Bermula dari tahun 1999. Saat itu, Chaidir Akbar masih tercatat sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Chaidir membangun sebuah sepeda merek Federal. Selama empat tahun, Chaidir melakukan bike to campus dari kos di kawasan Dago menuju ITB di jalan Ganesha.
Balik Jakarta tahun 2003 membuatnya vakum gowes. “Kebetulan tahun 2007 kantor menugaskan ke Bangka,” tuturnya. Di sinilah, cinta lama bersemi kembali.
Banyak sekali komunitas MTB dan Chaidir bergabung dengan mereka. Jadilah tiap akhir minggu pasti blusukan hutan. Dan menggunakan sepeda MTB Specialized P1. Sekaligus digunakan untuk Bike to Work. Setahun kemudian, kembali ke Jakarta.
Tentu membawa segala kenangan bersepeda MTB. Plus, punya hobi baru, memborong beberapa sepeda lipat. “Beli yang mirip MTB merek Downtube 9FS,” tukas Chaidir yang menggunakan sepeda lipat untuk gowes offroad dari Puncak turun ke Gadog.
Chaidir mengaku orientasi pertama bersepeda adalah untuk efisiensi dan efektifitas. Gowes itu untuk transportasi karena mudah dan sehat.
Menurutnya, bersepeda bisa sebagai stress release. “Sama seperti anak kecil dengan mainan baru yang ingin terus diutak-atik. Itulah saya dengan sepeda,” tuturnya.
Lalu naik level, bersepeda itu menjadi sebuah kebutuhan. Saat ini Chaidir yang juga brand ambassador Trek mengaku kecanduan gowes. Buat Chaidir, bersepeda bisa untuk bermeditasi, me time, dan banyak belajar serta menelurkan ide dan pemikiran. “Setiap hari, saya 1,5 jam diatas sadel untuk ‘me time’,” bangga ayah Mikail dan Akio.
Dari sepeda pula, Chaidir bisa kenal dekat dengan idolanya, Jens Voigt. Tahun 2017 saat di Bali, Chaidir memberi pengarahan cara-cara race triathlon dan berbagi strategi lomba dan menemani selama perlombaan.
Memberi pengarahan tentang race triathlon pada Jens Voigt.
“Pengalaman berharga buat saya. Bisa bersama pembalap kelas dunia. Saat itu dia bisa finis kedua overall dalam sprint distance triathlon,” bilangnya.
Chaidir juga menggunakan kesempatan travelling urusan pekerjaan dengan bersepeda. Sering sekali, sengaja tinggal berlama-lama di suatu daerah agar bisa gowes di sana. Agar tidak merepotkan, Chaidir membawa sepeda lipat ketika travelling ini.
“Hampir semua pulau besar dan kota besar sudah saya eksplor dengan sepeda,” bilang penghobi triathlon ini. Memang, sejak menekuni triathlon, Chaidir mulai beralih ke road bike.
Sepeda road bike pertama adalah Polygon Helios 300TT seharga 6 juta beli dari kawan, Edward Djauhari. Mendukung cycling di triathlon, Chaidir memasang aerobar.
Sejak saat itu, suami dari Naning mulai menjual sepeda MTB dan sepeda lipat agar jumlah sepeda di rumah masih tetap empat buah. “Sesuai dengan yang diijinkan oleh istri saya,” tukasnya lantas tertawa.
Lambat laun, Chaidir merasa lebih cocok dengan road bike karena bisa meningkatkan stamina dan endurance. “Fisik juga lebih membaik. Saya bisa lebih fit dan lean. Berbeda ketika bermain MTB, saya makin gemuk hingga 90 kg,” ujarnya.
Di rumahnya, di kawasan Damai Petukangan, Jakarta Selatan, ada Trek Speed Concept, Trek Madone SLR 6 Disc, Trek Domane ALR 4, dan Trek Pro Caliber.
Mengeksplor Indonesia dengan road bike pun tidak ada masalah. Bahkan lebih enak karena tidak perlu masuk hutan. Chaidir sangat mencintai gunung, jadi rute tanjakan selalu jadi pilihan.
Hawa segar, minim polusi dan pemandangan indah itu yang jadi daya tariknya. “Apalagi jika gowesnya sambil hujan-hujanan. Asyik banget!” tuturnya.
Sejak mengenal triathlon sekitar tahun 2010, Chaidir aktif mengikuti lebih dari 70 perlombaan balap sepeda mulai dari MTB, sepeda lipat, uphill, criterium, dan duathlon. “Wishlist saya adalah mengikuti perlombaan sepeda gravel paling akbar di dunia, Dirty Kanza di Amerika,” tuturnya.
Ikut marathonpun sempatkan bersepeda
Keluar negeripun Chaidir tidak pernah absen bersepeda. Bedanya, Chaidir mencari persewaan sepeda, jadi tidak ribet membawa dari Indonesia. Waktu mengikuti Berlin Marathon tahun 2017 silam, Chaidir berangkat bersama tiga teman. “Sengaja pilih teman yang runner juga goweser. Biar bisa have fun bersepeda setelah acara run,” tutur pria kelahiran Bogor ini.
Saat itu, hari pertama bersepeda eksplor kota Vienna di Austria. Waktu itu dengan city bike biar mudah. “Gampang banget sewa city bike karena tersebar di berbagai sudut kota,” bilangnya.
Lalu jadwal gowes pindah ke Swiss. Di negeri coklat ini, Chaidir menggunakan MTB. Karena lelah, mereka sepeda dibawa naik kereta ke atas gunung Titlis lalu gowes turun dari Engelberg ke Luzern.
Lanjut hari ketiga, Chaidir dan kawan-kawan menggunakan road bike untuk recovery setelah marathon. Kali ini mereka pindah ke Italia dan menanjak ke Stelvio Pass dari sisi Bormio.
“Berkesan banget karena itu pertama kalinya saya sepedaan dengan elevasi segitu. 2.650 meter dengan ditemani salju di kiri dan kanan,” bangga pria kelahiran 1982 ini.
Menurutnya, jika tidak mengenal sepeda, liburan ke Eropa pasti “kering” dan tidak berkesan. Foto hanya di depan gedung kuno yang membosankan. (mainsepeda)