasil akhirnya adalah sesuatu yang bisa dibanggakan. Jangan sampai menyerah dan gagal memperoleh medali kehidupan! Jalani hidup ini dengan ucapan syukur, lakukan selalu yang terbaik dengan penuh integritas dan jangan pernah menyerah, karena setiap penderitaan mempunyai maksud, setiap perjuangan memiliki tujuan dan setiap kehidupan memiliki arti.
Jadi...ngapain anda hidup......?
TENTANG PENULIS
@milbudiyanto adalah seorang pesepeda papan bawah, pelari marathon yang tidak mudah dan juga baru belajar jadi triathlete. Pemilik hashtag #dilarangmalas ini bekerja di Gereja Mawar Sharon Surabaya dan dikaruniai satu orang istri @juluanbahri dan 2 orang anak @chloeandreab @darrenbudiyanto