Dunia sepeda punya superstar baru. Pembalap Belanda bernama Mathieu Van der Poel. Usianya masih 24 tahun, dan di kiprah perdananya di arena Classics langsung meraih hasil-hasil spektakuler. Dia pun banyak disebut sebagai “The Next Peter Sagan.” Bahkan, ada yang bilang dia lebih hebat dari bintang Slovakia tersebut.
Tahun ini, Van der Poel memang “meledak.” Juara dunia cyclocross ini langsung meraih hasil gemilang demi hasil gemilang. Dia finis keempat di Gent-Wevelgem dan Tour of Flanders. Kemudian, dia menang Dwars door Vlaanderen dan Brabantse Pijl. Minggu lalu (22 April), dia pun meraih kemenangan terheboh dalam karirnya. Merebut lomba paling bergengsi di Belanda, Amstel Gold Race.
Van der Poel meraihnya secara spektakuler. Pada km terakhir, dia “menyeret” belasan unggulan ke depan, memburu tiga peserta breakaway. Dengan 400 meter tersisa, dia terus tancap gas. Menyalip lalu terus sprint.
Hebatnya, tidak satu pun pembalap mampu mengimbanginya.
Van der Poel pun menang, geleng-geleng kepala sendiri, lalu terjatuh karena benar-benar “habis.” Usai lomba, dia mengaku tidak peduli bisa menang atau tidak. “All or nothing,” adalah prinsipnya di kilometer terakhir.
Ini sesuai dengan omongannya saat memenangi Dwars door Vlaanderen, Maret lalu. Bahwa dia ingin balapan lebih memakai insting.
Dengan hasil ini, orang-orang pun mulai menyebutnya sebagai “The Next Peter Sagan.” Seorang bintang yang punya berbagai kemampuan, bisa menang dalam berbagai medan. Bahkan, ada yang bilang dia sudah lebih baik dari Sagan, sang juara dunia tiga kali.
Sangat mungkin, anggapan itu adalah benar.
Di usia 24 tahun ini, Van der Poel sudah jauh lebih berprestasi daripada Sagan. Sudah berkali-kali jadi World Champion di arena cyclocross. Sudah memenangi banyak lomba bergengsi di arena MTB.
Gen-nya mungkin memang istimewa. Ayahnya, Adri, adalah mantan bintang yang memenangi banyak lomba bergengsi. Termasuk juga di Amstel Gold Race pada 1990. Kakeknya Raymond Poulidor, juga juara berbagai lomba paling bergengsi.
Di usia yang masih 24 tahun, jalannya masih sangat panjang.
Yang menarik, Van der Poel tampaknya ingin menata jalur karir sendiri. Dia tidak tergoda untuk bergabung di tim-tim WorldTour, walau banyak tim raksasa berminat mengontraknya.
“Memang ada beberapa tim yang mengontak saya. Beberapa tim besar, walau saya tak mau menyebut nama,” ungkapnya seperti dilansir Sporza.be.
Jawaban Van der Poel ke tim-tim itu? “Saya beri tahu mereka untuk menunggu. Karena saya masih punya kontrak hingga 2023,” ujarnya.
Ya, Van der Poel memilih kontrak jangka panjang dengan tim Pro Continental (satu divisi di bawah WorldTour), Corendon-Circus. Usut punya usut, mungkin ini adalah kompromi terbaik untuknya.
Pertama, soal gaji dia tidak masalah. Corendon-Circus disebut sudah menggajinya lebih dari 1 juta Euro per musim. Plus bonus kemenangan dan uang start tambahan saat ikut lomba-lomba bergengsi. Khususnya lomba cyclocross.
Kedua, dengan statusnya sekarang, dia tetap akan diundang ikut lomba-lomba paling bergengsi di kelas WorldTour. Ini sangat menguntungkan bagi tim Pro Continental seperti Corendon-Circus, yang harus mengandalkan lobi dan undangan untuk ikut ajang-ajang paling bergengsi.
Dan terakhir, Van der Poel punya fleksibilitas ekstra bersama tim tersebut. Dia masih bisa ikut lomba-lomba road paling bergengsi. Dia masih bisa ikut ajang-ajang cyclocross paling bergengsi. Plus, dia masih bisa terus mengejar mimpi di arena MTB. Kabarnya, pada 2020 nanti, target utama Van der Poel adalah memburu medali emas di Olimpiade Tokyo, di arena MTB!
Kalau sampai semua mimpinya terwujud, Van der Poel bukan sekadar The Next Peter Sagan. Dia juga bukan sekadar lebih baik dari juara dunia road tiga kali itu. Kalau sampai semua terwujud, Van der Poel bisa jadi pembalap terhebat sepanjang masa! (mainsepeda)