Perencanaan kami simpel. Bersepeda turing bersama dari Surabaya ke Banyuwangi via Gunung Bromo dan Taman Nasional Baluran. Sembilan cyclist itu adalah Khaled Utomo, Rayza Tisnohadi, Rihandanu Rachman, Xtoredy, Atu Kusno Sabastian, Ardhian Yoga, Asep Hadian, Rinaldi Dewananta, dan Riefa Istamar.

Berangkat dari Surabaya 30 Maret dan berakhir di Banyuwangi 2 April. Kami memperhitungkan rute dan jarak gowes harian dengan matang. Pemilihan sepeda juga dilakukan dengan seksama. Ada yang menggunakan sepeda gravel, ada yang menggunakan sepeda cyclocross, maupun sepeda turing yang dipasangi ban besar. Untuk penginapan, makan, dan pendukung lainnya tidak direncanakan, menyesuaikan keadaan saat itu.

Ini bukan perjalanan unsupported touring pertama kami. Sudah perjalanan ketiga kalinya. Kami pernah menyusuri pesisir Jawa Barat sejauh 500 km dan melintas Jakarta - Solo sejauh 600 km lewat jalur tengah yang penuh gunung dan bukit.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, sebisa mungkin memilih rute yang minim kendaraan besar dengan resiko jalur yang ditempuh akan berbukit dan lebih banyak jalan rusak atau jalan alternatif non aspal. Bisa berupa jalan makadam penuh krikil yang serasa melintas jalanan "gravel". Kami menargetkan untuk menempuh jarak 100 – 120 km setiap hari. Jalur yang banyak non aspal membuat waktu perjalanan tidak bisa diprediksi.

Berikut adalah cerita keseruan perjalanan kami selama empat hari menempuh jarak 420 km dan mendaki setinggi 4.000 meter.

Hari 0: persiapan di Surabaya

Kami mengambil penerbangan akhir dari Jakarta dan tiba di bandara Juanda Surabaya sekitar pukul 10 malam. Karena konsep ride ini adalah point to point, kami mengemas sepeda dalam kardus yang kami beli dari toko sepeda di Jakarta. Butuh sekitar 30 menit untuk merakit sepeda di lobi bandara Juanda. Segera setelah membuang kardus, kami menembus kegelapan malam mencari hotel terdekat untuk bermalam.

Hari 1: 30 Maret - Surabaya ke Wonokitri, Bromo

Setelah sarapan ringan di McDonalds Sidoarjo, kami melanjutkan perjalanan ke Pasuruan yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam dengan membentuk group kecil yang terdiri dari 2-3 cyclist.

Setelah memasuki jalan berliku dan menanjak, pemandangan yang indah dan udara yang sejuk membuat kami hanyut dalam kayuhan, melewati kelokan demi kelokan sambil bergurau. Sepanjang perjalanan kami berhenti beberapa kali untuk istirahat, makan siang atau berfoto.

Sekitar pukul 5 sore kami tiba di pertigaan Tosari dengan udara yg semakin dingin dan gelap. Kami memutuskan untuk menghangatkan tubuh dengan semangkok mie ayam dan teh panas.

Usai diskusi singkat dengan penjaga warung, akhirnya kami lanjutkan menembus hutan Tosari. Menuju sebuah homestay di Wonokitri. Kami menutup hari dengan menikmati suguhan makan malam dari tuan rumah.

Hari 2: 31 Maret - Wonokitri ke Tanggul via Bromo

Setelah homemade breakfast dari host kami, perjalanan dilanjutkan menuju padang pasir Bromo. Ditemani langit cerah dan sinar pagi yang hangat, kami menikmati sisa tanjakan dari Wonokitri ke Dingklik dengan obrolan santai.

Turunan dari Dingklik ke Bromo sangat curam dan harus dilewati dengan ekstra hati-hati. Semua terbayarkan dengan indahnya pemandangan dan sensasi bersepeda di bawah bayang-bayang puncak gunung Batok yang perkasa.

Buat sebagian dari kami, ini bukan kali pertama ke Bromo, akan tetapi pengalaman bersepeda di Bromo membuat perjalanan ini menjadi berbeda.

Tanpa terasa kami menghabiskan hampir 3 jam bermain-main di padang pasir sebelum akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah Probolinggo

Perjalanan turun ke arah Probolinggo sangat mengasyikkan, jalanan yang berliku dan landai membuat kami berseru kegirangan. Di tengah turunan kami memutuskan untuk berhenti makan siang di sebuah warung nasi campur yang tersembunyi berkat saran dari sekelompok pecalang yang sedang berjaga. Kami semua sepakat, nasi campur di warung ini sangat unik dan enak.

Melanjutkan perjalanan ke Jember kami memutuskan untuk melalui jalur alternatif. Melewati pematang sawah, jalur desa dan jalur single-track. Beberapa kali kami harus berhenti dan berputar arah karena rute yang di peta ternyata buntu.

Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan 2 danau, termasuk ranu klakah dan melewati jalur selebar 1 meteran dengan permukaan campuran antara aspal kasar, corcoran, dan makadam. Jalur non aspal ini kira-kira sejauh 20 km.

Kontur yang menurun dan langit yang semakin gelap membuat kami tenggelam dalam pikiran masing - masing. Kami berhenti singkat beberapa kali untuk memastikan bahwa kami masih di rute yang benar dan menunggu teman-teman yang lain.

Perjalanan semakin menantang karena sepanjang perjalanan hujan deras mengguyur berkali-kali. Jersey dan kaos kaki yang basah membuat temperatur tubuh menurun. Kami saling mengingatkan agar kalori dan air selalu cukup sepanjang perjalanan.

Pada pukul 7 malam kami tiba di Tanggul. Sebuah kota kecil sekitar 35 km dari Jember. Kami memutuskan untuk rehat setelah menemukan penginapan kecil di ujung kota.

Dari sekitar 120 km yang kami lalui hari ini, hanya 20 km yg berbentuk jalan utama. Sisanya adalah single track, tanah berbatu dan krikil, serta jalan desa. Memberikan pengalaman berbeda, hari pertama kami lelah karena tanjakan, hari kedua kami lelah karena guyuran hujan dan rute yang cukup teknikal. Kami menutup hari dengan makan bersama di sebuah warung tak jauh dari penginapan.

Hari 3: Tanggul ke Taman Nasional Baluran

Kelelahan sisa menembus hujan dan menaklukkan rute yang sebagian besar jalan non aspal di hari kedua menunjukkan efeknya di hari ketiga ini. Sebagian besar dari kami bersiap lebih siang dari biasanya.

Matahari sudah beranjak naik, ketika kami mulai beriringan menuju Jember yang berjarak sekitar 30 km dari Tanggul. Sekitar jam 9 pagi, kami tiba di Rodalink Jember untuk melakukan servis ringan 2 sepeda yang mengalami masalah. Tak sampai satu jam, perjalanan dilanjutkan ke arah kota Bondowoso.

Matahari yang terik, jalan yang menanjak konstan dan akumulasi lelah dari dua hari sebelumnya semakin terasa. Pace grup semakin melambat sehingga kami memutuskan istirahat untuk makan siang dan sholat di Bondowoso.

Ini menjadi keputusan yang tepat, setelah makan siang dan sholat, spirit teman-teman membaik dan stamina mulai pulih lagi. Lima km selepas Bondowoso, peta rute mengarahkan kami untuk belok ke kanan dan kejutan pertama hari ini dimulai.

Di depan kami, kanal irigasi yang rapi melintang lebar dengan jalan setapak selebar satu meter yang dihiasi oleh sawah menguning di kedua sisi kanal. Sambil berceloteh riang, kami menyusuri jalur pematang dipayungi langit biru dan udara sejuk sisa gerimis tadi. Namun jalan mulus ini perlahan-lahan berubah menjadi jalan makadam!

Tak ingin kembali dan membuang waktu, kami terus menelusuri jalur makadam dengan sepeda kami, sepanjang 3-4 km hingga akhirnya menemukan rute untuk kembali ke jalan yang lebih baik.

Keluar dari rencana awal. Jalan antar desa yang kami pilih ternyata sangat menyenangkan, selain sepi dari kendaraan besar, kontur jalan yang relatif menurun serta pemandangan yang indah silih berganti menemani perjalanan. Sawah, ladang, hutan, bukit, dan sungai kami lalui sepanjang 20 km berikutnya, hingga akhirnya tiba di jalan utama Pantura.

Untuk meminimalisasi resiko karena kondisi jalan yang ramai kendaraan besar, kami memecah menjadi tiga grup dengan pace yang sama, sehingga tidak ada teman yang terlepas sendirian. Kami harus menempuh rute yang ramai ini sejauh 20–25 km sebelum berhenti di sebuah desa di tepi Taman Nasional Baluran.

Kami bertanya ke warung setempat untuk mendapatkan informasi homestay yang tersedia. Beruntung, malam itu berhasil mendapatkan satu-satunya homestay yang ada di desa itu. 

Kami menutup hari dengan makanan sederhana berupa nasi, telur dadar dan terong sambal yang kami beli di satu-satunya warung nasi yang masih buka. Dengan wacana harus menempuh jarak 40 km jalur hutan keesokan harinya, kami sepakat untuk memulai hari lebih pagi.

Hari 4: Taman Nasional Baluran ke Banyuwangi

Udara malam yang lembab perlahan mulai naik digantikan embun pagi yang menggantung di dedaunan. Walaupun jam menunjukkan pukul 6 pagi, langit masih terlihat gelap karena awan yang menggantung, sedikit khawatir cuaca akan memburuk, kami mulai berjalan beriringan keluar dari rumah yang menaungi kami semalam.

Usai sarapan nasi pecel di kedai terdekat, kami mulai memasuki kawasan Taman Nasional Baluran. Usai menyelesaikan perizinan, kami mulai mengeksplorasi keindahan Baluran.

Jargon wisata Baluran yakni ada Savana-nya atau Afrikanya Jawa, tapi sesungguhnya Baluran lebih dari itu.

Selama kurang lebih 40 km perjalanan kami mengeksplorasi Baluran, topografi dan pemandangan silih berganti menjamu kami, Mulai dari single track tanah padat, bukit berbatu, padang ilalang, tebing tepi laut, hutan bakau, dan tentu saja savana Baluran yang terkenal.

Ada bagian di mana kami harus merunduk rendah ketika melewati hutan bakau yang rapat atau mendaki bukit batu bertepi deburan ombak. Lalu turun menyusuri stone garden, mendorong sepeda di pantai berpasir putih dan melewati jalur single track yang tak habis-habis.

Flora dan fauna yang datang dan pergi silih berganti dan hampir tidak terjamah, setiap kayuhan seperti membawa kami ke tempat yang berbeda mendorong kami bernostalgia ke masa kecil, ketika bersepeda adalah wahana bermain dan berpetualang.

Kontur medan yang bervariasi menuntut untuk tetap fokus dan efisien walaupun sesekali kami berhenti untuk minum air atau berfoto. Semakin siang kami berjalan, semakin jelas terlihat gunung Baluran berdiri tegak berbalut kerimbunan hutan. Bayangannya selalu menaungi kami sepanjang perjalanan.

Petualangan di Baluran diakhiri dengan santap siang dan sholat di Pantai Bama. Akhirnya dengan berat hati kami keluar dari kawasan Taman Nasional Baluran untuk melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi.

Jam menunjukkan pukul 4 sore ketika kami mulai bersepeda ke arah Banyuwangi. Jalur yang flat membuat kami menempuh jarak 35 km dalam waktu 1 jam saja.

Taman Sritanjung di tengah kota Banyuwangi menjadi tempat perhentian terakhir kami. Tepat sebelum azan Maghrib berkumandang dan hujan sore yang turun deras. Menandakan berakhirnya hari dan petualangan kami kali ini. 

Meski begitu, kami sudah membahas jalur turing tahun depan. Ada dua pilihan. mengeksplorasi Sumba atau Palu-Manado. Tapi kemungkinan besar akan eksplorasi Sumba. * 

 

Peserta Turing Surabaya – Banyuwangi

1. Khaled Utomo (Depok) – Litespeed T5 Gravel

2. Rayza Tisnohadi (Tangerang Selatan) - SOMA Wolverine

3. Rihandanu Rachman (Tangerang Selatan) – Ritchey Ascent

4. Xtoredy (Tangerang Selatan) – Pias Scarab CX

5. Atu Kusno Sabastian (Tangerang Selatan) – Lynskey Cooper CX

6. Ardhian Yoga (Tangerang Selatan) – Lynskey Cooper CX

7. Asep Hadian (Bekasi) – Specialized Sirrus Expert

8. Rinaldi Dewananta (Jakarta) - Pias Scarab

9. Riefa Istamar (Jakarta) - Pias Scarab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Populer

GCR Malang Punya Jersey Baru, Lebih Sejuk dan Menarik
Kalender Mainsepeda 2025: Dibuka EJJ, Trilogy Telah Menanti
Giliran EJJ Boleh Berbagai Jenis Sepeda, Kecuali eBike!
Investor Kakap dari Tiongkok, Akankah Bawa XDS Astana Keluar dari Degradasi?
Kolom Sehat: Idol
Kolom Sehat: Akhir Tahun 2024
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan
Journey to TGX 2024: Hanif Finisher Pertama di Pasar Pon Trenggalek
Ijen KOM 2024: Inilah Kuliner Hidden Gem Banyuwangi, Wajib Cicip!
Kediri Dholo KOM: 10 Rekomendasi Kuliner Kediri Versi Warlok Ivo Ananda, Cobain Yuk!