Di usia 36 tahun, Philippe Gilbert terus mencatatkan nama di buku sejarah. Minggu lalu, 14 April, pembalap Belgia itu sukses merebut balapan Classic paling bergengsi, Paris-Roubaix. Ini berarti, Gilbert telah memenangi empat dari lima balapan Monument. Yaitu lomba-lomba one-day paling bergengsi di dunia.
Pada 2009 dan 2010, Gilbert telah memenangi Il Lombardia. Pada 2011, dia memenangi Liege-Bastogne-Liege. Kemudian, pada 2017, dia sukses merebut Tour of Flanders. Dan tahun ini, giliran Paris-Roubaix. Sekarang, tinggal satu Monument yang belum dia raih. Yaitu Milan-San Remo.
Dalam sejarah cycling, hanya tiga legenda pernah memenangi lima Monument. Yaitu Eddy Merckx, Rik Van Looy, dan Roger De Vlaeminck.
Mampukah Gilbert melengkapi koleksi gelar Monument?
Tiga tahun lalu, orang mungkin banyak yang meragukan. Selain faktor usia, kelima Monument itu menuntut skill yang berbeda-beda.
Il Lombardia dan Liege-Bastogne-Liege banyak disebut sebagai Monument-nya para climber. Karena rutenya terus naik-turun. Sementara Tour of Flanders dan Paris-Roubaix adalah “cobbled classic,” harus tangguh melintasi jalanan berbatu yang kejam dan meremukkan badan.
Milan-San Remo cenderung jadi milik para sprinter. Meski para climber berkali-kali berhasil mencurinya setelah melarikan diri pada tanjakan curam dan turunan berliku di penghujung lomba.
Secara karakter, Gilbert adalah seorang puncheur. Bertinggi badan 179 cm, dia termasuk “tanggung.” Tidak cukup kurus untuk jadi pure climber, tidak cukup besar untuk jadi pembalap cobbled classic murni. Sebagai sprinter, dia bukan peluru tercepat di jalan datar. Tapi dia punya kemampuan “meledak” luar biasa kalau harus sprint menanjak.
Skill terakhir itu telah membuahkan banyak kemenangan bergengsi lain. Seperti juara Amstel Gold Race dan La Fleche Wallonne, beberapa etape serupa di Tour de France, Giro d’Italia, dan Vuelta a Espana. Tidak ketinggalan, gelar juara dunia 2012 di Belanda, di rute Amstel Gold Race.
Ditanya soal karakter ini, Gilbert menyebut dirinya memang mampu, dan punya cukup dedikasi, untuk menyesuaikan tubuh dan kemampuan.
Soal mental juara, sudah tak perlu diragukan. Hanya soal niat untuk mentransformasi badan dan karakter kekuatan yang dibutuhkan.
Menurut Gilbert, dia di awal karir sebenarnya lebih cocok untuk rute berat seperti Flanders dan Roubaix. Kebetulan saja dia “pindah kategori” ke lomba-lomba yang lebih menanjak.
“Saya selalu memimpikan Roubaix. Karena saya selalu baik di jalanan berbatu. Hanya saja saya memilih melakukan hal lain dalam karir saya. Rasanya seperti melakukan sport yang berbeda selama beberapa tahun. Saya telah bertarung melawan climber dan sekarang melawan para rouleur. Kalau ini tinju, rasanya seperti bertarung di kelas yang berbeda,” tutur Gilbert pada 2018, usai memenangi Flanders.
Secara bobot, Gilbert mengaku tidak perlu mengubah banyak untuk tantangan yang berbeda ini. Beratnya selalu konstan di kisaran 70 kg. Yang perlu dia “utak-atik” adalah cara menggunakan kekuatan.
“Bobot badan sama. Yang beda adalah latihannya. Roubaix ini yang terpenting adalah power (keseluruhan),” ungkapnya.
Baca juga : Gilbert juara Paris-Roubaix
Ini berarti, untuk menaklukkan Milan-San Remo di tahun-tahun ke depan, Gilbert harus mengubah lagi pola latihan. Harus kembali ke eksplosif, dan top end speed terbaik.
Melihat dedikasinya selama ini, sekarang tidak boleh ada yang meragukan Gilbert. Ketika Milan-San Remo bergulir pada Maret 2020 nanti, semua akan memperhatikan seorang Philippe Gilbert.
“Saya orang yang suka menghadapi tantangan-tantangan baru. Itu sangat memotivasi saya,” tandasnya.
Asal tahu saja, Gilbert sudah pernah naik podium di Milan-San Remo dua kali. Yaitu finis ketiga pada 2008 dan 2011.
Ayo satu lagi, Gilbert! (mainsepeda)
Foto : Getty Images dan Bettini Photos